Jangan Terbiasa Berkata Bohong pada Anak
FENOMENA suka berbohong adalah fenomena terburuk menurut pandangan Islam. Oleh karena itu, para pendidik wajib mencurahkan perhatian dan upaya terhadap fenomena ini, sehingga anak-anak terhindar dari fenomena tersebut dan menjauhi sifat munafik.
Cukuplah kebohongan itu dikatakan sebagai sifat yang buruk, mengingat Islam telah memandang sebagai tanda-tanda kemunafikan. Bukhari, Muslim, dan lain-lainnya meriwayatkan dari Abdullah bin Amr Al-Ash r.a. bahwa Nabi Shalallaahu ‘Alaihi Wasallam bersabda:
“Ada empat hal yang apabila seluruhnya berada pada diri seseorang, maka dia termasuk seorang munafik. Dan apabila satu dari empat hal itu berada padanya, maka ia telah memiliki salah satu sifat kemunafikan sampai ia meninggalkannya. Yaitu, apabila ia dipercaya, ia khianat; apabila berbicara, ia dusta; apabila berjanji, ia ingkar; dan apabila berbantah-bantah, ia tidak terkendali.”
Dan kebohongan itu cukup untuk dapat disebut sebagai sifat yang buruk, mengingat Islam telah mengatakan bahwa orang yang melakukannya akan mendapatkan murka dan siksa Allah. Imam Muslim dan lainnya meriwayatkan dari Abu Hurairah r.a. bahwa Rasulullah Shalallaahu ‘Alaihi Wasallam bersabda:
“Ada tiga macam manusia yang tidak akan diajak bicara oleh Allah pada hari kiamat, tidak akan disucikan, dan tidak akan diperhatikan. Mereka akan mendapatkan azab yang sangat pedih, yaitu kakek-kakek yang berzina, raja pendusta dan orang miskin yang sombong.”
Bagi para pelakunya, kebohongan juga cukup untuk dikatakan sebagai perbuatan buruk, yang oleh Allah dikategorikannya sebagai pendusta. Asy-Syaikhani dan lainnya meriwayatkan dari Ibnu Mas’ud r.a bahwa Rasulullah bersabda:
“Jauhilah perbuatan dusta, sebab sesungguhnya dusta itu dapat mengakibatkan perbuatan lacur dan sesungguhnya perbuatan lacur itu akan menyeret kepada api neraka. Selama hamba itu berdusta dan terus-menerus berdusta, maka Allah akan mencatatnya sebagai pendusta.”
Kebohongan dapat dikatakan sebagai perbuatan yang sangat buruk karena Nabi Shalallaahu ‘Alaihi Wasallam memandangnya sebagai pengkhianatan yang besar. Abu Dawud meriwayatkan dari Sufyan Usaid Al-Hadhrami r.a., ia mendengar Rasulullah bersabda:
“Suatu pengkhianatan akan menjadi besar, apabila engkau membicarakannya kepada saudaramu, dan ia membenarkan pembicaraanmu, padahal engkau mendustainya.”
Jika memang demikian keberadaan dusta dan para pelakunya, maka kewajiban para pendidik adalah menjauhkan anak-anak dari perbuatan itu, di samping menjelaskan akibat dan bahayanya, sehingga mereka tidak terjebak dalam perangkap dusta, terkena percikan, dan terjerumus dalam bahayanya.
Jika para pendidik berpendapat bahwa pendidikan utama itu tergantung kepada pemberian teladan yang baik, maka selayaknyalah setiap pendidik dan orang yang bertanggung jawab untuk tidak mendustai anak-anaknya dengan alasan agar mereka berhenti menangis, membujuk mereka agar menyukai sesuatu, atau menenangkan mereka dari kemarahan. Sebab jika hal itu dilakukan, berarti telah membiasakan anak-anak untuk melakukan kebiasaan-kebiasaan paling buruk dan moral paling hina, yakni kebohongan. Hal ini dapat menyebabkan para pendidik kehilangan kepercayaan terhadap diri mereka dengan perkataan dustanya dan melemahkan pengaruh nasihatnya.
Untuk itu, kita lihat pendidik pertama, Nabi Muhammad Shalallaahu ‘Alaihi Wasallam telah memperingatkan para wali dan pendidik supaya tidak berdusta di hadapan anak-anak, meski hal itu hanya sebagai bujukan atau gurauan, agar ia tidak dicatat oleh Allah sebagai pendusta. Abu Dawud dan Baihaqi meriwayatkan dari Abdullah bin Amir r.a.:
“Pada suatu hari ibu memanggilku, sedangkan Rasulullah duduk di rumah kami. Ibuku berkata, “Kemarilah, aku akan memberimu.” Kemudian Rasulullah berkata kepadanya, “Apa yang akan engkau berikan kepadanya?” Ibuku berkata, “Aku akan memberinya sebuah kurma.” Maka Rasulullah berkata kepadanya, “Kalau engkau tidak memberikan sesuatu kepadanya, maka engkau akan dicatat sebagai orang yang berdusta.”*/Sudirman STAIL
Sumber buku: Pendidikan Anak Dalam Islam (Jilid 1). Penulis: Dr. Abdullah Nashih Ulwan.
Post a Comment