Murid, Guru, dan Wali Murid : 3 Serangkai dalam Dunia Pendidikan


Oleh : Nurrahman, S.Ag.

وقيل :

 يحتاج في التعلم و التفقه الى جدّ ثلاثة :

المتعلم, والاستاذ, والأب ان كان في الأحياء

Dikatakan :

“ Dalam mempelajari dan mendalami ilmu memerlukan kesungguhan  dari 3 pihak, yaitu : Murid, Guru, dan Ayah dari si murid jika ia masih hidup”

Matan di atas dapat kita temukan di buku “ Mausu’ah Adab Thalibil Ilmi “ atau 

“ Ensiklopedia Adab Penuntut ilmu “. 

3 serangkai ini tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lainnya kecuali satu, yaitu wali murid. Artinya pembelajaran atau proses menuntut ilmu masih tetap akan berjalan hanya dengan dua pihak saja yaitu guru sebagai orang yang akan diambil ilmunya dan murid sebagai orang yang akan mengambil ilmunya. Akan tetapi ketika wali murid, apakah itu orang tua atau orang yang bertanggung jawab terhadap pendidikan si murid masih hidup, ia harus melakukan perannya secara maksimal. Oleh karena itu bisa kita gambarkan ketiga pihak ini sebagai berikut : 

Guru di sisi yang lain dan murid di sisi yang lain, sedangkan wali murid berada di barisan si murid yang berperan menyiapkan bekal dan perangkat untuk mendapatkan ilmu yang terbaik. 

Murid, adalah orang atau pihak yang akan mecari ilmu. Oleh karenanya, ia harus paham bekal apa yang harus ia siapkan, apa konsekuensinya sebagaimana seorang pemburu yang harus menyiapkan bekal dan peralatan berburunya selengkap mungkin. Bahkan sebelum menuntut ilmu itu sendiri, seorang murid harus memahami dan mengamalkan perangkat yang lain, yaitu adab menuntut ilmu. Satu diantara sekian banyak perkataan salafu shalih tentang adab adalah sebagai berikut,

Imam Malik berkata kepada seorang pemuda Quraisy : 

يا ابن أخي تعلّم الأدب قبل أن تتعلم العلم

“Wahai anak saudaraku, pelajarilah adab sebelum mempelajari ilmu” 

Setelah adab sudah diamalkan, barulah beranjak untuk menuntut ilmu. 

Apa syarat (bekal) menuntut ilmu? 

Imam Syafi’i Rahimahullah Ta’ala berkata, 

أخي لن تنال العلم الاّ بستة   سأنبيك عن تفصيلها ببيان

ذكاء وحرص واجتهاد وبلغة   وصحبة أستاذ  وطول زمان

“ wahai saudaraku, engkau tidak akan mendapatkan ilmu kecuali dengan 6 syarat

akan kukabarkan 6 syarat tersebut (yaitu) : 

kecerdasan, keinginan yang kuat, mujahadah, bekal, membersamai guru, dan panjangnya waktu”

Apa konsekuensi dalam menuntut ilmu?

Kesengsaraan dan pahitnya hidup. 

Imam Abu Hanifah berkata : 

يستعان على الفقه بجمع الهمّ, ويستعان على حذف العلائق بأخذ اليسير عند الحاجة ولا تزد

“ memahami ilmu itu akan terbantu dengan berkumpulnya kegelisahan, dan memutus semua hubungan dengan mengambil yang mudah ketika membutuhkan serta tidak berlebihan “

Imam Malik berkata : 

لا يبلغ أحد من هذا العلم ما يريد حتى يضرّ به الفقر, ويؤثره على كل شيء

“ Seseorang tidak akan sampai  kepada (mendapatkan) ilmu yang ia inginkan, sampai ia tertimpa kefaqiran dan lebih mengutamakan (ilmu) daripada yang lainnya “

Imam Syafi’i berkata :

لا يدرك العلم الا بالصبر على الذلّ

“Ilmu tidak akan diperoleh kecuali harus bersabar terhadap kehinaan ”

Bagaimana murid memahami bekal ini dengan baik? 

Seorang murid (penuntut ilmu) diawal pembelajarannya belum tentu paham bekal dan perangkat dalam menuntut ilmu (secara keseluruhan). Apalagi yang usianya masih tergolong dini. Maka dua pihak (wali murid dan guru) inilah yang berperan memahamkan bekal atau syarat dalam menuntut ilmu. Bagaimana jika wali murid tidak mengetahui bekal-bekal dalam menuntut ilmu? Jawabannya adalah belajar kepada ahli ilmu (bisa bertanya, membaca dll) agar ia bisa tanamkan kepada anaknya. Kedua, yang harus ia lakukan adalah menyerahkan pendidikan anaknya kepada ahli ilmu (guru) dengan “ikhlas” dan “adab-adab” yang benar. 

Wali murid “wajib” tahu bekal menuntut ilmu sebagaimana yang telah dijelaskan oleh para ulama terdahulu, diantaranya adalah Imam Syafi’i (sebagaimana yang telah disebutkan di atas). Wali murid berupaya mewujudkan 6 bekal tersebut secara maksimal, agar anaknya dapat menimba ilmu dengan baik dan maksimal. 

Pertama, kecerdasan. Wali murid memberikan makanan yang bergizi, halal dan barakah sehingga nutrisi otak tercukupi dengan baik. 

Kedua,keinginan yang kuat. Wali murid memberikan arahan dan motivasi agar anaknya mau menuntut ilmu dengan baik. Hal yang bisa dilakukan diantaranya adalah dengan mengajak anaknya berkunjung ke lembaga pendidkan islam seperti pesantren, mengunjungi ahli ilmu dan meminta doanya, menceritakan kisah-kisah para ulama dsb. 

Ketiga, mujahadah. Mengerahkan segala kemampuan untuk ilmu. Diantara cara yang bisa dilakukan wali murid kepada anaknya adalah menanamkan kecintaan ilmu sejak dini, tidak terlalu memanjakan , melatih kesederhanaan dll.

Keempat, bekal. Bekal meliputi biaya makan, pakaian, uang atau apapun bentuknya yang bisa digunakan untuk menuntut ilmu sehingga dengan adanya bekal tersebut ilmu bisa dicapai secara maksimal. 

Kelima, membersamai guru. Pembelajaran yang paling ideal adalah talaqqiy yaitu murid bertemu langsung kepada guru. Banyak sekali alasan kenapa harus dengan bertalaqqiy di dalam menuntut ilmu? Sekalipun pembelajaran on line (di masa moderen) seperti saat ini bisa juga dilakukan. Tetapi pembelajaran on line ini tidak ideal. Hanya dilakukan di kondisi-kondisi tertentu saja. 

Diantara manfaat Model pembelajaran talaqqiy adalah murid bisa mempelajari adab dari sang guru, murid bisa berinteraksi langsung dan memperlakukan ahli ilmu sebagaimana mestinya, dapat mengamalkan adab-adab menuntut ilmu yaitu Ilmu itu didatangi bukan mendatangi artinya murid mendatangi guru bukan guru mendatangi murid (di rumahnya).

Keenam, waktunya panjang. Karena panjang, kesabaran harus ditanamkan kepada anak-anak. Imam Ibnul Mubarak berkata : 

لا ينال العلم الا بالفراغ والمال والحفظ والورع

“ Ilmu itu tidak akan bisa dicapai kecuali dengan waktu kosong (fokus), harta (sebagai bekal), menghafal, dan wara’(menjauhi syubhat dan maksiat) ”

Model pembelajaran di pesantren

Apabila wali murid memilihkan model pembelajaran untuk anaknya model pesantren, maka wali murid harus mematuhi dan mentaati peraturan yang sudah disepakati sebagai bentuk adab kepada guru (pengelola pendidikan). Secara umum, bekal-bekal menuntut ilmu yang sudah digariskan oleh para ulama (seperti imam Syafi’i) itu sudah dikelola dan diatur oleh pihak lembaga/ pesantren, sehingga memudahkan semua pihak (wali murid, murid, dan guru) untuk melakukan proses pendidikan. 

Ulama dulu mengatakan : 

العلم لا يعطيك بعضه الا اذا أعطيته كلّك

“Ilmu tidak akan memberikan sebagiannya saja kepadamu, kecuali engkau memberikan semua (yang kau punya) untuknya” 

Memberikan semuanya untuk ilmu meliputi waktu, harta, tenaga, dll sampai kemudian merasakan pahit dan kesengsaraan dalam hidup. 

Semua pihak berkurban untuk ilmu. Murid sebagai pelaku utama dalam menuntut ilmu harus merasakan kesengsaraan. Kelaparan, kehausan, rasa sakit, rasa kangen dengan orang tua, kehilangan barang, kurang tidur, dan sebagainya terkadang harus ditemui oleh para murid. Sekalipun sarana dan fasilitas sudah sangat memadai dan mencukupi. Bahkan ketika semuanya sudah tercukupi, seorang murid justru harus menahan diri dari sikap berlebih-lebihan dalam urusan dunia seperti makan, tidur, main dll. 

Imam Ibnu Hajar al Asqalani dalam “Fathul Baari” mengatakan terkait dengan kisah perjalanan abu hurairah dalam menuntut ilmu sampai kemudian beliau menjadi faqir dalam urusan dunia (kisahnya cukup panjang). 

أنّ التقلل من الدنيا امكن لحفظ العلم

“Bahwa menyedikitkan dalam urusan dunia itu lebih dapat mengokohkan hafalan ilmunya “

Guru dan juga pengelola pendidikan terus memberikan pelayanan yang terbaik agar para murid dapat menempuh dan mendapatkan ilmu seta keberkahannya.

Wali murid, memaksimalkan peran dan dukungan terhadap anaknya dari berbagai sisinya untuk kemuliaan ilmu.  Biaya pendidikan, mentaati peraturan pesantren, menjaga hubungan dengan pihak pesantren/ pengelola pendidikan. Sampai kemudian wali murid harus ikut merasakan kesengsaraan.  Kehabisan harta untuk pendidikan anaknya, menahan diri untuk tidak mengunjungi anaknya di luar jadwal penjengukan sekalipun rasa kangen yang teramat sangat besar. Jika sudah mengorbankan segalanya untuk ilmu, maka bolehlah berharap agar anaknya menjadi ahli ilmu di masa yang akan datang. Seperti inilah awal orang-orang besar di masa lalu menempuh jalan kemuliaan ilmu. Berpahit pahit dahulu, bermanis manis kemudian. 

العلم أولها مرّ واخرها حلو

“Ilmu itu awalnya pahit tapi akhirnya manis.”

Nurrahman, S.Ag., Mudir Ma'had Hidayatullah Magelang Jawa Tengah

Powered by Blogger.
close