Membangun Karakter Anak di Sekolah
Mungkin istilahnya saja yang belum akrab. Tetapi karena cara ini
cukup efektif dalam mendukung terbangunnya karakter pada anak, maka perlu kita
paparkan. “Karbit” adalah istilah untuk “Lingkar Bimbingan Tauhid”.
Pada dasarnya konsep Islam tentang
pendidikan, bertujuan untuk memelihara fitrah manusia, mewariskan nilai-nilai,
dan pembentukan manusia seutuhnya insān kāmil yang berdasarkan pada Al-Qur’an
dan hadits. Untuk itulah manusia dibekali dengan akal pikiran agar dapat
menciptakan metode pendidikan yang dinamis, efektif dan dapat mengantarkan pada
kebahagiaan hidup dunia-akhirat.
Tujuan Karbit adalah untuk
menanamkan nilai-nilai tauhid kepada anak didik. Bukankah di kelas regular
sudah ada pelajaran Tauhid atau Keimanan? Benar. Tetapi dalam Karbit, tauhid
tidak disajikan sebagai bahan ajar formal. Tauhid bukan untuk didalami
materinya melainkan untuk dijiwai agar menjadi dasar aktifitas atau kegiatan
hidup sehari-hari.
Karbit bukan diorientasikan untuk transfer
of knowledge melainkan lebih dititik beratkan sebagai pendukung character
building. Karena pada prinsipnya ada tiga hal yang penting dalam membangun
karakter, yaitu (1) pembiasaan atau pengulangan, (2) keteladanan, dan (3)
keyakinan. Pada sisi keyakinan inilah Karbit diperankan. Yaitu untuk mendasari
dan sekaligus mengikat karakter yang sedang dibentuk. Dengan adanya dasar dan
ikatan ini, maka karakter yang telah dibangun di sekolah tidak mudah luntur
ketika menghadapi benturan nilai di luar sekolah, atau pada sekolah yang baru.
Karbit dilaksanakan dengan tidak
mengambil jam pelajaran. Misalnya 10 menit menjelang jam pertama, atau 15 menit
sehabis anak melaksanakan dzuhur berjamaah. Setiap kelompok Karbit terdiri
seorang guru dan beberapa murid. Maksimal 10 murid. Murid duduk melingkar di hadapan guru.
Jumlah murid harus dibatasi dengan maksud;
lingkaran duduknya kecil sehingga guru tidak perlu berbicara keras, komunikasi
lebih intensif, sikap murid mudah dikontrol, lebih mudah menselaraskan hati,
dan dalam sebuah masjid bisa dipakai beberapa kelompok Karbit. Guru tidak perlu
berbicara keras atau menekan, melainkan bisa berbicara dari hati ke hati.
Menyentuh hati murid sehingga murid terlibat secara mental.
Materi yang disajikan bisa
mengambil materi PAI berdasarkan kurikulum yang digunakan, tetapi bisa juga
materi lain, misalnya hadits-hadits pilihan, kisah nabi, para sahabat nabi,
dan para pejuang Islam.
Sebenarnya Karbit bukan merupakan
hal yang baru. Sejak zaman Nabi Shallallahu
‘alaihi wassallam telah dikembangkan dalam mendidik dan mengkader para
shahabatnya. Demikian juga di tanah air yang kemudian berkembang menjadi majelis
taklim. Terbukti cara ini cukup efektif dalam membangun masyarakat.
Di sekolah? Sekolah terlalu padat
materi. Serba formalitas sehingga sulit untuk menembus hati. Anak menguasai
materi sampai pemahaman, tidak mudah hingga tingkat internaisasi. Di sinilah
pentingnya Karbit dikembangkan di sekolah.
Sistem halaqah tidak hanya
dilaksanakan pada zaman Nabi. Tetapi sejarah membuktikan efektifnya cara ini
yang dikembangkan oleh para ulama dan habaib oleh masyarakat Betawi di Jakarta.
Halaqah dan majelis taklim telah menjadi dasar yang tak lapuk oleh zaman dalam
mempertahankan eksistensi agama Islam di tengah masyarakat Betawi.
Christiaan Snouck Hurgrounje, yang pernah disebut-sebut sebagai orientalis paling berhasil di dunia, mencatat, masyarakat Betawi adalah penduduk pribumi yang paling lama dan paling erat berinteraksi dengan bangsa Eropa.
Lebih jauh Snouck mengatakan, tidak ada satu kampung pun di Jawa yang lebih taat beragama Islam dalam setiap tingkah lakunya daripada Betawi, dan agama Islam di Betawi lebih maju dari daerah lain. Dalam makalahnya, Khazanah Jakarta Menghadapi Tantangan Zaman, K.H. Saifuddin Amsir menguraikan, gambaran Snouck ini menunjukkan bahwa ia adalah orang yang sangat mengerti kultur masyarakat di Indonesia dan bahwa kultur keagamaan di Betawi sudah begitu kuat sejak zaman penjajahan dulu.
Salim Abu Hanan, Pimpinan Madin Saqura (Sahabat Al Qur’an) Sleman
Post a Comment