Si Peniru Ulung
Oleh : Ali
Rahmanto
“Mama kerja dulu
ya, Nak,” ujar seorang ibu pada anaknya. Sang anak tampak menunjukkan ekspresi
kurang suka. “Huuuh...., kerja lagi, kerja lagi...,” gerutunya. Sang ibu pun berusaha
memberi penjelasan pada anandanya bahwa ia kerja untuk membantu ayahnya mencari
uang.
Di lain hari, anak
tersebut bermain peran bersama sepupunya. Anak tersebut berperan menjadi mama,
dan sepupunya menjadi anak. “Mama kerja dulu ya nak,” ujar anak itu pada
sepupunya. Lalu sepupunya itu protes karena mamanya kerja. Dan anak itu
menjawab persis dengan ungkapan mamanya kalau dia kerja mencari uang untuk
membantu suaminya.
Pernahkah Anda
mengalami hal ini? Di mana anak Anda melakukan atau mengatakan hal yang persis
seperti apa yang pernah Anda katakan pada anak Anda? Hampir dipastikan
jawabannya adalah iya. Memang tak salah jika ada sebutan bahwa anak adalah
peniru ulung.
Anak meniru
orangtua sebagai figur dewasa yang diidolakan, dianggap lebih kompeten dan
memiliki kuasa. Anak menganggap orangtua adalah idolanya. Mereka sangat
mengagumi orangtuanya. Walaupun orangtua pulang kerja, kotor dan bau belum
mandi, anak tetap menyambut kehadiran orangtua dengan suka cita.
Anak akan meniru
apa yang dilakukan orangtuanya baik itu perilaku baik ataupun buruk. Misalnya
ketika orangtua suka membentak, anak akan menirunya dan melakukan hal itu pada
adik atau sepupunya. Atau ketika Anda ke toilet tidak bersih, maka anak akan
menirunya. Bahkan ada bahasa tubuh yang juga ditiru anak. Misalnya gerak wajah
atau mimik muka Anda saat sedang menggerutu. Atau saat tersenyum dan tertawa.
Hal ini juga
terjadi pada kegiatan aktif anak. Anak yang kurang aktif merupakan hasil dari
orangtua yang kurang aktif. Misalnya orangtua pulang kerja akan santai saja,
tidak melakukan apapun, hanya di dalam rumah saja. Begitu juga dengan anaknya,
ketika pulang sekolah, dia hanya diam saja di rumah.
Anak-anak adalah
peniru yan hebat, Tidak perlu waktu lama
sekali, lihat atau dengar pasti akan segera ditiru. Orangtua pasti tidak
ingin buah hati kita jadi orang yang gagal. Kita selalu ingin supaya buah hati
kita jadi orang hebat yang sukses dalam segala hal. Bahkan sejak dini, si kecil
sudah 'dijejali' dengan berbagai kemampuan yang sebenarnya hal tersebut belum
waktunya atau terkesan dipaksakan. Apakah ini benar? Sejatinya otak anak di
masa emas mampu menampung beribu informasi. Hanya saja kemampuan anak untuk
mengembalikannya masih terbatas. Lalu apakah benar jika kita sebagai orangtua
terus 'memasukkan' informasi ke dalam otak anak secara berlebihan? Perlu
diingat, sesuatu yang berlebih pasti berdampak buruk. Sekalipun itu sesuatu
yang baik. Sebenarnya yang dibutuhkan si kecil adalah kasih sayang dan cinta
dari kedua orangtuanya. Sebanyak apapun informasi yang 'dimasukkan' jika tanpa
adanya kasih sayang hal ini tidak akan berhasil.
Ajarkan sambil
bermain agar si kecil nyaman dan mampu menyerap informasi dengan sempurna.
Tanamkan akhlak yang baik agar si kecil tumbuh jadi manusia yang berakhlak
baik. Jangan lupa untuk ajarkan pendidikan agama sejak dini agar iman si kecil
kuat tak tergoyahkan. Ajarkan sesuai dengan usia dan kemampuannya, jangan
memaksakan kehendak jika si kecil mulai terlihat jenuh atau perhatiannya
teralihkan dengan mainan yang lain. Biarkan si kecil bermain lalu jika sudah
siap ajak kembali si kecil belajar. Yang paling penting, orangtua harus
memberikan contoh kepada si kecil bagaimana bersikap yang baik karena si kecil
adalah peniru terhebat. Jika kita memberikan contoh yang baik, insya Allah, si
kecil akan menjadi manusia sesuai dengan harapan kita.
Penulis: Ali
Rahmanto, Penulis lepas Tinggal di
Yogya
Foto: Thorif
Post a Comment