Lebaran dan Baju Baru

Oleh : Zakya Nur Azizah

Menjelang akhir Ramadhan, hal yang paling sering diperbincangkan anak adalah baju baru. Entah dari mana awal mula tradisi baju baru saat lebaran ini, padahal Rasulullah sendiri menganjurkan ummatnya untuk memakai pakaian terbaik, ingat pakaian terbaik! Bukan pakaian baru. Banyak orang tua yang justru memaksakan diri untuk membelikan baju baru untuk anaknya.

Saya sempat mengernyitkan dahi ketika membaca sebuah artikel di internet. Seorang bapak ketika diwawancarai salah satu wartawan saat berada di Pegadaian, mengaku terpaksa menggadaikan emas yang dimilikinya senilai sekitar Rp 1 juta demi membelikan baju untuk anak-anaknya. Begitu bernilaikah sebuah baju baru yang kemungkinan hanya akan terasa sensasinya sekali saja ketika dipakai saat berlebaran bersama sanak saudara? Ini pula yang terekam ke akal dan pikiran anak-anak bahwa lebaran itu memang harus memiliki baju baru.

Tidak sedikit anak yang di pertengahan bulan Ramadhan sudah merengek minta dibelikan baju baru, sebab teman-temannya di sekolah sudah banyak yang dibelikan oleh orang tuanya. Belum lagi ketika malam harinya mereka shalat tarawih. Hampir pasti ada obrolan mereka yang mengarah ke pembelian baju baru untuk lebaran. Jika teman-temannya sudah mendapatkan baju baru, atau akan membeli baju baru, hampir dipastikan ketika pulang, anak kita akan merengek minta segera dibelikan baju baru.

Lebaran memang sering diidentikkan dengan kembali pada hakikat manusia yang sesungguhnya, yakni manusia yang bersih seperti bayi, alias kembali ke fitrah-nya sebagai manusia. Momentum inilah yang seharusnya diajarkan kepada anak. 

Perlu diingat, terkadang stimulus dari lingkunganlah yang membentuk anak terbiasa dengan baju baru. Misalnya, orang tua selalu membiasakan membeli baju baru ketika lebaran, tanpa memberikan pengertian. Atau anak sering melihat stimulus dari lingkungan, di mana tetangga atau masyarakat yang selalu membeli baju baru saat lebaran. Pembiasaan seperti inilah yang pada akhirnya membentuk pandangan atau persepsi bahwa lebaran identik dengan baju baru. 

Karena itu, agar anak tidak salah tangkap, orang tua harus bisa bisa menjadi contoh, yakni  dengan tidak selalu memakai baju baru saat hari lebaran. Bagaimana mungkin kita bisa memberi pemahaman pada anak bahwa lebaran itu tidak harus pakai baju baru, jika kita sendiri juga ikutan berburu baju baru? Pakailah baju yang masih pantas dan bersih untuk shalat ‘Ied, syawalan di masjid atau silaturahmi ke tetangga dan saudara. 

Selain itu, sebagai orang tua, patutlah kita menancapkan pemahaman kepada anak-anak kita sedini mungkin tentang makna dari Idul Fitri itu sendiri. Sebab pada fase itulah, anak-anak cenderung mudah untuk memahami. Dengan memberikan pemahaman-pemahaman seperti ini, penulis rasa cukup mampu untuk dijadikan bekal dia bila sesekali ada temannya yang mengoloknya tidak punya baju lebaran. Maka dia tidak akan diam saja tetapi menjelaskan juga kepada teman-temannya bahwa merayakan Idul Fitri tidak harus dengan baju baru.

Agar anak menganggap baju baru tidak identik dengan lebaran, maka di luar Ramadhan jangan pelit untuk membelikan anak-anak baju baru. Kira-kira 2 atau 3 bulan sekali.Hal ini akan membuat anak terbiasa jika pada saat lebaran dia dengan sendirinya merasa tidak perlu meminta orang tuanya membelikan baju baru. Dan yang terakhir, perbanyaklah bersedekah di bulan suci ini karena mengeluarkan dana untuk sedekah jauh lebih baik dari pada untuk membeli baju buat lebaran.

Menutup tulisan ini, saya ingin mengingat sebuah lagu yang pupuler saat saya masih kecil dulu, yang mungkin bisa kita ajarkan pada anak kita.

Baju baru Alhamdulillah, tuk dipakai di hari raya

Tak punya pun tak apa-apa, masih ada baju yang lama….[] 

Zakya Nur Azizah, Ibu rumahtangga, tinggal di Bantul

Foto www.kumparan.com
Powered by Blogger.
close