Menetap Kuat di Dalam Jiwa
Akhlak sebagaimana diterangkan Imam
Al-Ghazali dalam kitab Ihya
Ulumiddin, merupakan suatu perangai yang menetap kuat dalam jiwa. Karakter akhlak dalam jiwa itu
timbul lantaran perbuatan-perbuatan tertentu yang dilakukan setiap orang.
Imam Al-Ghazali membagi akhlak ke
dalam dua syarat, yakni stabilitas dan spontanitas. Adapun stabilitas akhlak
merupakan karakter yang memungkinkan pelakunya melakukan perbuatan baik yang
konsisten, permanen, serta berkelanjutan. Sedangkan akhlak yang sifatnya
spontan hadir di saat muncul kesempatan dan juga dilakukan tanpa paksaan.
Menurut beliau, orang yang berakhlak
setidaknya dapat mengendalikan empat hal yang cukup sulit dikendalikan di
berbagai aspek hidup, antara lain nafsu, amarah, pengetahuan, dan keadilan.
Dengan demikian, akhlak bukanlah hanya mengatur laku kata, namun juga laku
sikap.
Terdapat suatu kisah yang menarik tentang akhlak dari
seorang bocah penggembala domba. Suatu ketika Khalifah Umar bin Abdul Aziz
menghampiri seorang anak yang tengah menggembala domba milik majikannya.
Untuk menguji kejujuran anak tersebut, Umar bin Abdul
Aziz bertanya: “Nak, maukah kau jual dombamu satu kepadaku?”. Si anak lantas
menjawab: “Domba-domba ini bukan milikku, tapi milik majikanku”.
Umar tidak berhenti dan terus merayu anak tersebut untuk
menjualnya, beliau berkata: “Tapi kalau kau jual satu untukku, majikanmu tidak
akan tahu,”. Lalu anak itu menjawab: “Majikanku memang tidak tahu, tapi Allah
selalu tahu. Dan aku tak mau mengecewakan Tuhanku”.
Jika disandingkan dengan hadis Rasulullah, sikap si anak
tadi pun dapat menggambarkan apa itu akhlak yang mulia. Nabi Muhammad pernah
berkata: “Kebaikan adalah apa-apa yang kamu lakukan membuat hatimu tenang.
Sedangkan kejahatan adalah bilamana
hal-hal yang kamu lakukan membuat hatimu gelisah”
Redaksi Fahma
Post a Comment