Gaji Guru

Oleh : Mahmud Thorif

Berbincang tentang sekolah, maka tidak bisa lepas dari lembaga pendirinya, baik itu swasta atau pemerintah, guru, siswa, dan masyarakat. Jika Lembaga pendiri itu pemerintah maka sudah barang tentu sistemnya sudah bagus sedemikian rupa karena pemerintah, melalui Kementerian Pendidikan Nasional sudah sangat berpengalaman dalam mengurusi sekolah, mulai dari jenjang PAUD hingga Perguruan Tinggi. Maka tidaklah heran, banyak sekolah-sekolah berkualitas tinggi lahir dari sekolah-sekolah yang dibawah Kemendikbud ini. Walau tidak bisa menutup mata, banyak sekolah negeri yang harus di-merger karena tidak ada orangtua yang mendaftarkan anaknya ke sekolah tersebut.

Sekolah yang berkualitas identik dengan sekolah mahal. Lihat saja, walau notabene sekolah milik pemerintah, tapi ketika ia menjadi sekolah favorit ternyata biayanya juga selangit, sehingga tidak jarang anak-anak dari keluarga yang tidak mampu tidak bisa masuk ke sekolah tersebut. Adanya zonasi sekolah yang diterapkan kepada sekolah milik pemerintah ini akhirnya bisa mendobrak sekolah favorit yang didominasi oleh orang tua yang mampu dari segi finansial bisa diisi oleh anak-anak yang mampu dari segi akademik. Walau tentu banyak perihal yang tidak tampak di permukaan, apa masalah yang timbul akibat dari diterapkannya zonasi sekolah ini.

Nah, bagi sekolah negeri, tentulah untuk guru tidak menjadi kendala yang begitu berarti, karena mulai dari stok jumlah, gaji, dan lain sebagainya ditentukan oleh pemerintah, melalui dinas pendidikan di kabupaten/kota masing-masing, selaku pemilik sekolah tersebut.

Bagaimana dengan sekolah swasta? Yang mulai dari gedung, isi gedung, gaji guru, operasional pendidikan harus berbiaya mandiri oleh lembaga pendirinya? Tentulah beban lembaga pendiri pendidikan ini sangat berat, sehingga wajar, sekolah swasta harus 'mengeruk' uang dari orang tua siswa dalam menjalankan lembaga pendidikan yang didirikan oleh mereka. Baik dalam hal pembangunan gedung sekolah, gaji guru dan karyawan, biaya operasional sekolah, dan lain sebagainya.

Gaji guru, akhir-akhir ini menjadi sorotan masyarakat, misalnya di sekolah milik pemerintah, ada istilah guru honorer. Banyak berita berseliweran bahwa gaji guru honor sekolah negeri ini sekitar Rp 300.000,00. Ironis, guru yang tugasnya bergitu berat mendidik anak-anak menjadi penerus bangsa digaji sangat kecil. Belum nanti jika orang tua siswa protes kepada gurunya, bahkan ada juga yang rela mempolisikan gurunya masuk ke penjara.

Kecilnya gaji gutu ini tentu berdampak kepada hidup dan kehidupan para guru. Jika mereka mempunyai keluarga apakah mencukupi kebutuhan keluarganya dalam kurun waktu sebulan? Untuk makan, pendidikan, perumahan, kesehatan, bahkan untuk jalan-jalan? Ah saya mungkin sangat jauh dari kata cukup.

Bagaimana dengan sekolah swasta? Cobalah tengok ke yayasan pendiri lembaga pendidikan, tanyakan kepada mereka berapa gaji guru di yayasan mereka. Apakah UMR, di bawah UMR, atau bahkan di atas UMR? Tentulah jawaban mereka akan berbeda-beda. Ada yang masih jauh dari UMR, ada yang mendekati UMR, ada yang sudah UMR, dan mungkin juga ada yang di atas UMR.

Gaji guru bukan menjadi tolok ukur dari kesejahteraan seorang guru. Karena ada guru yang bergaji kecil pun ada yang sejahtera kehidupannya. Besar kecilnya gaji guru memang bukan tolok ukur sebuah sekolah menjadi baik atau buruk.

Harapan semuanya, pemerintah dan pendiri lembaga pendidikan swasta harus lebih memperhatikan kesejahteraan guru. InsyaAllah jika guru sejahtera, saat mengajar para guru tidak banyak berpikir tentang keluarganya yang entah makan apa besok, tentang pendidikan anak-anaknya yang apakah bisa menyekolahkan ke jenjang lebih tinggi, tentang kesehatan diri dan keluarganya, dan lebih jauh tentang hidup dan kehidupan seorang guru tersebut.

Besarnya gaji guru memang bukan segalanya, karena saya yakin, di negeri ini masih banyak guru-guru yang rela tanpa digaji, guru-guru yang rela mengajarkan nilai-nilai kepada anak didik mereka dengan ikhlas.

Wahai para guru! Jadilah guru yang menginspirasi!

Mahmud Thorif, Redaktur Majalah Fahma

Powered by Blogger.
close