Didik Anak dengan Lembut, Bukan Lemah
Oleh : Mohammad Fauzil Adhim, S.Psi.
Betapa banyak orangtua yang mencintai anaknya, sepenuh hati, tetapi tak mencurahkan waktunya untuk mendampingi anak bertumbuh. Mereka bilang cinta, tetapi anak tak merasakannya karena orangtua tidak meluangkan waktu untuk anak. Sebaliknya, ada pula orangtua yang sangat besar keinginannya untuk dapat mendampingi anak, ia mencurahkan segenap waktunya, tetapi tak memiliki ilmunya sehingga anak justru tak berkembang karena merasa dikekang.
Ada anak yang sangat terinspirasi oleh harapan orangtua, nilai-nilai dan idealisme orangtua. Orangtua tak mengharuskan, tetapi mereka tergerak mewujudkannya. Di antara mereka ada yang bahkan memilih belajar dan mengambil jurusan bukan karena itu bidang yang sangat disukai, tetapi karena terinspirasi oleh orangtua atau besarnya keinginan membahagiakan orangtua, mereka pun memilih bersungguh-sungguh seraya belajar mencintai bidang yang semula tak diminatinya.
Sebaliknya, ada anak-anak yang merasa tertekan dengan pilihan orangtua. Ini bukanlah tentang siapa anak kita, tetapi tentang bagaimana kita menjadi orangtua.
Ada orangtua yang mendorong anaknya mengambil keputusan hidup secara mandiri. Tetapi tak sedikit pula orangtua yang merasa memberi kepercayaan kepada anak untuk mengambil keputusan secara mandiri, tetapi mereka justru merasa dibiarkan dan tidak dipedulikan. Dimana letak masalahnya? Tak sedikit pula orangtua yang sulit membedakan antara memberi kepercayaan kepada anak dengan permisif. Tak peduli apa keputusan anak dan kemana mereka akan melangkah. Banyak pula orangtua yang inginnya memberi kepercayaan kepada anak, tetapi karena tidak menunjukkan dengan kelembutan (rifq), anak justru merasa tidak dipedulikan. Di sisi lain, tak sedikit orangtua yang merasa bersikap lembut, padahal sebenarnya dia bersikap lemah.
Lalu, bagaimana seharusnya kita menghadirkan kelembutan dalam mendidik anak?
Mohammad Fauzil Adhim, S.Psi., Penulis Buku-buku Parenting
Foto : Freepik
Post a Comment