Gaji Guru
Berbincang
tentang sekolah, maka tidak bisa lepas dari lembaga pendirinya, baik itu swasta
atau pemerintah, guru, siswa, dan masyarakat. Jika Lembaga pendiri itu
pemerintah maka sudah barang tentu sistemnya sudah bagus sedemikian rupa karena
pemerintah, melalui Kementerian Pendidikan Nasional sudah sangat berpengalaman
dalam mengurusi sekolah, mulai dari jenjang PAUD hingga Perguruan Tinggi. Maka
tidaklah heran, banyak sekolah-sekolah berkualitas tinggi lahir dari
sekolah-sekolah yang dibawah Kemendikbud ini. Walau tidak bisa menutup mata,
banyak sekolah negeri yang harus di-merger
karena tidak ada orangtua yang mendaftarkan anaknya ke sekolah tersebut.
Sekolah
yang berkualitas identik dengan sekolah mahal. Lihat saja, walau notabene
sekolah milik pemerintah, tapi ketika ia menjadi sekolah favorit ternyata
biayanya juga selangit, sehingga tidak jarang anak-anak dari keluarga yang
tidak mampu tidak bisa masuk ke sekolah tersebut. Adanya zonasi sekolah yang
diterapkan kepada sekolah milik pemerintah ini akhirnya bisa mendobrak sekolah
favorit yang didominasi oleh orang tua yang mampu dari segi finansial bisa
diisi oleh anak-anak yang mampu dari segi akademik. Walau tentu banyak perihal
yang tidak tampak di permukaan, apa masalah yang timbul akibat dari diterapkannya
zonasi sekolah ini.
Nah,
bagi sekolah negeri, tentulah untuk guru tidak menjadi kendala yang begitu
berarti, karena mulai dari stok jumlah, gaji, dan lain sebagainya ditentukan
oleh pemerintah, melalui dinas pendidikan di kabupaten/kota masing-masing,
selaku pemilik sekolah tersebut.
Bagaimana
dengan sekolah swasta? Yang mulai dari gedung, isi gedung, gaji guru, operasional
pendidikan harus berbiaya mandiri oleh lembaga pendirinya? Tentulah beban
lembaga pendiri pendidikan ini sangat berat, sehingga wajar, sekolah swasta
harus 'mengeruk' uang dari orang tua siswa dalam menjalankan lembaga pendidikan
yang didirikan oleh mereka. Baik dalam hal pembangunan gedung sekolah, gaji
guru dan karyawan, biaya operasional sekolah, dan lain sebagainya.
Gaji
guru, akhir-akhir ini menjadi sorotan masyarakat, misalnya di sekolah milik
pemerintah, ada istilah guru honorer. Banyak berita berseliweran bahwa gaji
guru honor sekolah negeri ini sekitar Rp 300.000,00. Ironis, guru yang tugasnya
bergitu berat mendidik anak-anak menjadi penerus bangsa digaji sangat kecil.
Belum nanti jika orang tua siswa protes kepada gurunya, bahkan ada juga yang
rela mempolisikan gurunya masuk ke penjara.
Kecilnya
gaji gutu ini tentu berdampak kepada hidup dan kehidupan para guru. Jika mereka
mempunyai keluarga apakah mencukupi kebutuhan keluarganya dalam kurun waktu
sebulan? Untuk makan, pendidikan, perumahan, kesehatan, bahkan untuk
jalan-jalan? Ah saya mungkin sangat jauh dari kata cukup.
Bagaimana
dengan sekolah swasta? Cobalah tengok ke yayasan pendiri lembaga pendidikan,
tanyakan kepada mereka berapa gaji guru di yayasan mereka. Apakah UMR, di bawah
UMR, atau bahkan di atas UMR? Tentulah jawaban mereka akan berbeda-beda. Ada
yang masih jauh dari UMR, ada yang mendekati UMR, ada yang sudah UMR, dan
mungkin juga ada yang di atas UMR.
Gaji
guru bukan menjadi tolok ukur dari kesejahteraan seorang guru. Karena ada guru
yang bergaji kecil pun ada yang sejahtera kehidupannya. Besar kecilnya gaji
guru memang bukan tolok ukur sebuah sekolah menjadi baik atau buruk.
Harapan
semuanya, pemerintah dan pendiri lembaga pendidikan swasta harus lebih
memperhatikan kesejahteraan guru. InsyaAllah jika guru sejahtera, saat mengajar
para guru tidak banyak berpikir tentang keluarganya yang entah makan apa besok,
tentang pendidikan anak-anaknya yang apakah bisa menyekolahkan ke jenjang lebih
tinggi, tentang kesehatan diri dan keluarganya, dan lebih jauh tentang hidup
dan kehidupan seorang guru tersebut.
Besarnya
gaji guru memang bukan segalanya, karena saya yakin, di negeri ini masih banyak
guru-guru yang rela tanpa digaji, guru-guru yang rela mengajarkan nilai-nilai
kepada anak didik mereka dengan ikhlas.
Wahai
para guru! Jadilah guru yang menginspirasi!
Mahmud Thorif, Redaktur Majalah Fahma
Post a Comment