Menasehati, Bukan Mempermalukan


Oleh : Ust Alimin Mukhtar 

BILA Anda rajin membaca koran, Anda pasti tahu di sana ada kolom atau rubrik tertentu yang dikhususkan untuk menampung surat-surat dari para pembaca.

Beragam tulisan bisa masuk ke kolom itu, dan pada umumnya berupa keluhan, pengaduan, saran, terkadang juga sanjungan, kesan baik, atau ucapan terima kasih.

Ada diantaranya yang – karena pertimbangan tertentu – tidak disebutkan identitas pengirimnya. Di sana cukup ditulis: “nama dan alamat ada pada Redaksi”.

Sekali waktu, bila Anda membaca keluhan dan pengaduan dalam rubrik tsb, cobalah memposisikan diri sebagai pihak yang menjadi sasarannya. Apa yang akan Anda alami? Mungkin Anda akan merasa panas dingin, wajah menjadi merah padam, dan dada pun sesak.

Seringkali tulisan-tulisan itu bernada memojokkan bahkan mencemarkan nama baik pihak lain. Kita pun patut bertanya, apa sebenarnya motif di balik semua itu?

Bila memang hendak menegur kesalahan, mengapa harus diumumkan kepada semua orang yang sebenarnya tidak tahu-menahu? Bila memang hendak menasehati, mengapa harus mengumbar aib pihak lain seperti itu? Bila memang hendak menuntut hak, mengapa bukan langsung kepada yang bersangkutan?

Fenomena semacam ini makin meruncing dari waktu ke waktu. Pemicunya bisa sangat beragam, namun pola-pola yang berkembang sebenarnya mengindikasikan suatu penyakit mental yang sama, yaitu menipisnya toleransi, mahalnya kata maaf, dan menguatnya kesombongan.

Orang menjadi sangat sulit memaklumi kekhilafan sesamanya dan menuntut kesempurnaan dalam segala hal. Masyarakat menjadi semakin pemarah dan tidak sanggup lagi melapangkan dada untuk menerima kekurangan pihak lain. Setiap orang pun semakin terbiasa untuk menempatkan diri sebagai raja dan begitu gampang meremehkan siapa saja.

Belakangan ini, kita juga makin sering mendengar kasus-kasus sepele yang berakhir di meja hijau. Semakin banyak orang yang gemar lapor polisi bahkan mengadu ke Komnas HAM. Sepertinya, sebagian anggota masyarakat kita menjadi semakin tidak dewasa, persis anak kecil yang suka mengadu kepada ayahnya ketika berantem dengan temannya.

Tidak lagi tersedia keterampilan mental yang cukup guna menyelesaikan masalah-masalah dengan kepala dingin, mengedepankan prasangka baik, dan membuka pintu musyawarah. Perlahan-lahan masyarakat kita semakin dipenuhi pribadi-pribadi yang kekanak-kanakan. Emosinya mirip petasan bersumbu pendek. Cepat meledak sesaat setelah disulut api.

Dalam situasi ini, ada baiknya kita menengok bagaimana para ulama’ terdahulu membimbing umat ketika berhadapan dengan keadaan-keadaan yang tidak sesuai harapan. Sebab, hidup bermasyarakat pasti mempertemukan kita dengan aneka persoalan, dan banyak diantaranya yang tidak menyenangkan.

Al-Hafizh Ibnu Rajab al-Hanbali (w. 795 H) memiliki sebuah karya kecil berjudul al-Farqu Baynan Nashihah wat Ta’yir (perbedaan antara menasehati dengan mempermalukan). Edisi modern risalah ini hanya terdiri dari 27 halaman. Naskah manuskripnya pasti lebih pendek lagi.

Pada pembukaan risalahnya, beliau menulis, “Ketahuilah bahwa menyebut-nyebut seseorang dengan sesuatu yang tidak ia sukai itu diharamkan jika maksudnya hanya untuk mencela, membongkar aib, dan meremehkan. Adapun jika di dalamnya terkandung kemaslahatan bagi kaum muslimin secara umum dan bagi sebagian mereka secara khusus, dan maksud dari tindakan itu adalah untuk mencapai kemaslahatan tsb, maka tidak diharamkan bahkan justru dianjurkan.”

Beliau kemudian menunjukkan bahwa tujuan memberi nasehat adalah menghilangkan aib dan kekurangan dalam diri orang lain, bukan mempermalukannya. Maka, diantara tanda tulusnya niat menasehati adalah disertakannya upaya menutup aib tsb agar tidak diketahui banyak orang, sedangkan ciri tindakan mempermalukan adalah mengumumkannya kepada khalayak ramai.

Padahal, mengumumkan aib sesama muslim dilarang oleh Allah, sebagaimana firman-Nya:

“Sesungguhnya orang-orang yang ingin agar (berita) perbuatan yang amat keji itu tersiar di kalangan orang-orang yang beriman, bagi mereka azab yang pedih di dunia dan di akhirat. Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.” (QS. An-Nuur: 19)

Rasulullah juga bersabda,

“Jangan menampakkan kegembiraan dengan keburukan yang menimpa saudaramu, sehingga Allah mengasihinya dan justru menimpakan bencana kepadamu.” (Riwayat Tirmidzi, dari Watsilah bin al-Asqa’. Hadits hasan-gharib).

Menurut Syaikh al-‘Utsaimin dalam Syarah Riyadhus Shalihin, makna hadits ini adalah: boleh jadi orang itu kemudian dirahmati Allah dan disembuhkan dari keburukannya, namun orang yang tadi menjelek-jelekkannya justru terjerumus ke dalam keburukan yang sama. Oleh karena itu, berhati-hatilah!

Al-Hafizh Ibnu Rajab juga berkata,

“Menyebarkan perbuatan keji selalu beriringan dengan tindakan mempermalukan. Keduanya merupakan sifat orang-orang durjana, sebab mereka sebetulnya tidak ingin menghilangkan kerusakan dan menjauhkan seorang mukmin dari kekurangan maupun aib, akan tetapi tujuannya hanyalah menyebarkan aib saudaranya itu dan merusak kehormatannya. Ia akan mengulang-ulangnya dan menampak-nampakkannya. Tujuannya adalah menjatuhkan saudaranya sesama mukmin dengan cara membongkar aib dan keburukannya, agar saudaranya itu tertimpa madharat di dunia …… Yang mendorong si durjana itu untuk menyebarkan keburukan (saudaranya) dan membongkarnya adalah (perasaan) kuat, sifat kasar, kegemaran untuk menyakiti saudaranya sesama mukmin, dan menimbulkan madharat kepadanya. Semua ini adalah sifat syetan …… Betapa jauhnya (perbedaan) antara tujuan menasehati dengan mempermalukan itu. Keduanya tidak akan tercampur-aduk kecuali bagi mereka yang sudah tidak waras lagi akalnya.”

Maka, berhati-hatilah bila Anda hendak mengeluhkan pihak lain melalui koran, majalah, Facebook, WhatsApp, internet, milis, dsb. Teliti baik-baik niat dan cara Anda, sebelum Allah menghukum Anda dengan keburukan serupa yang semula Anda keluhkan itu. Wallahu a’lam.

Ust Alimin Mukhtar, Dai Tangguh Hiayatullah

Sumber : www.hidayatullah.or.id

Powered by Blogger.
close