Siswa Idaman
Di sela istirahat mengajar, terjadi percakapan antara guru A dan guru B, dua orang guru mapel di sebuah sekolah.
Guru A: “Huffftt.. semester ini kebagian jam mengajar di kelas yang paling kuhindari. Malas banget rasanya. Tapi yaa mau bagimana lagi, titah dari atasan jadi kudu taat.”
Guru B: “Kelas yang dihindari?? Maksudnya bagaimana..? berarti ada kelas idaman dong..”
Guru A: “Yaaa.. seperti yang kamu tahu laah, kelasnya bu Fulanah itu. Anak-anaknya kan terkenal nakal-nakal tuh. Susah nangkap pelajaran juga. Paling satu dua saja yang cepat nyambungnya. Belum lagi suka ribut dan ngeyel kalo dikasih tahu.. gak kayak kelas sebelahnya, idaman banget. Manut, pinter-pinter, sama kita sopan pula. Ditunjuk jadi wali kelas mereka pun aku mau bangeet..”
Guru B: “Huss.. Istighfar, kawan. Gak boleh bicara
begitu. Maaf, gak cocok jadi seorang guru kalau masih punya pikiran seperti
itu. Buang jauh-jauh. Kenapa ada yang harus dihindari?? Bukankah semua anak
bisa menjadi idaman kalau kita bisa membentuknya? Tidak ada anak yang buruk, kita
lah yang belum mampu mendidiknya dengan baik.”
***
Ilustrasi percakapan di atas mungkin saja terjadi di sekeliling kita. Adakalanya seorang guru merasa tidak bersemangat dan tidak ingin mengajari anak-anak yang dicap nakal atau kemampuan intelektualnya rendah dibanding murid yang lainnya. Tatkala mendapatkan tugas mengajar mereka, ia melakukannya dengan perasaan tidak senang dan tidak antusias. Terkadang sampai keluar ungkapan,“Bapak/Ibu lebih senang mengajar di kelas sebelah lho. Mereka pinter-pinter dan penurut. Tidak seperti kalian yang susah diatur dan malas mengerjakan tugas.” Maka pertanyaannya, apakah pantas seorang guru berucap demikian?
Setiap anak memiliki potensi dasar, baik melalui fisik maupun psikis, yang perlu dikembangkan melalui dunia pendidikan, baik di lingkungan keluarga, sekolah, maupun di lingkungan masyarakat di mana anak tersebut berada. Dalam mengembangan potensi dasar—sering disebut sebagai fitrah—tersebut, orang tua dan guru sebagai pengganti orang tua di sekolah memiliki peranan yang sangat penting. Secara kodrati anak memerlukan pendidikan dan bimbingan sebagai kebutuhan dasar yang harus dimiliki seorang anak. Melalui pendidikanlah manusia dapat menemukan pengetahuan, kecakapan, dan keahlian dalam kehidupannya.Tanpa dididik anak tidak akan mampu mengembangkan fitrah kebaikan yang dibawa sejak lahir tersebut. Dengan pendidikan agama, anak akan mampu membedakan yang baik dan buruk, benar dan salah, dan lain sebagainya sehingga hidupnya dapat berkualitas dan dapat berhasil sesuai apa yang diharapkan.
Sebagai seorang pendidik sudah menjadi tugasnya untuk membentuk akhlak dan moral anak didiknya agar senantiasa berakhlakul karimah, dan menjadi kewajibannya untuk menanamkan ilmu yang bermanfaat, juga menjadi keharusan baginya untuk selalu memotivasi anak didik agar bersemangat dalam belajar. Saat seorang guru berpikiran hanya ingin mengajari anak-anak yang rajin, pintar, dan berperilaku sudah baik; maka timpanglah dunia pendidikan. Sebab jika semua guru berpikiran yang sama, dimana hanya merasa antusias dan senang saat diberi tugas mengajar kelompok/kelas yang sudah dianggap sebagai anak-anak yang baik saja, maka guru tersebut telah berlaku tidak adil. Semua anak punya potensi yang sama, fitrah yang sama, tergantung bagaimana kita memperlakukannya.
Sesungguhnya perbuatan memilih-milih anak didik adalah hal yang tidak seharusnya dilakukan oleh seorang pendidik. Jika semua pendidik hanya mengutamakan anak didik yang berprestasi dan berakhlak baik, maka hanya akan menjadi baik yang sudah baik, dan akan semakin memburuk apa yang sudah dicap buruk. Jangan sekedar berharap kebaikan, tapi enggan turut andil dalam mewujudkannya. Ibarat kata, ingin berenang di danau, tapi tak mau basah karenanya.
Terima dengan sepenuh keikhlasan segala macam kondisi anak didik kita, maka Allah lah yang akan memampukan kita untuk membimbingnya ke jalan kebaikan, ke arah angin kesuksesan. Saat kita berharap kebaikan pada anak didik, maka sesungguhnya kita lah teladan nyata baginya. Bagaimana guru berlaku, akan menentukan seperti apa anak didik bersikap. Karenanya sayangi mereka tanpa pilah, tanpa pilih. Jadilah seorang guru yang berani mengatakan kepada semua anak didiknya, “Aku bangga padamu, Nak”
Penulis: Roidatun
Nahdhah, Pendidik
di SDIT Hidayatullah, Sleman
Foto: Thorif
Post a Comment