Ruang Kosong Muslimah Kita

Oleh: Mohammad Fauzil Adhim

Hari ini ketika pengetahuan semakin mudah didapat, yang membaca semakin banyak, maka marilah kita ingat sejenak hadis tentang zaman fitnah. Inilah masa penghafal Al-Qur’annya semakin banyak, tetapi fuqaha-nya semakin sedikit. Kian banyak yang membaca dan menyampaikan berbagai hal yang terasa seperti pengetahuan agama, tetapi ruhnya semakin hilang, tafaqquhnya kian rendah. Di masa itu pula penceramah semakin banyak, tetapi fuqaha semakin sedikit.

Jika kita memperhatikan, istilah faqih senantiasa berkaitan dengan kematangan memahami agama dan kesungguhan tekad untuk memegangi agama ini. Maka akan kian terasa pentingnya mengingat tanda lain dari zaman fitnah, yakni kian banyaknya orang berlomba-lomba mengejar dunia dengan amal akhirat. Pada saat yang sama kita mengingat keadaan memilukan di saat itu, yakni di antara sedikitnya fuqaha itu, sebagian besar tafaqquh fiddien bukan untuk kemuliaan dan kehormatan agama, tetapi demi memungut remah-remah dunia.

Maka berbicara tentang muslimah, tentang menjadi orangtua maupun guru yang mendidik anak-anak kita di masa thufulah, ada ruang yang rasanya dibiarkan kosong, hampa tanpa penghuni. Padahal inilah masa terpenting, masa yang sangat menentukan agar anak kita syakir saat memasuki masa mumayyiz. Dan itu berarti para ibu dan maupun guru benar-benar perlu mempelajari ilmu mendidik anak yang kuat akarnya, jelas pijakannya dan tegak kokoh prinsipnya.

Hari ini, menyedihkan sekali rasanya ketika mendengar perkataan yang begitu merdu terdengar, “Jadi orangtua maupun guru PAUD itu jangan hanya memahami agama. Perlu juga menguasai teknik-teknik parenting yang kreatif dan kekinian.”

Ungkapan semacam ini seolah agama tak memadai. Pada saat yang sama seakan-akan sudah sangat sempurna menanamkan agama ini kepada diri anak. Padahal masih sangat banyak orangtua maupun pendidik di PAUD yang bahkan tidak dapat membedakan antara ikhlas dan ridha.

Mengapa masa thufulah ini sangat mendasar? Mari kita ingat sejenak sabda Rasulullah shallaLlahu ‘alaihi wa sallam:

كُلُّ مَوْلُودٍ يُولَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ حَتَّى يُعرب عَنْهُ لِسَانُهُ فَإِذَا عَبَّرَ عَنْهُ لِسَانُهُ إِمَّا شَاكِرًا وَإِمَّا كَفُورًا

“Setiap anak lahir di atas fithrah, sehingga lisannya dapat mengutarakan (keinginan, perasan, gagasan) dengan lisannya. Apabila lisannya telah dapat mengungkapkan kemauan dirinya, maka adakalanya ia menjadi syakir (orang yang bersyukur; Islam), dan adakalanya ia menjadi orang yang pengingkar (kafir).” (HR. Ahmad).

Di fase mana anak “إِمَّا شَاكِرًا وَإِمَّا كَفُورًا” (adakalanya ia menjadi syakir (orang yang bersyukur; Islam), dan adakalanya ia menjadi orang yang pengingkar) tersebut? Ibnu Qayyim Al-Jauziyah sebagaimana dinukil oleh Syaikh ‘Ali ibn ‘Abdullah ibn ‘Ali Al-Qarni dalam Al-Fithrah: Haqiiqatuha wa Madzaahibunnaas Fiiha menunjukkan bahwa ini terjadi ketika anak sudah mumayyiz, yang anak-anak itu tetap lurus dan berada di atas keimanan ataukah menunjukkan arah menyimpang dari fithrah disebabkan oleh penggunaan akal mereka.

Mumayyiz adalah masa ketika kita perlu mengevaluasi anak maupun diri kita. Tetapi kapan masa yang sangat menentukan untuk menyiapkan anak kita agar di masa ketika ia mulai diperintahkan untuk mulai mendirikan shalat, sungguh ia menjadi syakir? Bukan condong kepada ingkar? Masa sangat strategis itu qabla mumayyiz.

Maka membicarakan tentang apa yang sangat penting bagi muslimah, cukuplah kita merasa sedih jika madrasah pertama anak-anak kita itu berkecenderungan pada atba’u kulli naaiq (mengikuti setiap yang berteriak, yang sedang viral) dan bukan menjadi muta’allim ‘alaa sabilinnajah (penuntut ilmu di atas jalan keselamatan). Cukuplah kita bersedih apabila kemauan untuk berbenah tidak seiring untuk semakin idealis dan ideologis. Hanya bersibuk dengan isu populis, termasuk dalam soal parenting maupun keluarga secara umum.

Hari ini, kita memerlukan upaya serius yang benar-benar menggali panduan dari agama ini. Bukan mengambil serampangan dari apa saja yang sedang ramai dibicarakan, lalu mencomot ayat maupun hadis sebagai pembenaran. Apalagi jika meninggikan apa yang dianggap ilmiah, padahal menurut psikologi pun bukan termasuk ilmu (pseudoscience), sementara kepada agama ini merasa cukup dan bahkan merasa lebih dari cukup.

Mohammad Fauzil Adhim, Penulis Buku dan Motivator

Powered by Blogger.
close