Halal
Oleh : Akhid Nur Setiawan
"Nyuwun halale nggih," pamit Kang Abas setelah menerima upah atas pekerjaannya. (terjemah Bahasa Jawa : Minta halalnya ya)
Kalimat itu terasa berat terdengar bagi saya. Bukan karena berat untuk menghalalkan tapi berat mengingat betapa banyak keharaman yang tanpa sadar saya ambil dari orang lain. Seberapa sering saya meminta halal pada orang yang saya pergauli?
Yang halal itu jelas, yang haram itu jelas, di antara keduanya ada perkara meragukan. Minta halal menjadi sebentuk upaya agar urusan yang berada di wilayah samar bergeser ke wilayah halal. Minta halal mungkin sederhana tapi sangat penting dan pasti ada perhitungannya.
Ini bukan bab meminta sesuatu yang nampak harus dihalalkan seperti memetik daun singkong milik tetangga karena kita butuh hijau-hijauan untuk sayur. Ini bukan juga seperti kisah "Slilit Sang Kiai" yang menggambarkan kesusahan seorang kiai di alam kubur karena telah tanpa izin mematahkan selidi bambu dari pagar tuan rumah untuk membersihkan makanan yang terselip di giginya seusai menikmati hidangan hajatan. Ini tentang muamalah yang di dalamnya memuat syarat ridho sama ridho.
Penggunaan kata halal sering saya dengar dari para jamaah haji yang menceritakan pengalaman mereka tinggal di tanah suci. Asal sudah dibilang halal, berarti boleh diambil, dipakai, atau dimakan. Saat berbelanja di sana, halal artinya sepakat dengan harga yang ditawar. Dengan kata "halal" pemilik barang merelakan perpindahan kepemilikan barangnya kepada orang lain secara ridho.
"Monggo Mas, halal!"
Terdengar begitu menenteramkan bukan? Ada dua hal terlahir dalam satu kata halal: halal barangnya dan halal kepemilikannya.
Barangkali karena di tengah masyarakat kita belum umum orang saling menghalalkan saat berinteraksi dalam pergaulan sehari-hari, diciptakanlah tradisi halal bil halal setahun sekali. Tradisi ini semacam ikrar sapu jagat agar semua masyarakat terbebas dari perkara yang tidak halal satu sama lain.
"Pokoknya, apa-apa yang mungkin haram atau belum jelas kehalalannya di antara kita selama satu tahun ini, sejak sekarang mohon dihalalkan ya," begitu kira-kira.
Akhid Nur Setiawan, Seorang Pendidik di Hidayatulah Yogyakarta
Post a Comment