Mendamaikan Remaja dengan Orangtua
Oleh : Mohammad Fauzil Adhim
Melanjutkan cerita kemarin pagi ketika seorang ayah mengajak anaknya ke rumah agar saya nasehati. Apa yang saya lakukan terhadap remaja tersebut?
Setelah mendengarkan kecewa, jengkel dan marahnya kepada kedua orangtua, terutama bapaknya, maka salah satu hal penting yang saya lakukan adalah membantu remaja tersebut memilah dan menilai tindakan. Bagaimana prosedurnya?
Pertama, saya berusaha mendengarkan segala keluh-kesahnya, kejengkelan, kecewa dan marahnya itu. Mendengarkan itu artinya memperhatikan. Tanda memperhatikan pembicaraan adalah memahami, setidaknya mengingat dengan baik, apa saja yang dibicarakan. Ini saya tunjukkan kepada remaja tersebut dengan mengulang bagian-bagian penting perkataannya. Cara ini juga bermanfaat untuk membantunya meluruskan kesalahannya sendiri tanpa perlu saya koreksi. Misalnya ketika dia mengatakan, “Bapak saya tidak pernah peduli dengan saya…”, maka saya mengulang lagi perkataannya dengan menekankan ungkapan, “Oh, jadi bapakmu tidak pernah peduli?”
“Tidak pernah,” kata dia, “Sama sekali tidak pernah.”
“Sampai seperti itu, ya? Dia benar-benar tidak pernah…” Saya menanggapinya antara pernyataan dengan pertanyaan, dengan nada yang agak mengambang.
“Ya… Pernah sih, tetapi jarang. Lebih sering tidak peduli?”
“Jarang? Mungkin saya salah, berarti itu lebih dari satu kali? Bapakmu pernah peduli dan itu lebih dari satu kali?”
“Iya.”
“Boleh tahu nggak, kapan bapakmu peduli. Seingatmu, dalam keadaan apa bapakmu peduli? Terus, kok kamu bisa mengatakan bapakmu peduli, apa tindakan bapakmu yang membuatmu merasa bapakmu peduli?”
Dia kemudian bercerita mengenai apa saja perilaku bapaknya yang membuat dia merasa dipedulikan. Saat menceritakan, ia mulai bersemangat dengan semangat yang berbeda. Tadi pun bersemangat, tetapi semangat itu lebih ke arah menumpahkan kemarahan. Kali ini semangatnya mulai baik. Saat dia sudah tampak mulai merasakan kepedulian bapaknya, saya pun berusaha untuk mengajaknya kembali berpikir, “Menarik… Sangat menarik. Ternyata bapakmu juga peduli kepada kamu. Tindakan-tindakan itu membuatmu merasa bapakmu peduli. Itu yang membuatmu merasa bapakmu peduli, karena tindakannya ataukah karena kepeduliannya?”
Setelah itu, saya lanjutkan lagi sesudah mendengarkan jawabannya, “Kira-kira, mungkin nggak bapakmu atau siapa pun itu salah memilih tindakan? Misalnya begini, kita punya maksud baik, tetapi orang lain malah salah paham karena tindakan kita tidak dipahami? Mungkin nggak terjadi seperti itu?”
Refleksi mulai terjadi. Ia bercerita mengenai beberapa kejadian orang salah paham terhadap dirinya. Padahal maksudnya tidak seperti itu.
“Kira-kiranya,” saya bertanya, “mungkin nggak bapakmu pernah ingin menunjukkan kepeduliannya sama kamu, tetapi kamu malah merasa bapakmu nggak peduli? Barangkali pernah ada satu kali kejadian semacam itu, mungkin nggak?”
“Ya, sangat mungkin,” kata dia, “Atau sebenarnya bapak baik sama aku? Tetapi menurutku bapak lebih sering tidak peduli.”
“Wah, semakin menarik ini ceritanya. Kalau boleh saya memahami, kalau salah nanti koreksi saja, ya… Pertama, kamu bilang sangat mungkin. Maksudnya mungkin saja bapakmu salah memilih tindakan. Untuk kasus seperti ini, menurutmu masalahnya dimana? Bapakmu tidak punya kepedulian, ataukah bapakmu tidak dapat menunjukkan kepedulian sesuai mau kamu? Kedua, kamu bilang lebih sering tidak peduli. Boleh nggak saya menyimpulkan, bapakmu sering peduli, dan lebih sering tidak peduli?”
Dialog terjadi. Pada poin pertama, saya mengajak remaja tersebut untuk melihat bahwa salah memilih tindakan yang menunjukkan perhatian dan kepedulian itu, berbeda dengan tidak peduli. Saya juga mengajak dia untuk melihat dirinya sendiri, apakah dia sudah pernah menyampaikan kepada bapaknya dengan ungkapan yang dipahami bapaknya ataukah belum.
Selanjutnya, perbincangan hari itu dilakukan dengan proses:
1. Deskripsi tindakan atau peristiwa.
2. Apa yang dia pikirkan mengenai tindakan tersebut.
3. Perasaan mengenai tindakan tersebut
4. Sesudah itu barulah rekomendasi tindakan.
Agar remaja tersebut merasakan betapa mengajak dia ke rumah saya, menempuh perjalanan sangat jauh menggunakan mobil merupakan upaya sungguh-sungguh yang penuh perjuangan, kita perlu mengajak melihat nilai tindakan tersebut.
“Mohon maaf, kira-kira tepat nggak kalau saya menebak-nebak bahwa yang membuat bapakmu punya waktu longgar untuk ke sini karena bapakmu sedang sepi job?”
Setelah mendengarkan cerita anak, menggali apa saja yang membuatnya merasa jengkel, kecewa dan marah kepada orangtua, terutama bapaknya, maka berikutnya kita perlu mengajak anak untuk memilah dan menilai tindakan. Ini merupakan langkah awal untuk membedakan tindakan dengan sikap orangtua.
___
Berbeda dengan kemarin yang saya berusaha menulis prinsip-prinsip dalam mendamaikan remaja dengan orangtua, kali ini saya memilih untuk berbagi tulisan, semacam script, dari apa yang saya sampaikan tadi pagi agar lebih dapat merasakan suasananya.
Penyampaian dengan bercerita ini, sejujurnya, merupakan respon saya terhadap istri yang sering mengingatkan, "Orangtua itu perlu tahu, caranya bagaimana?" Saya akhirnya mencoba bercerita agar para orangtua, khususnya ibu-ibu, lebih dapat merasakan suasananya dan menangkap prinsipnya dengan lebih mudah dan menerapkannya di rumah dalam mengasuh anak sehari-hari.
Mohammad Fauzil Adhim, Penulis Buku
Post a Comment