Mensyukuri Nikmat Keturunan
Oleh : Zakya Nur Azizah
Seorang muslim mesti pandai mensyukuri nikmat yang
berupa anak dan keturunan. Karena tidak ada satu nikmat
pun kecuali Allah akan meminta pertanggungjawabannya kelak di akhirat, sebagaimana
dalam firman-Nya yang artinya: “Kemudian kamu pasti akan ditanyai pada hari itu
tentang kenikmatan (yang kamu megah-megahkan di dunia itu).” (At-
Takatsur: 8)
Ada beberapa hal yang semoga membantu kita khususnya para
orangtua, untuk meningkatkan rasa syukur atas nikmat keluarga dan anak-anak
yang telah Allah titipkan, sehingga dengan semakin baiknya kualitas syukur
kita, semoga Allah melanggengkan dan menambah nikmat tersebut, serta
menghindarkan kita dari berbagai keburukan yang bisa ditimbulkan oleh persepsi
dan sikap yang kurang tepat ketika mengelola nikmat yang ada pada kita.
Pertama, keimanan. Iman bahwa keturunan adalah karunia dan
amanah Allah yang diberikan kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Keimanan seperti
ini akan melahirkan keyakinan bahwa anak adalah amanah dan ladang pahala,
sehingga orangtua akan bersikap khusyu’, tawadhu’, dan penuh kehati-hatian
mengemban amanah ini karena ia yakin kelak akan menghadap Allah untuk
menyampaikan laporan pertanggungjawabannnya. Di samping ia yakin bahwa anak
adalah ladang amal sholih, dan otomatis setiap detik waktu, helaian nafas,
setiap rupiyah, cucuran keringat dan kelelahan yang dia berikan untuk membesarkan
anak akan dibayar Allah dengan ganjaran sempurna. Dan itu akan melahirkan
semangat dan rasa syukur yang mendalam dalam dirinya.
Kedua, rasa ridho. Ridha pada ketetapan Allah, apakah Dia
memberi keturunan laki-laki atau perempuan, berkulit yang putih, atau hitam,
serta ciri fisk lainnya. Karena seseorang hanya bisa mengupayakan sesuai batas
kemampuan mereka. Istri Imran resah karena anaknya terlahir perempuan, padahal
ia mendambakan anak laki-laki.
Kalau orangtua ridho pada pemberian Allah, maka mereka akan
mencintai dan mendidik anak dengan sebaik-baiknya agar kelak Allah juga ridha
pada mereka. Orangtua juga hendaknya ridha pada ketetapan Allah yang terkait
dengan aturan berkeluarga, dan rambu-rambu dalam mendidik anak, baik yang
berupa nash Al- Qur’an maupun hadits Nabi. Jika ada sebagian yang belum mampu
ia laksanakan, minimal ia tidak membencinya, atau bersikap sinis dan
mencari-cari titik kelemahannya.
Ketiga, kesadaran Orangtua hendaknya menyadari dan peka dengan
situasi zamannya, dan membentengi anak-anaknya dari pengaruh budaya yang buruk
seperti LGBT, menjauhkan mereka dari pergaulan yang merusak akhlak, dan
memperkenalkan mereka dengan tokoh, adab, dan akhlak Islam. Kesadaran bahwa
setiap anak juga punya potensi untuk menjadi pribadi yang baik atau justru
menjadi perusak dan pembuat onar. Karena itulah di butuhkan bekal dan persiapan
dan usaha yang panjang dan melelahkan.
Keempat, kecerdasan. Orangtua yang cerdas akan memahami hakekat
nikmat keturunan, bahwa ia adalah bagian dari perhiasan dunia. Sehingga ia akan
bersyukur karena telah dipilih Allah mendapat karunia-Nya. Berapa banyak orang
yang harus menunggu berpuluh tahun. Sebagiannya lagi tak juga mendapat nikmat
tersebut hingga ajal menjemput mereka. Dan ia akan meningkatkan amal ibadah dan
ketaatan karena di beri karunia Allah tersebut, bukan malah sibuk dengan anak
dan keluarga hingga melalaikan perintah agama. Kecerdasan ini di
butuhkan agar orangtua mampu menjadikan anak-anaknya sebagai sarana menggapai
keridhaan Allah SWT, dan ia bisa membaca rambu-rambu peringatan yang banyak
terdapat dalam Al- Qur’an tentang ujian yang datang dalam
berbagai bentuk kenikmatan dunia, termasuk di dalamnya anak dan
istri serta harta kekayaan. Ulama mengajari kita agar menjadikan
dunia sebagai samudra, dan amal sholeh sebagai bahtera yang mengantarkan ke
tanah surga:
Jadi, orangtua yang cerdas akan menjadikan anaknya sebagai kawan
untuk menyeberangi samudra kehidupan ini dengan rangkaian amal sholih demi amal
sholih yang akan membawa mereka ke pulau impian, yaitu tanah surga yang luasnya
seluas langit dan bumi. Ada sebuah harapan yang disemai bersama
meski mereka tinggal dalam rumah kontrakan yang sempit dan serba kekurangan.
Zakya Nur Azizah, Pemerhati Anak
Post a Comment