Akhlak Mulia Pemimpin

Oleh : Irwan Nuryana Kurniawan, M.Psi.

Karena kepemimpinan dalam Islam bertujuan menegakkan agama (iqamatudin) dan menata dunia (kehidupan dunia beserta semua permasalahnnya) dengan landasan agama (hukum/ketentuan yang diturunkan Allah Ta’ala dan Rasul-Nya), maka pastikan segala urusan, perkara, kepercayaan, dan rahasia umat Islam diberikan kepada pemimpin yang berakhlak mulia selain memiliki aqidah tauhid yang kuat sebagaimana dituliskan di edisi sebelumnya. Akhlak mulia memungkinkan pemimpin Muslim menyebarkan keadilan dan menghapus kezaliman, mempersatukan dan tidak memecah belas karena akhlak mulia menciptakan kesepahaman dan kasih sayang di antara sesama manusia, “Sesungguhnya kalian tidak bisa menarik hati manusia dengan harta kalian. Akan tetapi, kalian bisa menarik hati mereka dengan wajah berseri dan akhlak mulia.” (HR Abu Ya’la dan Al-Bazzar).

Akhlak mulia merupakan unsur kepemimpinan Islam yang dapat menumbuhkan kebaikan, meningkatkan kualitas suatu kebaikan. Sebaliknya akhlak buruk pemimpin akan mendatangkan celaan dan keburukan, “Akhlak mulia adalah pertumbuhan, sedangkan akhlak buruk adalah terputusnya kebaikan. Kebajikan adalah bertambahnya umur, dan sedekah bisa mencegah terjadinya kematian yang buruk.” (HR Ahmad dan Abu Dawud). Perbuatan baik dan amal sholih akan menjadikan pemimpin muslim berumur panjang, dapat menjauhkannya dari kematian dalam keadaan buruk dan mengenaskan. Pemimpin berakhlak mulia tidak tertarik untuk membalas dendam dan tidak bisa dikuasai oleh bisikan setan, nafsu, atau amarah, dan apabila yang bersangkutan terpaksa ‘menyakiti’ orang lain, sikapnya jauh dari yang namanya caci maki dan pembalasan. Akhlak mulia membuat seorang pemimpin mampu menahan cobaan,  menahan amarah, menahan diri untuk tidak menyakiti orang lain, menjauhkan dirinya dari perbuatan-perbuatan hina, perkataan dan perbuatan yang buruk, dan menghalanginya dari perbuatan keji dan mungkar, dusta, menggunjing, dan mengadu domba.

Akhlak mulia menuntut pemimpin muslim memperlakukan orang lain dengan baik (HR At- Tirmidzi), memperlakukan semua orang dengan sama, membalas jerih payah yang mereka lakukan sesuai ukurannya, memberikan pekerjaan dan jabatan kepada siapa pun yang berhak, dan tidak membedak-bedakan di antara mereka karena mengikuti keinginan dan kepentingan pribadi ataupun faktor-faktor yang melanggar syariat lainnya. Menunaikan hak rakyat dengan menjamin kebebasan dan pekerjaan agar tidak ada orang lemah yang terabaikan, orang tak berdaya yang dibiarkan, orang fakir yang menderita kemiskinan, dan orang takut yang terancam—termasuk melerai permusuhan dan pertikaian di antara sesama Muslim, memberikan hak kepada pihak yang berhak, menjaga hak-hak kaum kafir dzimmi. Tidak melibatkan status sosial dan nasab dalam kepatuhan terhadap hukum sesuai tuntutan keadilan, karena syariat Islam berlaku bagi siapa pun juga, tanpa membedakan antara orang yang terhormat ataupun rakyat jelata, penguasa ataupun rakyat, “Sungguh, yang membinasakan umat sebelum kalian adalah apabila orang terhormat mencuri, mereka membiarkannya dan apabila orang lemah mencuri, mereka menegakkan hukuman kepadanya. Demi Allah, andaikan Fatimah binti Muhammad mencuri, tentu aku potong tangannya.” (HR Bukhari, Abu Dawud).

Muhammad Shallallahu Alahi wa Sallam adalah manusia paling mengetahui, paling besar tanggungjawabnya, paling jujur ucapannya, paling dermawan, paling murah hati, paling bersabar, paling besar pemberian maaf, dan ampunannya serta kasih sayangnya, paling besar manfaatnya untuk hamba pada agama dan dunia mereka, paling rendah hati, paling mengutamakan kepentingan orang lain daripada untuk dirinya sendiri, paling luruh terhadap yang diperintahkan, paling bersegera dalam kebaikan dan meninggalkan larangan, terkumpul keindahan  batin dan keindahan zhahir.

Akhlak mulia yang murni dalam jiwa pemimpin memastikan yang bersangkutan tidak akan menyelisihinya pada seluruh kondisi karena akhlak mulia bukanlah kemeja yang ia kenakan apabila ia menghendakinya dan melepaskannya apabila ia menghendaki, tetapi hal tersebut senantiasa ada padanya seperti keharusan cahaya pada matahari. Karena itu merupakan bentuk penghambaan, pemiliknya akan berputar bersama kebenaran kemana pun ia berputar, dan akan tetap stabil bersamanya pada setiap keadaan.

Irwan Nuryana Kurniawan, M.Psi., Pemimpin Redaksi Majalah Fahma, Dosen Psikologi Universitas Islam Indonesia Yogyakarta

Powered by Blogger.
close