Ayah, Jangan Jadi Lilin Ya!
Oleh : Jamil Azzaini
Menjadi seorang ayah adalah pembelajaran seumur hidup. Ilmu cara mendidik anak yang kita peroleh dari ayah kita kita dulu tidak bisa semuanya diterapkan untuk mendidik anak kita saat ini. Zamannya sudah berbeda, Sang Nabi pun mengingatkan “didiklah anakmu seseuai dengan zamannya.”
Di masa lalu, memotivasi seorang anak bisa dilakukan dengan cara membandingkan prestasi anak kandung dengan prestasi anak orang lain. Anak pun tetap enjoy dan tidak mengalami luka batin. Tidak menimbulkan trauma yang berkepanjangan.
Namun dimasa sekarang, membandingkan prestasi anak sendiri dengan anak orang lain, atau membandingkan dengan prestasi kita dimasa lalu adalah luka batin yang sangat menyakitkan bagi sang anak. Dengan cara membandingkan, orang tua merasa bisa memotivasi sang anak, namun sang anak justeru mengalami demotivasi dan penurunan kepercayaan diri. Sang anak pun bisa mengalami trauma berkepanjangan.
Di masa kecil, saya tidak berani menasehati atau memberi feedback kepada ayah saya. Namun di perjalanan hidup saya saat ini, sungguh saya mendapat banyak nasehat dari anak saya. Bahkan ada nasehat anak saya 15 tahun yang lalu, masih saya ingat hingga hari ini.
Ketika itu, anak saya Nadhira (biasa dipanggil mbak Dhira) yang masih duduk di bangku SMP mengajak saya bicara “Pak, bisa gak ngobrol berdua?” Dengan penuh tanda tanya atas ajakan itu, saya pun menjawab “bisa mbak Dhira.”
Setelah kami berdua di dalam kamarnya, ia membuka percakapan “Sebelumnya maafkan mbak Dhira ya pak, mbak Dhira ingin mengungkapkan sesuatu yang mungkin membuat bapak gak nyaman.” Saya menguatkan mbak Dhira dengan berkata “gak papa mbak Dhira, bapak mau dengerin apa yang disampaikan mbak Dhira.”
Setelah menarik nafas panjang, mbak Dhira memulai mengeluarkan uneg-unegnya “saat ini kami merasa bahwa bapak bukan lagi milik kami. Bapak sudah menjadi milik masyarakat. Bapak sudah tidak seperti dulu lagi, tidak ada waktu lagi bermain dengan kami. Tidak ada lagi candaan dan obrolan yang membuat kami semua happy.”
Saya melihat anak pertama saya mulai meneteskan air mata, sambil terbata-bata ia berkata “mbak Dhira berharap, bapak jangan sampai menjadi lilin, mampu menerangi sekitarnya tetapi dirinya musnah. Bapak menginspirasi banyak orang ke seluruh dunia namun keluarganya tidak pernah mendapatkan inspirasi. Kami tidak mau kehilangan bapak. Kami ingin merasakan kehadiran bapak dan kehangatan bapak seperti dulu.”
Saya pun memeluk mbak Dhira, ia semakin menangis tersedu-sedu dalam pelukan saya. Saya pun ikut meneteskan air mata, sembari mengusap air mata dengan lirih saya berkata “terima kasih mbak Dhira, bapak memang belum menjadi ayah yang sempurna, tetapi bapak terus belajar agar bapak layak menjadi ayah yang baik bagi kalian semua. Maafkan atas ketidaksempurnaan bapak. Terus ingatkan bapak ya.”
Meski mbak Dhira sekarang tinggal di Jerman, dan peristiwa itu sudah 15 tahun berlalu, saya masih ingat nasehat itu. Saya merasa mbak Dhira seperti ada di rumah. Saya masih ingat moment itu. Saya masih bisa merasakan perasaan yang muncul pada peristiwa itu. Dan tentu yang terpenting, nasehat anak saya itu memperbaiki pola pikir, sikap dan perilaku yang saya jalani hingga hari ini.
Selamat hari ayah dan teruslah belajar menjadi ayah. Hadir penuh, sadar utuh untuk anak-anak kita. Memperbaiki diri tiada henti, sehingga mereka tidak perlu lagi berkata : “Ayah, jangan menjadi lilin ya.”
Jamil Azzaini, Penulis Buku dan Motivator
Post a Comment