Melubangi Kapal Kehidupan
Oleh : Fahmi Salim
Al-Quran pernah menceritakan kisah Nabi Musa ‘Alaihissalam, yang melebungi perahu yang dinaikinya.
فَانْطَلَقَاۗ حَتّٰٓى اِذَا رَكِبَا فِى السَّفِيْنَةِ خَرَقَهَاۗ قَالَ اَخَرَقْتَهَا لِتُغْرِقَ اَهْلَهَاۚ لَقَدْ جِئْتَ شَيْـًٔا اِمْرًا
“Maka berjalanlah keduanya, hingga ketika keduanya menaiki perahu lalu dia melubanginya. Dia (Musa) berkata, “Mengapa engkau melubangi perahu itu, apakah untuk menenggelamkan penumpangnya?” Sungguh, engkau telah berbuat suatu kesalahan yang besar.” (QS: Al-Kahfi: 71)
Dalam konteks saat ini, kita pun tak tahu, penyebaran wabah Covid-19 ini begitu cepat. Semua rencana manusia berubah total seketika. Bursa saham rontok. Ekonomi global kolaps. UKM terimbas perlambatan ekonomi, industri pariwisata dan kuliner tertekan, Ketahanan nasional hancur dibuatnya.
أَمَّا ٱلسَّفِينَةُ فَكَانَتْ لِمَسَٰكِينَ يَعْمَلُونَ فِى ٱلْبَحْرِ فَأَرَدتُّ أَنْ أَعِيبَهَا وَكَانَ وَرَآءَهُم مَّلِكٌ يَأْخُذُ كُلَّ سَفِينَةٍ غَصْبًا
“Adapun perahu itu adalah milik orang miskin yang bekerja di laut, aku bermaksud merusaknya karena di hadapan mereka ada seorang raja yang merampas setiap perahu.” (Qs: Al-Kahfi [18]: 79).
Takdir Pertama, ketika Musa dan Khidir menaiki perahu, takdir itu seolah-olah mengatakan bagaimana nanti kalau dalam perjalanan hidup Allah berkuasa untuk melubangi atau mencederai perahu kehidupanmu?
Artinya, tidak mesti perahu kehidupan kita ini selalu berjalan mulus. Pasti ada cacat. Ada gangguan-gangguan. Bisa jadi juga karena adanya pihak yang zalim.
Hikmah dari pelubangan kapal tersebut adalah, kita harus siap-siap menghadapi kemungkinan-kemungkinan terburuk yang akan terjadi. Di sini ilmu tidak bisa menangkap hal itu.
Ilmu tidak bisa berhadapan dengan fakta dan realitas; bahwa menurut logika, jika kapal itu dilubangi, maka akan bocor dan tenggelam. Itu jika menurut ilmu kita. Namun, menurut takdir yang nanti akan dihadapi itu, pelubangan kapal tersebut harus dilakukan. Jadi, kita tidak harus memandang sesuatu dalam ukuran jangka pendek.
Maka, perbuatan itu harus ada langkah preventifnya. Kita harus sadar—berdasarkan takdir yang disimbolkan oleh Khidhir—bahwa bisa jadi Allah akan “melubangi” kehidupan kita. Itu ada hikmahnya untuk kebaikan kita ke depan. Kita mendapatkan cobaan, tantangan yang besar, kadang membuat kita tersungkur, tetapi hal ini justru membuat kita mau bangkit. Dan ternyata, melubangi perahu itu supaya kita selamat, yaitu selamat dari penjarahan oleh seorang raja yang zalim.
Misalkan saat ini pemerintah dihadapkan pada dilema pilihan yang sulit secara ekonomi menangani pandemi Covid-19:
Pertama, social distancing, murah di depan, tetapi belakangannya bagaimana? Bisa jadi akan jauh lebih mahal. Keselamatan nyawa rakyat jadi korban.
Kedua, lockdown , mahal di depan (menutup seluruh sentra kehidupan) tetapi murah di belakang. Nyawa rakyat bisa diselamatkan. Dan lebih memberikan kepastian. Keselamatan manusia harus lebih diutamakan, karena jika manusia binasa tak ada perekonomian yang bisa diselamatkan.
Takdir Kedua, tentang Nabi Khidhir yang mebunuh anak kecil tak berdosa. Ini sesungguhnya berbicara tentang kematian. Mengapa setiap yang bernyawa selalu takut dengan kematian? Mengapa yang hidup—kadang—tidak terima dengan yang namanya kematian?
Saat keluarga kita ada yang meninggal, anak kita dicabut nyawanya, tetangga kita terbunuh, terkadang muncul sikap tidak terima dengan kenyataan yang ada sehingga terus meratapi dan menyesali. Makanya, ada satu tindakan yang dikecam oleh Rasulullah ﷺ yaitu tindakan jahiliyah, berupa meratapi mayat yang sudah meninggal dunia, merobek-robek baju, menyayat-nyayat tubuh, menampar-nampar pipi, dan sebagainya. Meratapi orang yang mati tidak diperbolehkan karena merupakan simbol menolak takdir yang telah ditetapkan Allah Swt.
Saat pandemi Covid-19 menyerang dunia dan juga Indonesia, tidak sedikit korban nyawa berjatuhan baik itu masyarakat, pejabat pemerintah, ataupun paramedis. Banyak anak yang kehilangan ayah/ibunya, suami kehilangan isterinya, isteri kehilangan suaminya, dsb.
Kematian yang tak terduga, merenggut semua bentuk kelezatan dan kenikmatan. Banyak yang tertegun sedih, bahkan untuk menyalatkan jenazah kawan atau keluarga sendiri harus dengan shalat ghaib.
وَأَمَّا ٱلْغُلَٰمُ فَكَانَ أَبَوَاهُ مُؤْمِنَيْنِ فَخَشِينَآ أَن يُرْهِقَهُمَا طُغْيَٰنًا وَكُفْرًا
“Dan adapun anak muda (kafir) itu, kedua orangtuanya mukmin, dan kami khawatir kalau dia akan memaksa kedua orangtuanya kepada kesesatan dan kekafiran.” (QS: Al-Kahfi [18]: 80)
Pada ayat di atas dikatakan hikmah membunuh anak kecil yang dianggap tidak berdosa. Kalau kita artikan dalam perspektif personifikasi takdir, sebenarnya bukan Nabi Khidhir yang membunuh, melainkan kehendak Allah untuk mencabut nyawa anak itu.
Khidhir hanya sebagai wasilah, yaitu melalui tangannya. Allah berkehendak untuk mencabut nyawa anak tersebut karena Allah mempertimbangkan kedua orang tuanya adalah orang yang beriman. Khawatir jika anak tersebut tadi tumbuh menjadi dewasa, justru dia akan menyengsarakan dan menyulitkan orang tuanya; akan menyusahkan orang tuanya di dunia dan akhirat. Karena itulah Allah menggantinya dengan anak yang lebih baik dan lebih shalih. Wallahu a’lam.
Demikian pula Covid-19 dia hanyalah alat. Hanya Allah-lah yang berkehendak mencabut nyawa orang yang kita cintai. Kita tidak tahu kapan, di mana dan bagaimana rencana Allah itu diwujudkan.
Kepada anak yang kehilangan ayahnya, atau orang tua yang kehilangan anaknya, Nabi Muhammad ﷺ: “Wabah Tho’un adalah mati syahid bagi setiap Muslim.” (HR. Bukhari-Muslim).
Saudaraku, kematian itu kepastian yang pasti kita alami (QS. Al-Jumu’ah: 8, An-Nisa: 78, Alu Imran: 185, Al-Anbiya: 35, Al-‘Ankabut: 57). Kematian adalah gerbang pertama menuju alam akhirat. Kematian adalah haq seperti halnya akhirat, Surga dan Neraka itu haq. Ajal kematian tak menunggu harus sakit lebih dulu atau usia lanjut.
Sebagaimana ia tak membedakan kelas sosial. Orang kaya pasti mati, orang miskin juga. Penguasa pasti mati, rakyat jelata juga. Jangan risaukan kematian yang sudah pasti, namun risaukan diri kita dengan cara seperti apa kita akan mati kelak? Membawa bekal apa untuk menghadap Allah nanti? Akankah kita husnul khatimah atau malah su’ul khatimah? Mati dalam keadaan taat atau sedang maksiat? Itu semua tergantung tekad dan ikhtiar kita untuk memperbaiki hati dan amal.
ۨالَّذِيْ خَلَقَ الْمَوْتَ وَالْحَيٰوةَ لِيَبْلُوَكُمْ اَيُّكُمْ اَحْسَنُ عَمَلًاۗ وَهُوَ الْعَزِيْزُ الْغَفُوْرُۙ
”(Allah) Yang menciptakan mati dan hidup, untuk menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya. Dan Dia Mahaperkasa, Maha Pengampun.” (QS: Al-Mulk: 2).
Mahluk Lemah
Dengan pandemi global Covid-19 manusia disadarkan bahwa kekuatan manusia tak ada apa-apanya di hadapan makhluk Allah yang super kecil. Ia mampu menggoncang tatanan kapitalisme global. Virus ini sanggup menghentikan roda kehidupan dunia yang telah rapuh, dan menyingkap kepalsuan para pemimpin dunia dengan vulgar. Ia berhasil mengembalikan manusia kepada fitrahnya, yang menghamba dan berharap kepada Allah ta’ala sebagai tempat bersandar.
Itulah gambaran bahwa sebenarnya ada hikmah di balik takdir Allah. Di awal mungkin kita dibuat susah, membahayakan, begitu keras angin menerpa kita, cobaan—baik dalam rumah tangga maupun kehidupan bermasyarakat—tetapi kita harus mengambil langkah-langkah yang tepat meski dirasakan ekstrim. Ini perlu dilakukan agar ke depan justru kita akan lebih kuat.
Maha benar firman Allah,
كُتِبَ عَلَيْكُمُ الْقِتَالُ وَهُوَ كُرْهٌ لَّكُمْ ۚ وَعَسٰٓى اَنْ تَكْرَهُوْا شَيْـًٔا وَّهُوَ خَيْرٌ لَّكُمْ ۚ وَعَسٰٓى اَنْ تُحِبُّوْا شَيْـًٔا وَّهُوَ شَرٌّ لَّكُمْ ۗ وَاللّٰهُ يَعْلَمُ وَاَنْتُمْ لَا تَعْلَمُوْنَ
”….tetapi boleh jadi kamu tidak menyenangi sesuatu, padahal itu baik bagimu, dan boleh jadi kamu menyukai sesuatu, padahal itu tidak baik bagimu. Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.” (QS: Al-Baqarah: 126). Wallahu a’lam.
Saudaraku, Jangan pernah meratapi kematian karena pasti ada rahasia yang tidak kita ketahui di sebaliknya. Kita harus kuat menghadapi takdir karena kita percaya bahwa apa yang Allah gariskan terhadap hamba-Nya pastilah yang terbaik. Sungguh, dalam Al-Qur`an disebutkan bahwa Allah tidak akan pernah menzalimi hamba-Nya sedikit pun. Manusialah yang zalim karena tidak kuasa menyikapi takdir secara bijak.”/Fahmi Salim, IG: @ufsofficial
Sumber : www.hidayatullah.com
Post a Comment