Bermula dari Sikap Wara’
Oleh : Nur Fittriyana
~ Assalaamu ‘alaikum wa rohmatullahi wa barokaatuh. Salam
jumpa para pendidik, orangtua dan pemerhati dunia anak yang dirahmati Allah.
Ahamdulillah, kita berjumpa dengan kisah Fahma. Nah, pada edisi kali ini, kita
akan belajar pada kisah Umar bin Abdul Aziz, pemimpin yang dikenal sangat
menjaga dan berhati-hati, bahkan dalam menggunakan harta dan fasilitas yang
diperolehnya. Selamat menyimak.~
Pada zaman pemerintahan Umar bin Abdul Aziz, ada seorang
pengawas Baitul Maal yang menghadiahkan kalung emas kepada anak perempuan amirul
mu`minin itu.
Beberapa waktu kemudian, Khalifah Umar melihat putrinya
sedang menenteng kalung emas tadi, yang belum pernah dilihatnya sebelumnya.
“Dari mana engkau mendapatkannya?” tanya Umar bin Abdul Aziz kepada buah hatinya itu.
Putrinya menjawab, kalung emas itu diperolehnya dari
penjaga Baitul Maal. Merasa tidak ada yang salah, maka dibawalah benda indah
itu ke rumah. Sang putri dinasihatinya.
“Takutlah kau wahai anakku tercinta bahwa engkau kelak akan
datang ke hadapan Pengadilan Allah dengan barang yang kau curangi ini dan akan
kuselidiki dengan saksama,” tutur sang khalifah.
Dia juga mengingatkan tentang Al Qur’an surah Ali Imran ayat 161. Artinya, “Tidaklah ada seorang nabi pun berlaku curang. Dan barangsiapa berlaku curang (ghulul), maka akan datanglah dia dengan barang yang dicuranginya itu pada Hari Kiamat. Kemudian , setiap diri akan diberi pembalasan tentang apa yang dia kerjakan dengan (pembalasan) setimpal, sedangkan mereka tidak akan dianiaya.”
Maka dikembalikanlah kalung emas
tersebut ke Baitul Maal.
Sebagai pejabat negara, Khalifah Umar bin Abdul Aziz
berprinsip sangat hati-hati (wara’) dalam menggunakan fasilitas
negara.
Dikisahkan bahwa suatu ketika, pemimpin Muslimin itu
harus menyelesaikan tugas di ruang kerjanya hingga larut malam. Tiba-tiba,
putranya mengetuk pintu ruangan dan meminta izin masuk. Umar pun
mempersilakannya untuk mendekat.
“Ada apa putraku datang ke sini?” tanya Umar, “Apa untuk
urusan keluarga kita atau negara?”
“Urusan keluarga, Ayah,” jawab sang anak.
Langsung saja Umar bin Abdul Aziz meniup lampu penerang
di atas mejanya, sehingga seisi ruangan gelap gulita.
“Mengapa Ayah melakukan ini?” tanya putranya itu
keheranan.
“Anakku, lampu itu ayah pakai untuk bekerja sebagai
pejabat negara. Minyak untuk menghidupkan lampu itu dibeli dengan uang negara,
sedangkan engkau datang ke sini akan membahas urusan keluarga kita,” jelasnya.
Dia lantas memanggil pembantu pribadinya untuk mengambil
lampu dari luar dan menyalakannya.
“Sekarang, lampu yang kepunyaan keluarga kita telah
dinyalakan. Minyak untuk menyalakannya dibeli dari uang kita sendiri. Silakan
lanjutkan maksud kedatanganmu,” kata sosok berjulukan "khulafaur
rasyidin kelima" itu lagi.
Demikianlah, bermula dari sikap wara’ para
elit, penegakan hukum tanpa tebang-pilih dan demokratis, hingga pelaksanaan
hukuman yang keras di depan publik, merupakan beberapa jalan yang dapat
ditempuh.
Bila para pemimpin sudah seusia kaidah agama, maka rakyat
di bawah pun akan tergerak untuk memelihara norma-norma yang sama.
Post a Comment