Kembali
Oleh : Syaiful Anshor
Selama ini kita seolah merasa aman dan tidak terjadi apa-apa terhadap dunia ini. Tak ada bahaya yang mengancam. Bahkan kiamat—satu momentum kehancuran alam jagad raya, dan akhir dari kehidupan— pun, kita yakin masih sangat jauh. Meski tanda-tandanya sering sekali diceramahkan oleh para ustaz.
Banyak berpendapat kiamat masih lama. Banyak argumentasi sering kita dengar. Ada yang bilang masih banyak orang beriman, orang shaleh, dan yang rajin baca Al-Qur’an. Ada juga yang bilang dajjal belum keluar. Imam Mahdi belum muncul. Dan Nabi Isa belum turun. Jadi, kiamat masih lama. Kita masih aman-aman saja.
Tak heran jika denyut kehidupan berjalan seperti biasanya. Semuanya sibuk dengan agenda dan aktivitas masing-masing. Bekerja keras. Peras keringat banting tulang. Bahkan tak jarang berangkat pagi pulang petang. Untuk mencari dan mendapatkan yang diinginkan. Sampai-sampai kita terkadang lupa.
Lupa mendidik keluarga di rumah
Lupa kepada Allah yang telah menciptakan kita
Lupa tujuan hidup di dunia
Lupa dunia ini hanyalah sementara
Lupa semua yang kita cari di dunia ini dengan setengah mati akan
ditinggal begitu saja
Lupa akan setelah kematian ada kehidupan lagi
Lupa kalau di akhirat kelak ada neraka dan surga
Di tengah kelupaan itu, kita tiba-tiba dikagetkan sesuatu. Ya, sesuatu yang sebelumnya tak pernah terpikirkan, bahkan tak terlintas di alam bawah sadar. Apalagi di zaman serba canggih seperti ini. Yang semunya bisa terdeteksi, dan dicarikan solusi.
Sesuatu yang mengagetkan itu adalah virus yang mematikan.
Virus itu bernama corona virus desease atau biasa disingkat Covid-19
yang pertama kali muncul di Wuhan, China. Virus ini mengagetkan semua orang.
Bahkan semua negara. Tak ada yang tidak takut, dan khawatir. Semuanya merasakan
hal yang sama. Baik negara miskin, berkembang, bahkan negara maju sekalipun.
Semuanya ketakutkan, dan khawatir akan bahaya virus ini.
Apalagi virus yang konon berasal dari hewan kelelawar ini telah menelan banyak korban. Ketika artikel ini ditulis, setidaknya sekitar 3 juta lebih orang di seluruh dunia terpapar virus, dan 200 ribu lebih meninggal dunia. Saking banyaknya korban, banyak diberitakan tak sedikit jenazah tergelatak. Tak terurus. Bahkan negara adidaya sekelas Amerika Serikat saja kewalahan.
Kemunculan virus ini begitu mengagetkan dunia. Seperti orang yang sedang tertidur pulas, dan mimpi indah, lalu tiba-tiba terjadi gempa dan terbangun. Kaget. Takut. Bingung. Tak jauh berbeda kemunculan virus ini. Ketika penduduk bumi ini sedang sibuk dengan dunia meraka masing-masing—membangun ekonomi sekuat-kuatnya—dan lain sebagainya, tiba-tiba muncul wabah pandemi ini.
Hewan super kecil dan hanya bisa dilihat oleh alat super canggih ini lalu mengubah semuanya. Hampir seluruh sendi kehidupan.
Belajar tidak lagi di bangku kelas, sekarang pindah lewat online, via aplikasi Zoom, Webex, dan lain sebagainya.
Para pejabat tinggi negara, dan lainnya yang biasanya rapat di satu ruangan elit, ber-AC, luks, dan ramai kini menggunakan internet. Jarak jauh. Di kediaman masing-masing.
Orang yang tadinya sibuk berkeliaran di muka bumi lalu mau tidak mau harus kembali ke rumah, mengisolasi diri, dan dilarang kemana-mana.
Orang yang bebas pergi kemana saja, tanpa masker, tidak membawa hand sanitizer, dan lain sebagainya, sekarang harus mematuhi protok kesehatan: social dan physical distancing, memakai masker, membawa handsanitizer, bahkan menggunakan sarung tangan. Itu saja belum cukup. Tidak boleh salaman, dan harus berjarak minimal satu meter. Serba ribet. Membuat semua orang sibuk.
Tak hanya itu, yang membuat kita—umat Islam sedih, dan meneteskan air mata—adalah tak lagi bisa beribadah di masjid. Masjid-masjid kini kosong. Hanya bisa mendengarkan kumandang azan. Tapi, tak ada shalat jemaah lima waktu, tak ada shalat jumat, bahkan nanti kabarnya tak ada shalat Idul Fitri berjamaah.
Bahkan kiblat umat Islam—Ka’bah—sebelumnya sempat ditutup, dan tidak dipergunakan seperti biasanya untuk umum. Meski kabarnya sudah dibuka kembali hanya saja masih terbatas. Namun, hingga kini belum lagi ada umroh. Bahkan haji belum ada kepastian, dan kemungkinan besar, bisa jadi ditiadakan untuk tahun ini.
Wabah pandemi telah mengubah segalanya. Mau tidak mau. Suka tidak suka.
Kuat tidak kuat. Sekarang semuanya lebih banyak di rumah. Bahkan semua
aktivitas dilakukan di rumah Work from home (WFH): belajar, bekerja, dan
beribadah. Hanya sebagian yang mendapatkan pengecualian. Orang-orang tertentu.
Kondisi seperti ini setidaknya mengusik, dan mematahkan rasa aman, dan tenang seperti dalam tulisan pembuka (lead) di atas. Ternyata, dunia cepat sekali berubah. Tak ada yang mustahil, dan tak mungkin. Semuanya bisa terjadi jika Pemilik Alam, Allah Ta’ala telah berkehendak. Tinggal berkata, “Kun Fayakun.” Termasuk jika suatu saat nanti akan terjadi kiamat. Itu bukan hal susah bagi-Nya. Sangat, dan sangat mudah. Apalagi sudah dijajikan: kiamat pasti akan terjadi.
Kondisi seperti ini seharusnya membuat kita sadar. Sekarang waktunya untuk kembali setelah sekian lama kita pergi. Jangan sampai ada di antara kita yang lupa kembali. Lupa kemana dia akan dikembalikan. Sebab, bisa jadi dunia dengan segala sihir keelokan, dan keindahannya telah melupakan kita. Seolah akan hidup selamanya di dunia.
Sekarang waktunya kita kembali. Kembali untuk ke rumah. Bukan saja sekadar untuk beraktivitas di rumah. Tetapi kembali untuk menata, dan mengelola rumah tangga yang lebih baik, lebih diridhai, dan lebih barokah. Bisa jadi selama ini kita telah lupa keluarga karena terlalu sibuk bekerja di luar sana. Tak pernah menyapa anak-anak, tak pernah mengimami shalat mereka, dan tak pernah membersamai mereka.
Kembali lebih dekat Allah. Bisa jadi selama ini kita terlalu sibuk dengan aktivitas duniawi. Mengejar kehidupa dunia yang tak pernah ada habisnya sehingga lupa dan meninggalkan-Nya. Tak memenuhi panggilan Allah saat azan berkumandang. Dahi tak pernah tersentuh sajadah shalat. Lisan yang tak pernah tergerak untuk berzikir, dan membaca kalam-kalam-Nya yang suci.
Kembali untuk mengingat hari setelah kehidupan di dunia ini. Kehidupan akhirat yang kekal abadi. Sebagai tonggak kehidupan manusia hakiki. Sengsara selamanya atau bahagia selamanya? Dengan mengingat itu semua setidaknya menyadarkan kita bahwa dunia ini sebentar. Tempat singgah sementara. Sekadar mencari bekal akhirat. Jangan sampai selama hidup tak ada bekal yang dibawa. Alangkah rugi.
Kembali untuk mengingat kematian. Sebuah fragmen hidup yang pasti
dilalui oleh setiap manusia. Tak ada yang luput. Sekadar soal giliran. Cepat
atau lambat. Sebagaimana setiap hari kita menghitung angka meninggal di media
akibat wabah pandemi. Ratusan bahkan ribuan di seluruh dunia. Setiap hari.
Sungguh kejadian ini adalah nasihat berharga. Ya, jika dengan nasihat kematian itu tidak juga membuat hati kita terketuk untuk kembali menjadi lebih baik, lantas dengan nasihat apa lagi yang kita butuhkan? Mari kita kembali memperbaiki diri. Agar lebih dekat, dan lebih diridhai oleh Allah. Sebelum kita benar-benar kembali kepada-Nya. Selamanya.
Syaiful Anshor, Penulis, Pendidik, dan Da’i
Post a Comment