Paradoks “Anak Patuh”


Oleh : Ida S. Widayanti

Apabila saya bertanya pada para orangtua, “Ayah Bunda, Anda ingin anak seperti apa?” Dari sekian banyak jawaban, selain “anak sholeh/sholehah” maka jawaban yang cukup dominan adalah, ingin “anak yang patuh pada orangtua”. 

Dalam sejumlah seminar atau coaching, “Anak Patuh”adalah dambaan banyak orangtua. Rasanya orangtua akan tentram, aman, dan bahagia jika punya anak-anak yang penurut. 

Orangtua merasa terancam jika anak-anaknya tidak patuh dan sulit dikasih tahu. Sering kita dengar ungkapan orangtua:

“Makanya nurut sama orangtua!” 

“Dengar apa kata orangtua!”

“Diam, kalau dikasih tahu!”

 “Jangan ngeyel!”

“Kamu tuh kan sukanya membangkang!”

“Nih anak susah diatur deh!”

Kalimat-kalimat di atas adalah bentuk otoritas orangtua terhadap anak-anaknya. Anak yang kritis, bertanya, menolak, sering dianggap bukan saja tidak patuh, namun juga membangkang, bahkan kerap dapat cap “anak durhaka!”

Mungkin kita tidak menyadari bahwa ucapan-ucapan kita pada anak-anak akan memprogram pikiran mereka. Tahukah para orangtua, bahwa ketika kita memprogram pikiran anak untuk senantiasa patuh dan tunduk, maka ketika mereka ke luar rumah, kepatuhan itu cenderung akan melekat dalam diri mereka. Sehingga ketika ada teman, kakak kelas, guru, ustadz, pastor, atau siapapun yang dianggap superior maka ia pun auto-patuh, tidak peduli benar atau salah!

Dalam sebuah riset, disebutkan bahwa anak yang mudah diajak, dibujuk, ditekan untuk penyalahgunaan narkoba, berasal dari keluarga yang sering menanamkan untuk selalu patuh. Anak perempuan yang terjatuh pada pergaulan bebas atau mendapat kekerasan seksual, adalah anak yang juga cenderung di rumahnya dipaksa untuk selalu menjadi penurut. Sehingga ketika menghadapi guru, ustadz, sopir jemputan sekolah yang bejat pun menjadi penurut dan patuh. 

Dalam buku “Honey, I Wrecked The Kids!” dikatakan, “ Dalam hampir setiap kasus pelecehan seksual masa kanak-kanak, pedofilia adalah sosok otoritas terpercaya, dan mereka mencari anak yang patuh, dilatih untuk tunduk. Ketaatan membuat anak-anak kita tidak terlindungi dari orang dewasa yang berbahaya.” 

“Anak patuh, taat, dan mudah diatur” yang awalnya menjadi dambaan orangtua justru menjadi awal bencana. Mereka menjadi mangsa yang lemah di hadapan para predator. 

Penulis buku tersebut Alyson Schafer mengingatkan kita bahwa mungkin ketika kita mendesak anak untuk makan, “Ayo sayang, satu suap lagi saja!” Kita mungkin merasa hal itu bukan masalah. Tetapi ketika kita melakukan ini, kita secara tidak sengaja mengajari anak-anak kita untuk mengabaikan dan menahan suara hati mereka untuk mengatakan "Tidak!" Kita tidak memperkenankan anak mendengarkan suara kecil di dalam hatinya yang terasa tidak nyaman. 

Berkaitan dengan kasus yang baru mencuat belakangan ini, menyadarkan kita betapa sangat perlu edukasi pada para orangtua. Bahwa selain memberikan pemahaman pada anak tentang aspek biologis... bagaimana menjaga diri dan pergaulan... apa yang harus dibentengi sebelum memasukan ke lembaga pesantren atau bahkan sekedar ikut jemputan sekolah, penting juga untuk melatih anak berani bicara. Bahwa kepatuhan itu tidak selalu benar. Bahwa siapa pun selama ia manusia, masih berpeluang melakukan kesalahan.

Betapa sesak rasanya membayangkan anak-anak yang bersemangat meninggalkan rumah dan keluarganya untuk belajar menggapai ilmu agama... namun yang didapatkan penistaan dan dirusak... dan dia bungkam sekian lama tidak bicara dan bertindak. Mereka terus-menarus merasakan derita, ketakutan, dan menangis sendirian, tanpa bisa berbuat apa-apa. Sehingga dari hari ke hari korban pun terus menerus bertambah tak ada yang bisa mencegah. 

Wahai para orangtua kepatuhan mutlak itu hanya pada Allah, kita orangtua dan siapapun masih berpeluang salah, keliru, khilaf. Tidak apa anak berbicara, mempertanyakan, meragukan kita para orangtuanya juga orang lain untuk kemudian mencari kebenaran hakiki...

Tidak apa-apa anak protes, berkata tidak... Lingkungan tidak akan pernah bisa steril. Jika mereka menemukan ketimpangan, kekdzaliman, kesesatan, mereka pun tidak akan tinggal diam. Mereka akan angkat bicara, protes dan melakukan amar ma’ruf nahyi munkar.

Mungkin ada baiknya kita merenungkan pepatah ini, “Sejarah tidak pernah dibuat oleh orang yang ‘patuh’!”

Wallahu ‘alam bishshawab.

Ida S. Widayanti, Penulis Buku Parenting dan Motivator
Foto : Ida Nahdhah, SDIT Hidayatullah Yogyakarta

Powered by Blogger.
close