Akhlak Kepemimpinan
Oleh : Galih Setiawan, S.Kom.I.
Hari demi hari kita disuguhi beritamakin banyaknya tokoh dan pejabat yang tidak amanah di negeri ini. Ada yang tersandung kasus korupsi. Tak jarang pula ada yang terkena kasus kriminal lain.
Lalu,bagaimana
Islam menyikapi fenomena ini? Bagaimana seharusnya etika kepemimpinan seorang
muslim? Hasil penelitian Brian Caroll dalam Kouznes and Posner, “Leadership
Chalenge” tahun 1995 di Amerika, menunjukkan salah satu ciri khas
pemimpin yang sangat dikagumi adalah pemimpin yang jujur (memiliki integritas).
Integritas bahkan menempati urutan teratas dibandingkan visi, kecakapan,
adil dan cerdas.
Dalam
syariat Islam yang penuh keindahan ini, kejujuran adalah akhlak mulia yang
sangat dijunjung tinggi, sedangkan kedustaan adalah dosa besar yang sangat
dicela. Wajib bagi seorang Muslim, untuk berhias dengan kejujuran dan
meninggalkan kedustaan.
Al-Allamah Ibnul
Qayyim rahimahullah pernah
mengatakan akan bahaya dusta dalam kitab beliau, al-Fawaid.
“Berhati-hatilah
dari dusta! Sebab, perbuatan dusta akan merusak pemahaman Anda terhadap suatu
perkara sehingga Anda tidak bisa memahaminya sebagaimana hakikatnya.
Selanjutnya, dusta akan membuat Anda tidak bisa menggambarkan perkara tersebut
dan menjelaskannya kepada manusia sesuai dengan keadaan sebenarnya.”
Allah ‘azza wa jalla berfirman;
“Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah
kepada Allah dan hendaknya kalian bersama dengan orang-orang yang jujur.” (at-Taubah: 119)
Islam
adalah agama yang mengajak kepada keadilan, oleh karena itu Islam memerintahkan
untuk memberikan hak kepada masing-masing yang memiliki hak. Inilah yang
disebut keadilan. Adil bukanlah persamaan hak dalam segala hal. Namun adil
adalah menempatkan setiap manusia pada tempat yang selayaknya dan semestinya,
serta menempatkan segala sesuatu pada posisinya yang telah diatur dalam
syariat-Nya.
Allah
Ta’ala berfirman:“Dan (menyuruh
kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan
adil.” (QS: An-Nisa`: 58)
Islam
memerintahkan berbuat adil, membenci perbuatan keji, kemungkaran, dan
permusuhan. Hatta,
adil pada kaum yang kita benci. (Al-Ma`idah: 8)
Kepedulian
kita terhadap sesama karena Allah ta’ala semata,
bukan karena organisasi, partai, aliran, marga, atau kepentingan dunia yang
lain. Bentuk kepedulian kita terhadap sesama adalah atas dasar persaudaraan.
Allah Ta’ala memberitakan
tentang persaudaraan yang hakiki karena keimanan:
“Hendaklah
kalian menjadi hamba-hamba Allah yang bersaudara. Seorang Muslim adalah saudara
bagi Muslim yang lain.” (HR. Muslim dari Abu Hurairah z)
Rasulullah
menggambarkan kuatnya ikatan persaudaraan karena Allah Ta’ala;“Permisalan
orang-orang yang beriman dalam hal saling mencintai, menyayangi, dan mengasihi,
seperti satu tubuh. Apabila salah satu anggota tubuh merintih atau mengeluh,
semua anggota tubuh yang lain akan ikut merasakannya dengan tidak bisa tidur
dan demam.” (Muttafaqun alaih dari an-Nu’man bin Basyir radiallahuanhuma)
Islam
mengajarkan adab dan akhlak yang mulia. Adalah Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam yang wajib kita teladani dan kita tiru
amalannya.
Dari
Anas radhiallahu
‘anhu berkata :“Aku
melayani Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam selama sepuluh
tahun. Demi Allah, beliau
tidak pernah sekali pun berkata kepadaku “Ah”. Tidak pula beliau berkata,
“Mengapa engkau berbuat begini? Tidakkah engkau melakukan demikian?”
Beginilah
seharusnya kepempimpinan yang dibutuhkan. Jika perangainya mulia, ketika ia
telah kehilangan jabatan, ia tak akan kehilangan legitimasi. Sebab suri
tauladan dan akhlaknya akan dikenang orang. Tanpa nilai-nilai di atas, siapapun
pemimpin ia tak akan dikenang kebaikannya di saat dia jatuh atau turun dari
jabatannya.
Galih Setiawan, S.Kom.I., Redaktur Majalah Fahma
Post a Comment