Stereotip Gender pada Anak Usia Dini
Oleh:
Arifah Prima Satrianingrum
Stereotip gender? Apa itu?
Istilah stereotip
secara bahasa sehari-hari ialah ketika kita memberikan kesan kepada orang
dengan melihat karakteristik orang, sikap yang ditunjukkan, serta penampilan orang
tersebut, sehingga membuat kita memberikan labeling kepadanya dengan
kesan-kesan pertama yang kita rasakan tadi. Seperti, seseorang memakai pakaian branded, lalu kita langsung saja
memberikan stereotip orang tersebut dengan orang level bagian atas, atau
misalnya ada orang yang berwajah sangar, kita menstereotipkan orang tersebut
pemarah, walau kita belum mengenali mereka dengan baik.
Kebiasaan melabeling
atau menstereotipkan ini secara tidak langsung kita berikan kepada anak-anak
kita. Contohnya saja, ibu yang sedang hamil, setelah mengetahui jenis kelamin
anaknya melalui USG adalah seorang bayi perempuan,
segala perlengkapan dan pernak pernik anak tersebut akan diberikan bernuansa serba
pink, boneka-boneka akan disediakan, selimut yang lucu-lucu telah dipersiapkan.
Entah sadar atau
tidak.. Kebiasaan tradisional itu selalu berulang-berulang-dan berulang. Jika
mereka memiliki laki-laki, berbagai baju
anak akan bergambar spiderman, batman, lalu benda lainnya bernuansa biru,
mainan yang dimiliki mobil-mobilan, robot dan lain sebagainya. Pink for girls, blue for boys. Begitulah
tradisi yang terus terjadi.
Ada sebuah sosial
eksperimen di Eropa, bayi perempuan dikenakan baju laki-laki dan bayi
laki-laki, dipakaikan baju perempuan. Orang dewasa yang akan menjaga bayi tidak
mengetahui keadaan bayi ini, karena baru pertama kali mengasuhnya. Disini
peneliti ingin melihat, perlakuan apa yang akan orang dewasa berikan. Bayi
perempuan yang dipakaikan baju laki-laki, senang bermain boneka. Namun orang
dewasa yang menjaganya saat itu menyodorkan ia permainan mobil-mobilan, puzzle,
serta permainan anak laki-laki pada umumnya. Sedangkan bayi laki-laki yang menggunakan
pakaian anak perempuan, senang bermain kereta kabel, namun orang dewasa yang
mengasuhnya membujuk untuk memainkan boneka dengan mengucapkan, "Sweet dreams.. Sweet dreams..".
Tentu dapat kita
simpulkan bahwa mereka orang-orang dewasa secara tidak sengaja memberikan penstereotipan
gender kepada anak-anak melalui permainan. Ada sebuah teori evolusi dari Darwin
yang mengatakan anak perempuan bermain boneka karena nantinya ia akan mengasuh
dan merawat anak dirumah saat dimasa depan nanti. Sedangkan anak laki-laki,
bermain gulat-gulatan, berlari kesana sini, diberikan kebebasan agar menjadikan
ia tangguh saat berburu makanan utk keluarga. Hal ini disebutkan berburu, karena
teori ini mengacu pada saat zaman purba dulu.
Banyak terjadinya
"bias" atau hal yang tak diinginkan karena stereotip gender. Pengalaman
saya waktu magang di sekolah, jika ada anak laki-laki menangis di sekolah, guru
akan mengatakan, "kamu laki-laki, masa anak laki2 menangis.." Ada
satu hal yang perlu kita ketahui bahwa menangis adalah hal yang wajar. Menangis
adalah sebuah emosi fitrah dalam diri anak.
Juga hal ini terjadi
pada guru-guru di sekolah lainnya, kebanyakan guru perempuan lebih cenderung perhatian
lebih kepada murid laki-laki. Ini sebuah fakta dan saya telah menjumpai hal ini
di saat jenjang persekolah dan yang mana ini juga diutarakan dengan tegas oleh
Santrock, bahwa hal itu dapat menjadi hal yang tak diinginkan dalam
perkembangan gender anak. Santrock dalam bukunya menjelaskan bahwa guru lebih
senang kepada murid laki-laki, karena laki-laki lebih pintar dalam bidang
sains, mtk, dan bidang lainnya. Sehingga membuat murid perempuan menjadi kurang
rasa percaya diri.
Stereotip gender ini,
juga akan mempengaruhi jenis pekerjaan nantinya. Seperti, perempuan nantinya
akan menjadi guru atau sosial worker, dan laki-laki akan bekerja pada bidang
teknik, insyinyur, dan lain sebagainya. Di negara China, sangat membedakan
antara perempuan dan laki-laki. Di China, laki-laki akan mendapat upah yang sangat
tinggi dibanding perempuan.
Namun stereotip
gender juga ada positifnya. Ini membuat anak perempuan menjadi tahu bagaimana
menjadi perempuan yang sebaik-baiknya (femininitas) dan bagaimana menjadi
laki-laki yang sebaik-baiknya (maskulinitas).
Lalu manakah
seharusnya yang akan kita berikan kepada anak, feminin tapi takut nanti anak menjadi
lembek, atau maskulin namun nanti tidak
sesuai alaminya perempuan (dilihat dari perspektif anak perempuan). Ada sebuah
pengajaran mengenai pendidikan androgini, yang mana memberikan pendidikan
maskulin dan pendidikan feminism kepada anak laki-laki dan perempuan. Sehingga
ia dapat menjadi anak perempuan yang baik lembut juga tangguh. Atau ia dapat
menjadi anak laki-laki yang pemberani namun peka terhadap lingkungan sekitar.
Foto : Google
Post a Comment