Berpikir dan Bekerja


Oleh : Ustadz Asih Subagyo 

SERINGKALI
 kita menghadapi diskusi atau bahkan pertengkaran yang hebat. Bahkan menjadi perdebatan seperti chicken and egg, duluan mana antara telur atau ayam. Sehingga terjadi debat kusir berkepanjangan. Sebab ada juga yang menilai bahwa, berfikir itu bukan kerja. Dan hanya yang menggunakan fisik alias otot dan berkeringat itulah yang bekerja. Atau dengan bahasa lain lihatlah hasilnya yang dapat dilihat, dan biasanya diasosiasikan dalam bentuk material yang kasat mata.

Meskipun hal tersebut sudah berlangsung lama, berulang-lang dan berjilid-jilid jika dibukukan. Tetapi saya yakin hal itu akan masih terus terjadi perdebatan hingga kini. Problemnya adalah tidak ada yang mendudukkan persoalan pada tempatnya. Semua berargumen, bahwa pendapatnya yang paling benar. Lalu jika semua menganggap paling benar, lalu pendapat mana yang paling benar dari yang paling benar itu. Tambah pusing jadinya.

Mari kita urai, dengan kepala dingin. Gambar di atas menunjukkan sebuah diagram yang mudah untuk dibaca. Dan ini lumrah terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Bahwa sebenarnya, siapapun yang ingin melakukan sesuatu (bekerja), pasti berfikir dulu.

Dalam grafik itu ditunjukkan sekitar 90% waktu yang digunakan untuk berfikir sebelum mengerjakan sesuatu. Dan sekitar 10% waktu yang digunakan untuk mengeksekusi dan merealisasikan apa yang dipikirkan itu. Jadi yang paling benar berarti berfikir dulu, bukan bekerja dulu?

Tunggu dulu, ada kaidah yang terkenal di dunia manajemen, namanya hukum Pareto, yang bersumber dari penelitiannya di Italia awal tahun 1900an. Intinya Hukum Pareto atau The Pareto Principle atau sering disebut prinsip 80/20, menyatakan bahwa untuk banyak kejadian, 80 persen dari efeknya itu disebabkan oleh 20 persen dari penyebabnya.

Sehingga, dalam konteks kepemimpinan sering kali diterapkan kaidah bahwa manejemen puncak menggunakan 80% sumberdaya yang dimikinya untuk berfikir secara strategis, dan 20% sumberdayanya digunakan untuk mengerjakan hal teknis. Demikian juga sebaliknya, staff (anggota) biasanya menggunakan 80% sumberdayanya untuk mengerjakan hal teknis (fisik) dan 20% digunakan untuk berfikir.

Pertanyaannya kemudian adalah, bagaimana dengan yang berada di middle management? Disini dipelukan azas proporsional, disesuaikan dengan beban dan tanggungjawabnya masing-masing. Biasa 70/30, 60/40, 50/50 dan seterusnya.

Saya teringat sebuah tulisan dari Prof. Amien Rais, saat memberikan testimoni pada buku Mencetak Kader, mengenai sosok AllahuyarhamUstadz Abdullah Said pendiri Hidayatullah. Dimana Pak Amien menyampaikan bahwa beliau merupakan gabungan dari Man Of Idea dan Man Of Action.

Artinya Allahuyarham Ustadz Abdullah Said, berhasil memadukan dan mengintegrasikan antara berpikir dan bekerja dengan fisik secara proporsional. Sehingga menghasilkan karya nyata pada zamannya, berupa manhaj gerakan dan terus berkembang hingga sekarang, serta jaringan Hidayutullah yang terus tumbuh di seantero Bumi.

Kendatipun jika ditelisik lebih dalam lagi, kemampuan beliau tersebut sesungguhnya merupakan buah dari riyadhoh, yang bersumber dari kuatnya literasi beliau dan yang lebih utama lagi adalah kuatnya ibadah beliau, baik dari sisi kuantitas maupun kualitasnya.

Dengan demikian maka tidak perlu lagi ada perdebatan lagi antara berpikir dan bekerja. Keduanya sesungguhnya sangat bisa dikombinasikan secara proporsional, sesuai dengan kapasitas, beban, dan tanggung jawab masing-masing, tanpa harus merasa yang paling sendiri.

Kita banyak menjumpai dalil urgensi berpikir dan bekerja dalam Al-Qur’an dan al-Hadits. Pun demikian Rasulullah SAW sebagai pemimpin tertinggi umat Islam, dengan sangat indah mempraktikkannya, diberbagi kesempatan. Salah satunya sebagaimana dijelaskan oleh As-Sa’di dalam Taisirul Karimirrahman fi Tafsiri Kalamil Mannan, ketika menafsirkan surat Ash-Shof ayat 4:

“…. Ketika Rasulullah menghadiri peperangan, beliau menata para sahabat dalam beberapa barisan serta mengatur mereka dalam berbagai posisi, agar masing-masing tidak mengandalkan pada yang lain, tapi masing-masing kelompok berkonsentrasi di posisinya dan menunaikan tugasnya. Dengan cara seperti ini, pekerjaan bisa tuntas dan kesempurnaan bisa di dapatkan”.

Wallahu a’lam

Ustadz Asih Subagyo – Senior Researcher pada Hidayatullah Institute Research Center

Powered by Blogger.
close