Zalim, Ketika Mantan Suami Menjelekkan Mantan Istri Mereka
Keadaan iman seseorang itu tampak ketika sedang menghadapi kesulitan atau hal-hal yang tidak disukai. Betapa banyak suami yang bersikap kasar, atau lebih buruk dari itu, kepada perempuan yang telah diceraikannya. Padahal ia tak punya hak lagi terhadapnya.
Jika perempuan itu masih istrinya, nasehatilah baik-baik tanpa mengumumkannya kepada dunia. Jika tidak menemukan jalan keluar, mintalah seseorang yang ‘adil sebagai upaya mendamaikan dan mencari kebaikan secara jujur. Jika sudah tidak menjadi istri, sedangkan ia adalah yang paling berhak untuk mengasuh anak-anak yang dilahirkannya sendiri, maka jika ada yang perlu dinasehatkan, sampaikanlah dengan baik sekaligus memuliakan kehormatan ibu dari anakmu itu. Bukan menyampaikannya di media sosial.
Tidak ada hak bagi seorang laki-laki untuk merenggut anak dari ibu kandung anaknya, kecuali hanya karena rusaknya iman dan bejatnya akhlak. Di luar itu, zalim bagi seorang laki-laki mencari-cari kesalahan mantan istrinya dan menjelek-jelekkannya. Adapun bagi yang dizalimi, baginya terbuka pintu do’a mustajab selama ia masih dizalimi. Maka pergunakanlah untuk berdo’a yang baik bagi diri sendiri, anak, keluarga maupun orang lain.
Sesungguhnya, seorang laki-laki hendaknya tidak melupakan keutamaan perempuan yang pernah menjadi istrinya itu. Begitu pula bagi seorang perempuan, hendaklah ia pun tidak melupakan keutamaan laki-laki yang telah menceraikannya dengan baik-baik sekaligus memenuhi tuntunan syari’at. Ingat, Allah Ta’ala tidak tidur. Allah Maha Melihat.
Ingatlah firman Allah Ta’ala:
وَلَا تَنسَوُا۟ ٱلْفَضْلَ بَيْنَكُمْ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ
“…Dan janganlah kamu melupakan keutamaan di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Melihat segala apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al-Baqarah, 2: 237).
Apa maksudnya? Hendaklah keduanya –mantan suami-istri tersebut—tidak melupakan keutamaan masing-masing sehingga setelah itu hubungan mereka tetap baik, demikian pula keluarga besar dari keduanya, meskipun telah bercerai. Perceraian yang seperti ini menjadikannya berbeda dengan broken home alias rumah-tangga yang pecah berantakan.
Sedemikian besar penjagaan syari’at ini terhadap kebaikan rumah-tangga orang-orang yang beriman, sehingga apabila sampai pada keadaan benar-benar berpisah pun seorang suami diwajibkan memberi mut’ah kepada mantan istrinya. Allah Ta’ala berfirman:
وَلِلْمُطَلَّقَٰتِ مَتَٰعٌۢ بِٱلْمَعْرُوفِ ۖ حَقًّا عَلَى ٱلْمُتَّقِينَ
“Kepada wanita-wanita yang diceraikan (hendaklah diberikan oleh suaminya) mut'ah menurut yang ma'ruf, sebagai suatu kewajiban bagi orang-orang yang bertakwa.” (QS. Al-Baqarah, 2: 241).
Apa itu mut’ah? Jangan gagal paham. Yang dimaksud dengan mut’ah (الْمُتْعَة) adalah pemberian atau hadiah untuk menyenangkan hati bagi perempuan yang telah diceraikan sehingga hubungan baik di antara keduanya maupun keluarganya dapat terjaga. Bukan bermusuhan. Tentu saja mut’ah tersebut tidak menjadikannya bersuka-cita, tetapi ini memudahkan pulihnya hubungan baik.
كَذَٰلِكَ يُبَيِّنُ ٱللَّهُ لَكُمْ ءَايَٰتِهِۦ لَعَلَّكُمْ تَعْقِلُونَ
“Demikianlah Allah menerangkan kepadamu ayat-ayat-Nya (hukum-hukum-Nya) supaya kamu memahaminya.” (QS. Al-Baqarah, 2: 242).
Apa yang saya paparkan ini hanyalah secuil dari tuntunan yang apabila kita memperhatikan, seharusnya telah cukup bagi seseorang untuk menahan diri dari mencela perempuan yang sudah bukan lagi istrinya.
Mohammad Fauzil Adhim, Penulis Buku-buku Parenting
Post a Comment