Sayangi Orang yang Berhutang Kepadamu
Ada orang berhutang karena sungguh-sungguh memerlukan dan ia segera membayarkan begitu ada sedikit saja kelapangan pada dirinya. Ia berusaha membayar lunas hutang-hutangnya dengan segenap kemampuannya, meskipun sangat terbatas. Inilah sebaik-baik orang yang berhutang. Ada pula yang berhutang karena suatu keperluan yang halal, bukan didesak kebutuhan yang amat penting, dan ia bersegera membayar hutang-hutangnya sesuai janji atau bahkan lebih awal lagi. Ini termasuk penghutang yang baik.
RasuluLlah ﷺ bersabda:
إِنَّ خِيَارَكُمْ أَحْسَنُكُمْ قَضَاءً
“Sesungguhnya yang paling baik di antara kalian adalah yang paling baik dalam membayar hutang.” (HR. Bukhari).
Paling baik ini terkait dengan melebihkan pembayaran, sepenuhnya atas kemauan sendiri. Bukan karena diminta atau didesak. Yang demikian ini termasuk riba. Bukan pula disindir-sindir oleh pemberi hutang sehingga tak enak hati apabila tak memberi tambahan. Dan pembayaran hutang yang baik adalah segera menunaikan manakala sudah ada kemampuan, meskipun belum jatuh tempo yang disepakati.
Apa yang meringankan langkah untuk membayar hutang? Tekad kuat untuk melunasi. Sesungguhnya Allah Ta'ala bersama orang yang berhutang sampai ia melunasi. Yang dimaksud bersama ialah Allah Ta'ala memberi pertolongan, yakni kepada orang yang memiliki hutang dan ia berkemauan kuat melunasi hutang-hutangnya tersebut seraya jujur terhadap kemauannya. Bentuk kejujuran itu berupa kesungguhan mengupayakan.
Rasulullah ﷺ menyatakan:
إِنَّ اللَّهَ مَعَ الدَّائِنِ حَتَّى يَقْضِىَ دَيْنَهُ مَا لَمْ يَكُنْ فِيمَا يَكْرَهُ اللَّهُ
“Allah akan bersama (memberi pertolongan pada) orang yang berhutang (yang ingin melunasi hutangnya) sampai dia melunasi hutang tersebut selama hutang tersebut bukanlah sesuatu yang dilarang oleh Allah.” (HR. Ibnu Majah).
Semua itu bermula dari niat. Karena itu, berhati-hatilah terhadap niat saat mengambil harta orang lain, yakni berhutang. Sesiapa yang berhutang dengan niat mengembalikan, maka Allah Ta’ala akan menunaikannya. Allah Ta'ala berikan kemudahan baginya untuk memperoleh harta yang dapat dipergunakan untuk membayar lunas hutang-hutangnya.
Nabi ﷺ memperingatkan:
من أخذ أموال الناس يريد أداءها أدى الله عنه ومن أخذ يريد إتلافها أتلفه الله
"Barangsiapa mengambil harta orang lain (berhutang) dengan niat mengembalikannya, maka Allah akan menunaikannya. Akan tetapi barangsiapa yang mengambil harta orang lain dengan niat merusaknya, maka Allah Ta’ala akan merusaknya." (HR Al-Bukhari).
Termasuk merusak orang yang sengaja tidak membayarnya. Termasuk merusak yang lebih jahat lagi orang yang berhutang demi menguasai harta lebih banyak, mendatangkan tekanan kepada orang yang ia bermaksud berhutang kepadanya apabila tidak menghutangi dan lebih buruk lagi jika dimaksudkan untuk mengambil nikmat dari orang lain. Ia tidak berniat mengembalikan. Ia membayarkan sedikit di awal hanya sebagai jalan untuk menguasai harta yang ada pada orang lain tersebut.
Ada orang berhutang, sedikit atau banyak, tetapi ia lalai membayar hutangnya ketika telah ada padanya kemampuan. Yang demikian ini perlu kita ingatkan. Adapun jika ia tetap lalai, maka sesungguhnya ia akan membayar hutang-hutangnya dengan kebaikan amal 'ibadahnya di akhirat kelak. Jika tak mencukupi, maka keburukan amal orang yang kepadanya ia berhutang akan menjadi bagiannya.
Rasulullah ﷺ bersabda:
مَنْ مَاتَ وَعَلَيْهِ دِينَارٌ أَوْ دِرْهَمٌ قُضِىَ مِنْ حَسَنَاتِهِ لَيْسَ ثَمَّ دِينَارٌ وَلاَ دِرْهَمٌ
“Barangsiapa mati dalam keadaan masih memiliki hutang satu dinar atau satu dirham, maka hutang tersebut akan dilunasi dengan kebaikannya (di hari kiamat nanti) karena di sana (di akhirat) tidak ada lagi dinar dan dirham.” (HR. Ibnu Majah).
Dan keburukan yang menimpanya di akhirat kelak akan lebih besar lagi apabila semenjak awal memang telah berniat tidak mengembalikan pinjaman alias mengemplang. Ia akan mempertanggungjawabkan di hadapan Allah Ta'ala dengan sebagai pencuri. Na'udzubiLlahi min dzaalik.
Rasulullah ﷺ bersabda:
أَيُّمَا رَجُلٍ يَدَيَّنُ دَيْنًا وَهُوَ مُجْمِعٌ أَنْ لاَ يُوَفِّيَهُ إِيَّاهُ لَقِىَ اللَّهَ سَارِقًا
“Siapa saja yang berhutang lalu berniat tidak mau melunasinya, maka dia akan bertemu Allah (pada hari kiamat) dalam status sebagai pencuri.” (HR. Ibnu Majah).
Terlepas apa niatnya, menunda-nunda membayar hutang merupakan suatu kezaliman. Ukuran menunda itu ialah adanya kemampuan, tetapi enggan menunaikan kewajibannya membayar hutang. Ia memiliki kecukupan, tetapi menggunakan untuk berbagai hal lain yang tidak syar'i. Kezaliman itu lebih besar lagi manakala pihak yang memberinya sangat memerlukan, sementara ia menunda pembayaran demi meraup kekayaan yang lebih besar.
مَطْلُ الْغَنِيِّ ظُلْم
“Menunda (pembayaran) bagi orang yang mampu merupakan suatu kezaliman.” (HR. Bukhari, Abu Dawud dan Ibnu Majah).
Alangkah buruknya kezaliman. Dan alangkah besar kengerian apabila orang-orang yang dizalimi itu mendo'akan keburukan baginya. Bukankah tak ada tabir antara orang yang dizalimi dengan Allah Ta'ala tatkala ia berdo'a?! Maka sungguh do'anya mustajabah.
Ada sebuah nasihat yang patut kita renungkan. Saya tak tahu penggubahnya, tetapi saya terkesan oleh maknanya. Ia tidak menyelisihi agama. Mari kita renungi sejenak:
نَامَتْ عُيُوْنُكَ وَالْمَظْلُوْمُ مُنْتَبِهُ يَدْعُو عَلَيْكَ وَعَيْنُ اللهِ لَمْ تَنَم
"Kedua matamu tertidur sementara orang yang engkau zalimi terjaga…
Ia mendo'akan kecelakaan untukmu, dan mata Allah Ta'ala tidaklah pernah tidur."
Astaghfirullah... Astaghfirullah... Astaghfirullahal 'adziim.
Begitu buruknya mengemplang hutang secara sengaja, padahal ia mampu membayarnya, sampai-sampai halal kehormatannya. Menggunjing itu dosa besar, kecuali terhadap mujahirin (orang yang berbuat dosa secara terang-terangan), penguasa yang zalim dan orang berhutang yang sengaja mengemplang, padahal sebenarnya ia mampu melunasi.
Nabi ﷺ bersabda:
لَيُّ الوَاجِدِ يَحِلُّ عُقُوْبَتَه ُوَعِرْضه
“Menunda pembayaran bagi yang mampu membayar, (maka) halal ia dihukum dan (dijatuhkan) kehormatannya.” (HR. Bukhari).
Ya Salaam.... Alangkah buruknya. Tidakkah kita semestinya takut dengan hal ini?
Ada orang yang berhutang bukan karena didesak oleh kebutuhan yang tak sanggup ia penuhi, tetapi semata karena ingin memperbanyak harta. Ia memudah-mudahkan diri berhutang, namun enggan membayarnya. Ada orang berhutang karena sesak hatinya melihat orang lain mempunyai nikmat, lalu ia ingin memilikinya. Perih hati jika harta tersebut terlepas tanpa sanggup ia rebut. Ia memudah-mudahkan diri berhutang dan sengaja berkhianat atas hutangnya, yakni tidak membayarkannya.
Mari kita renungi kembali sabda Rasulullah ﷺ:
مَنْ أَخَذَ أَمْوَالَ النَّاسِ يُرِيدُ إِتْلاَفَهَا أَتْلَفَهُ اللَّهُ
“Barangsiapa mengambil harta manusia, dengan niat ingin menghancurkannya, maka Allah juga akan menghancurkan dirinya.” (HR. Bukhari dan Ibnu Majah).
Begitu besar ancaman dan keburukan bagi orang yang berhutang dan melalaikan kewajibannya. Lebih buruk lagi ancaman bagi yang semenjak awal telah meniatkan secara sengaja untuk berkhianat. Sungguh, tak ada yang dapat menolong apabila Allah Ta'ala telah menghancurkan dirinya, dunianya, nasibnya dan terlebih akhiratnya. Karena itu, sayangilah orang yang berhutang kepadamu dengan menagihnya ketika ia benar-benar mampu tetapi menunda-nunda menunaikan kewajiban. Kasihani dia. Jika tak cukup punya keberanian, ingatkan ia secara langsung atau melalui orang lain. Jika masih tak punya keberanian, tunjukkan ilmunya. Semoga Allah Ta'ala memberinya hidayah dan mencurahkan kebaikan kepada kita.
Adapun jika ia tetap pada sikapnya, bahkan semakin keras menahan kewajibannya, maka kita sudah tak punya kewajiban untuk mengingatkan. Urusan dia dengan Allah Ta'ala.
Adapun terhadap orang berhutang yang belum mampu membayar, menahan diri tidak menagihnya merupakan sikap yang sangat baik. Kita memberinya kelonggaran. Dan lebih sempurna lagi kebaikan tersebut apabila kita merelakan hutang tersebut dengan menghapuskannya.
Mohammad Fauzil Adhim, Penulis Buku-buku Parenting
Foto Atin
Post a Comment