Belajar dari Gadis Buta dan Tuli

Oleh : Kak Eka Wardhana

Dahulu ada seorang bayi perempuan berusia 19 bulan yang diserang suatu penyakit sehingga membuatnya jadi tuli dan buta. Karena sulit berkomunikasi dengan orang lain, bayi perempuan itu tumbuh jadi anak yang frustasi, sering marah dan sulit diajar.

Bila Anda jadi orangtua dan gurunya, bisa terbayang bagaimana besarnya rasa frustasi yang Anda rasakan.

Beruntung di usia 7 tahun, ia diajar oleh guru perempuan yang amat sabar dan cerdas. Bu Guru itu memegang tangan si anak perempuan di bawah air dan sambil menggunakan bahasa isyarat, ia berkata “AIR”. Kemudian sambil mengajak tangan si anak menyentuh tanah, Bu Guru mengucapkan “TANAH”.

Berkat ketekunan sang guru inilah, anak perempuan itu menjadi seorang penulis, aktivis politik dan dosen di Amerika. Ia pemenang Honorary Degrees Women’s of Hall of Fame, The Presidential Medal of Freedom dan peraih 2 piala oscar. Bukunya diterbitkan dalam 50 bahasa dan berkeliling 39 negara untuk berbicara dengan para presiden.

Apa jadinya bila si anak perempuan lahir di tengah-tengah kita? Mungkin ia sudah masuk Sekolah Luar Biasa dan dianggap sebagai manusia cacat buat selamanya. 

Bu Guru yang luar biasa itu bernama Anne Sullivan dan si anak perempuan bernama Helen Keller (1880-1968).

Singkatnya, apa yang membuat Helen Keller yang buta dan tuli menjadi seorang besar melebihi harapan siapapun? Ada 5 faktor utama yang mempengaruhi kesuksesannya yang bisa ditiru dan diulang oleh siapapun, termasuk anak-anak normal. Yaitu:

1. WAKTU. Biasanya seorang anak di awal belajar akan mengalami saat sulit, sampai pada suatu titik ketika ia sudah mulai kemampuan awal dengan cepat dan mulai berkembang. Jadi guru dan orangtua harus sabar dan memberi waktu pada anak untuk mendapatkan pijakan awal suatu ilmu.

2. BUDAYA. Budaya yang baik, ramah dan terbuka pada kemampuan bermacam-macam seorang anak akan membuat anak berkembang. Tapi budaya yang hanya menghargai kemampuan akademis, akan membuat banyak sekali anak terhambat dan terkungkung.

3. KONTEKS. Bila lingkungan menganggap seorang anak bodoh, ia akan menghakimi dirinya bodoh. Tetapi bila lingkungan menghargai potensi yang ia punya, ia akan berkembang.

4. DUKUNGAN. Tanpa dukungan, perhatian dari guru dan orangtua, anak akan sulit menemukan dan mengembangkan kemampuan aslinya. Gawatnya kelak ia hanya akan menjadi orang lain sampai tua tanpa sempat menjadi dirinya sendiri.

5. KEBEBASAN MEMILIH. Seperti Helen Keller, sebaiknya seorang anak diberi kebebasan untuk memilih pelajaran yang ingin ia kuasai tanpa ada ketergesaan dan diburu-buru. Di Indonesia, rasanya hal ini sulit diterapkan di sekolah walau bukan tak mungkin. Setiap anak punya kecepatan belajar berbeda-beda sesuai dengan keadaannya.

Mari Ayah dan Bunda, perhatikan 5 faktor utama yang mempengaruhi anak ini.

Kak Eka Wardhana, Rumah Pensil Publisher

Powered by Blogger.
close