Mintalah Barakah dalam Pernikahan

Oleh : Mohammad Fauzil Adhim

Maka bukan mawaddah, bukan pula rahmah, yang menjadi tujuan perkawinan. Langkah awal yang salah adalah kalau kita menghabiskan umur untuk menciptakan sakinah. Salah prioritas kita, maka salah pula kita melangkah dan menentukan apa yang paling penting untuk kita perhatikan. Bukan berarti sakinah tidak penting. Saya bahkan menamai di antara anak perempuan saya dengan Sakinah. Tetapi imajinasi tentang sakinah yang menghiasi berbagai buku-buku pernikahan maupun pembahasan bombastis dalam berbagai seminar maupun perkuliahan, melebihi ruang lingkup serta proporsinya dalam agama ini.

Sama imajinernya kalau kita menganggap bahwa mawaddah, jalinan cinta yang syahdu memenuhi kalbu, hanya dapat terwujud antara pasangan yang seiman saja. Sebab bukan begitu Al-Qur’an berkata. Justru karena mawaddah luas cakupannya, bukan hanya di antara orang yang beriman, bukan pula hanya ada dalam lembaga perkawinan, maka semakin perlu kita berhati-hati dalam mengelola sepotong rasa ini agar tidak menerabas batas-batas agama. Di satu sisi, kita perlu berusaha menghidupkan dan menelisik jika tidak tumbuh dalam urusan yang seharusnya ada mawaddah di situ.

Dalam kaitannya dengan perkawinan, ada hal yang sungguh-sungguh perlu kita upayakan, bahkan semenjak kita belum melangkah menuju akad nikah. Inilah yang paling berharga dalam pernikahan dan karena itu kita tidak meminta do’a kepada khalayak, para tetamu yang hadir maupun kerabat dan sahabat yang tak sempat datang, kecuali memohon do’a barakah.

Apa yang terjadi jika kita terlalu banyak wacana imajiner tentang mawaddah? Seakan pernikahan hanyalah tentang cinta. Tanaman pun jika terlalu banyak pupuk justru tidak baik. Alih-alih menguatkan, malah menjadikan semakin rentan. Baru lockdown beberapa pekan, kebosanan perkawinan sudah menyeramkan.

Apa sebabnya kita lebih mudah menikmati candaan spontan seorang teman dengan lelucon yang bahkan sudah sangat sering kita dengar? Tetapi mengapa hal yang sama sulit menggembirakan hati kita pada saat sengaja mendengarkan seseorang yang memang pekerjaannya melucu? Kita jengkel ketika mendengarkan leluconnya itu-itu saja. Padahal lelucon basi itu pula yang menghidupkan suasana saat berjumpa kawan lama.

Ini sekedar ilustrasi. Hanya gambaran untuk memudahkan kita berbenah agar tidak melebih-lebihkan, tidak pula menyempitkan pembahasan tentang mawaddah yang Al-Qur’an telah membahasnya. Jika kita ingin menghadirkan rumah-tangga Islami, saatnya kita hidupkan suasana Islam itu ya dengan tuntunan Islam. Bukan dengan imajinasi kita.

Tak boleh kita belajar tentang psikologi perkawinan? Boleh, tetapi jangan salah menempatkan.

Mohammad Fauzil Adhim, Penulis Buku-buku Parenting dan Pernikahan


Powered by Blogger.
close