Lepas Mereka Agar Tumbuh Kemandirian
Hari pertama berkenalan dengan anak-anak
(yang menurut kesimpulan sekolah) adalah anak-anak inklusi, saya langsung ingat
dengan keadaan saya yang serba kekurangan waktu sekolah di SD.
Namun alhamdulillah, Allah memberikan kecerdasan
di atas rata-rata teman-teman di sekolah saya waktu itu. Karenanya saya selalu mendapat
rangking pertama. Namun ketika saya berusaha mengajari anak-anak di sekolah
yang sekarang saya dampingi. ternyata ada
banyak yang belum diketahui oleh orang dan khususnya orang tua terkait dengan anak inklusi.
Sebenarnya istilah inklusi belum banyak diketahui, terutama oleh anak-anak. Istilah inklusi diberikan ketika ada anak-anak yang memiliki perilaku khusus dan berbeda dengan anak-anak normal umumnya. Ada juga yang menyebutnya anak-anak berkebutuhan khusus (ABK), ada juga yang menyebutnya anak-anak autis.
Dalam pendahuluan bukunya yang cukup fenomenal yaitu Seven Habbits, Steven Covey menceritakan pengalamannya tentang cara dan keputusan yang dia ambil bersama istrinya dalam mendidik anaknya agar ia kelak menjadi anak yang berkarakter dan sukses. Anaknya memiliki cacat fisik, kakinya agak pincang. Karena keadaan seperti itu, maka anaknya menjadi minder jika bergabung dengan temannya yang lain. Kemudian setelah diskusi dengan sang istri, Covey kemudian mengambil langkah, yaitu mendampingi anaknya ke sekolah. Salah satu yang mereka dampingi dengan intens adalah pada mata pelajaran olah raga.
Pada saat ada yang mengejek anaknya, Covey langsung memarahi anak tersebut. Hal ini dilakukan beberapa tahun dengan maksud agar kepercayaan diri anaknya tumbuh membaik. Namun setelah begitu lama, ternyata anaknya tidak kunjung membaik dan akhirnya malah semakin minder dan tidak percaya diri. Covey bersama istrinya diskusi lagi. Kemudian mereka berkesimpulan bahwa mungkin mereka terlalu dekat dengan anak sehingga dia menjadi tidak mandiri. Setelah itu, mereka mulai menjaga jarak dan meninggalkan anaknya agar mandiri dan berusaha menyelesaikan masalahnya yang dia alami di lingkungan sekolah maupun di luar lingkungan sekolah. Ternyata hasilnya sangat luar biasa. Dia menjadi anak terbaik dengan nilai terbaik. Bahkan kabar terakhirnya adalah dia mendapatkan nilai A di tempat kuliahnya dan menjadi pemimpin di beberapa organisasi kemahasiswaan di kampusnya.
Saya ternyata merasakan hal yang sama ketika saya mendampingi anak-anak inklusi. Semakin kita dampingi mereka, ternyata mereka semakin tidak survive dalam menjalani kehidupan. Hal ini perlu diperhatikan untuk para pendamping anak dan khususnya anak-anak inklusi. Karena bukan tidak mungkin ketika kita mendampingi, sebenarnya sedang memasukannya ke lubang kegagalan hidupnya. Akhirnya saya mulai mendampingi mereka dengan sedikit tegas dan mendapat penolakan dari beberapa guru dan orang tua. Saya merasakan bahwa mereka bukan makin mandiri ketika didampingi tetapi makin tidak kreatif dan tidak tahu cara penyelesaian masalah yang mereka hadapi.
Ada beberapa pelajaran yang bisa kita
ambil. Pertama, ternyata ketika kita
ada harapan tertentu kepada anak, maka kita akan memperlakukannya tidak baik
dan cenderung berlebihan.
Kedua, harapan yang tidak didasari pengetahuan yang benar hanya akan menghancurkan masa depan anak. Ketiga, penerimaan yang salah tentang anak akan membuat kita juga salah memperlakukan anak.
Dari beberapa orang tua yang anaknya saya dampingi mereka terlalu banyak menuntut dan tidak melihat kemampuan terbaik dari anaknya. Walaupun dalam ucapan mereka bilang menerima keadaan anaknya dengan baik. Namun dalam kenyataan memberikan respons yang sangat berbeda. Semoga ini bisa menjadi pertimbangan baik bagi sekolah yang memberikan pendampingan kepada anak-anak inklusinya atau pun bagi orang tua yang diberikan anugerah anak yang unik dibanding dengan anak yang lainnya.
Penulis : H.R. Sugiwaras MSB, Guru Pendamping Anak Inklusi di SD IT Annida Purwokerto
Foto www.kumparan.com
Post a Comment