Billy Sidis, Tragedi Anak Berbakat
Oleh : Mohammad Fauzil Adhim
Contoh paling sempurna tentang buta tarbiyah (الأمية التربوية) adalah apa terjadi pada Billy Sidis –panggilan akrab dari William James Sidis. Jangankan untuk akhirat. Sukses dunia pun tak cukup hanya berbekal cerdas dan bakat. Bahkan kejeniusan pun tak menolong mereka.
Mari kita ingat sejenak salah satu jenius besar yang pernah lahir di muka bumi. Namanya William James Sidis. Bapaknya –seorang profesor—adalah pengagum besar William James, tokoh psikologi behaviorisme yang yakin betul bahwa pembiasaan merupakan kunci terpenting pendidikan. Ia juga yakin bahwa cara paling tepat untuk memacu kecerdasan anak dengan memberi stimulasi maksimal di usia awal pertumbuhan anak.
Sejak usia 6 bulan, ayahnya telah mengajarkan kepadanya huruf-huruf sesuai urutan abjad. Sesudah itu, ayahnya mengajarkan ilmu bumi, ilmu ukur, ilmu tubuh manusia, dan bahasa Yunani berdasarkan buku ajar yang dipakai di sekolah. Hasilnya, usia 5 tahun William James Sidis telah mampu menyusun karya ilmiah tentang anatomi. Kejeniusannya berkembang sehingga pada usia 11 tahun ia telah menjadi mahasiswa di Harvard University dan usia 14 tahun telah mampu memberi kuliah.
Tetapi kecerdasan tanpa kemampuan mengelola diri, tak cukup untuk membuatnya bahagia. Ia kemudian melarikan diri dari lingkungan yang mengelu-elukannya. Ia lebih memilih menjadi buruh cuci piring di sebuah restoran karena kecerdasan tak bisa membuatnya bahagia.
Kecerdasannya dipacu, bakatnya diasah, tetapi lupa pada jiwa.
Sesungguhnya ada tiga potensi manusia yang berbeda-beda tingkat kemudahannya membentuk. Ini jika dilihat dari psikologi. Yang paling sulit adalah karakter, sesudah itu motivasi dan yang paling mudah adalah kemampuan kognitif serta keterampilan. Jika seseorang memiliki karakter yang kuat, mudah baginya untuk memperoleh kemampuan kognitif, mengembangkan “bakat” maupun keterampilan yang tinggi. Dan inilah yang harus kita perhatikan saat mereka belia. Inilah yang menjadi perhatian di berbagai belahan bumi yang menghargai betul arti sumber daya insani.
Bagaimana dengan Anda?
Tulisan ini saya ambil dari buku Segenggam Iman Anak Kita terbitan @proumedia Semoga bermanfaat dan barakah.
Mari kita ingat sejenak salah satu jenius besar yang pernah lahir di muka bumi. Namanya William James Sidis. Bapaknya –seorang profesor—adalah pengagum besar William James, tokoh psikologi behaviorisme yang yakin betul bahwa pembiasaan merupakan kunci terpenting pendidikan. Ia juga yakin bahwa cara paling tepat untuk memacu kecerdasan anak dengan memberi stimulasi maksimal di usia awal pertumbuhan anak.
Sejak usia 6 bulan, ayahnya telah mengajarkan kepadanya huruf-huruf sesuai urutan abjad. Sesudah itu, ayahnya mengajarkan ilmu bumi, ilmu ukur, ilmu tubuh manusia, dan bahasa Yunani berdasarkan buku ajar yang dipakai di sekolah. Hasilnya, usia 5 tahun William James Sidis telah mampu menyusun karya ilmiah tentang anatomi. Kejeniusannya berkembang sehingga pada usia 11 tahun ia telah menjadi mahasiswa di Harvard University dan usia 14 tahun telah mampu memberi kuliah.
Tetapi kecerdasan tanpa kemampuan mengelola diri, tak cukup untuk membuatnya bahagia. Ia kemudian melarikan diri dari lingkungan yang mengelu-elukannya. Ia lebih memilih menjadi buruh cuci piring di sebuah restoran karena kecerdasan tak bisa membuatnya bahagia.
Kecerdasannya dipacu, bakatnya diasah, tetapi lupa pada jiwa.
Sesungguhnya ada tiga potensi manusia yang berbeda-beda tingkat kemudahannya membentuk. Ini jika dilihat dari psikologi. Yang paling sulit adalah karakter, sesudah itu motivasi dan yang paling mudah adalah kemampuan kognitif serta keterampilan. Jika seseorang memiliki karakter yang kuat, mudah baginya untuk memperoleh kemampuan kognitif, mengembangkan “bakat” maupun keterampilan yang tinggi. Dan inilah yang harus kita perhatikan saat mereka belia. Inilah yang menjadi perhatian di berbagai belahan bumi yang menghargai betul arti sumber daya insani.
Bagaimana dengan Anda?
Tulisan ini saya ambil dari buku Segenggam Iman Anak Kita terbitan @proumedia Semoga bermanfaat dan barakah.
Post a Comment