Cinta Yang Takwa
"Kekasih-kekasih (teman-teman akrab) pada hari itu saling bermusuhan satu sama lain kecuali mereka yang bertakwa.” (Terjemah Q.S. Az-Zukhruf: 67)
Ayat tersebut relatif pendek. Akan tetapi apa yang dikandungnya mungkin sangat dalam. Apalagi ayat ini berbicara tentang sesuatu yang penting dan mendasar dalam kehidupan manusia, tentang sebuah energi yang begitu besar: cinta. Semoga dengan mendalami ayat ini, setiap orang menuju dermaga cinta yang benar.
Dermaga itu ditandai dengan bahagia, jiwa dan raga, rasa dan logika, hati serta budi.
Pertama, dari ayat tersebut dapat dipahami bahwa cinta itu ada. Buktinya ada pecinta, kekasih, teman akrab, atau sebutan apapun yang sejenis. Mereka terikat dalam satu ikatan yang abstrak dan kuat. Dalam ikatan itu, mereka saling memberi bahkan berkorban. Tak jarang pengorbanan yang diberikan sedemikian dahsyat. Orang-orang menyebutnya dengan pengorbanan cinta.
Kedua, pecinta itu dapat menjadi musuh di satu waktu. Jika di satu saat pecinta itu saling menyayangi dan memberi, maka di waktu lain bisa jadi saling bermusuhan. Saat itu, mungkin goncangan dahsyat terasa sedemikian rupa. Karena setelah lama cinta terjalin dan keindahan cinta terasakan, perubahannya bisa seratus delapan puluh derajat. Kini yang ada adalah kebencian, kemarahan, dan mungkin saling menghujat serta menggugat. Perih, satu kata itu mungkin yang paling bisa mewakili.
Ketiga, memilih orang yang dicinta itu boleh bahkan mungkin harus. Karena orang yang dicinta akan mendapatkan pemberian bahkan pengorbanan cinta. Jika sampai seseorang salah memilih orang yang dicinta, bisalah terjadi air susu dibalas air tuba. Oleh karena itu, berdoa agar diri ditautkan dengan cinta yang benar dapat dilakukan jauh-jauh hari sebelum sekuntum bunga cinta mekar di taman hati.
Jika ada cinta kepada orang yang salah, maka di sinilah pengelolaan cinta diperlukan. Lagi, berdoa kepada Allah subhanahu wa ta’ala merupakan jalan utama. Karena Allah subhanahu wa ta’ala Maha Kuasa termasuk dalam pembolak-balikan hati.
Berikutnya hati dikelola agar cinta tersebut bisa hilang perlahan. Ini rumit, butuh waktu, dan butuh energi. Mungkin teman diperlukan untuk membantu. Tak masalah, asalkan sang teman bisa dipercaya.
Keempat, kriteria orang yang dicinta -dan juga mungkin akan memberi cinta- perlu ditetapkan dengan seksama. Karena orang yang dicinta diharapkan bisa menyertai perjalanan menyusuri waktu dengan penuh gembira. Karena tidaklah luka diharap. Jika pun harus ada, semoga luka segera terobati.
Kelima, bisa jadi cinta ada batasnya. Sebagaimana telah disampaikan, ada masanya cinta tidak melahirkan damai. Pecinta saling bermusuhan. Jika kemudian permusuhan itu tak terhenti, saat itulah cinta berakhir.
Keenam, akherat ternyata tak hanya menguji amal tapi juga cinta. Cinta yang baik akan membawa para pecinta kepada kedamaian. Cinta yang buruk akan membawa pecinta kepada gejolak.
Ketujuh, cinta yang baik adalah cinta berbasis takwa. Cinta ini, dalam sebuah tafsir, mengajak pecinta ke arah ketaatan dan menjauhi maksiat. Cinta ini mengajak untuk mendekat kepada Allah subhanahu wa ta’ala, bukan menjauh dari-Nya. Cinta ini mengajak pecinta untuk berkumpul di pusat-pusat kebaikan untuk selanjutnya menyebarkan kebaikan-kebaikan ke mana pun yang dimungkinkan, bukan berkumpul di pusat-pusat keburukan untuk selanjutnya menyebarkan keburukan.
Kedelapan, ada cinta yang buruk. Cinta jenis ini mengajak manusia untuk berbuat buruk. Mungkin terlihat nikmat tapi sesaat. Setelah itu, derita mendera. Mungkin waktu deritanya berkepanjangan bahkan hingga maut menjemput, na’udzubillah.
Kesembilan, hendaklah manusia, terutama muslim, mengingat adanya cinta yang buruk dan mungkin palsu. Manis yang ditawarkan tapi pahit yang diberikan. Penuh dusta, inilah cinta yang berkebalikan dengan takwa.
Kesepuluh, cinta berbasis takwa itu tak terbatas. Karena ketakwaan tak terbatas, menjiwai seluruh kebaikan yang ikhlas dan syar’i. Pembatasan dalam cinta merupakan kebalikan dari cinta berbasis takwa semisal cinta antara lelaki dan wanita.
Cinta berbasis takwa merangkul semua kebaikan hubungan dan interaksi sosial: cinta suami- istri, cinta orangtua-anak, cinta guru-murid, cinta sesama rekan kerja, ataupun cinta para pecinta amal shaleh.
Cinta berbasis takwa tak membatasi ras dan warna kulit. Karena takwa tak melihat itu semua tapi jauh lebih substantif, pada buah-buah kebaikan. Bahwa siapapun yang berbuat baik, dialah yang terhubung dengan cinta yang takwa.
Karena cinta yang takwa tak terbatas, siapapun dapat merasakannya dan menjadi bagian darinya, insya Allah. Sehingga kemudian kenyamanan tercipta, damai begitu terasa.
Kesebelas, barangsiapa yang hatinya resah, mungkin hatinya sepi dari cinta yang takwa. Akibatnya hatinya penuh gejolak. Ada gejolak iri dengki, kesombongan, ketidakrelaan terhadap takdir, dan gejolak keburukan lainnya.
Jika sudah seperti ini, maka hidup jauh dari damai. Selayak angin yang menghentak dari berbagai arah. Rasanya tak ada lagi harapan untuk menggapai damai.
Selain gejolak, keterdidihan juga terasa di hati. Ini terjadi karena ada keinginan kuat menggapai hal-hal duniawi tapi tak mampu kedua tangan menggapai. Akhirnya hati hanya bisa memanas, hari demi hari. Mungkin sejuknya pegunungan tak akan berarti.
Kedua belas, ekspresi cinta memiliki kerangkanya yang khas. Tidak semua jalan bisa ditempuh. Hanya kebaikan yang bisa dijadikan ekspresinya. Mengucapkan salam, mengucapkan doa bahkan doa tersembunyi, dan memberi hadiah merupakan ekspresi-ekspresi cinta yang dianjurkan.
Berbuat haram tetap dilarang. Cinta tak bisa dijadikan alasan. Karena cinta yang baik, cinta yang takwa, tak pernah mengajak pemiliknya kepada keburukan. Cinta yang takwa menjaga pemiliknya agar senantiasa dalam kebaikan. Sehingga dalam cinta yang takwa, semoga hanya ada damai.
Ketiga belas, tetap perlu cinta dimaknai sebagai jalan. Ia dititi dan memiliki ujung. Ada ujung yang bahagia, ada yang sengsara. Logika perlu dijaga. Jika tidak, logika bisa buta. Saat itu, walaupun ujung cinta yang buruk sudah terlihat, jalan cinta bisa jadi terus dititi. Saat seorang pecinta sudah terjerumus pada duka, ia hanya menjerit. Tak ada lagi yang bisa dilakukan, tragis. Na’udzubillah.
Keempat belas, hendaklah setiap orang belajar cinta. Agar seluk-beluk cinta dipahami. Sehingga ketersesatan dalam cinta bisa dihindari. Bahkan cinta dapat menjadi kereta menuju bahagia. Tanpa pengetahuan yang cukup, ketertipuan atas nama cinta bisa menerpa.
Ketiga belas, belajar cinta bukanlah sesuatu yang tercela. Bahkan jika perlu, ada guru yang mengajari cinta. Karena dalam perjalanan usia, persoalan cinta bisa jadi semakin membelit. Dengan belajar cinta dari ahlinya, semoga seseorang menjadi pecinta yang ulung.
Kelima belas, Allah subhanahu wa ta’ala adalah poros hidup, poros cinta, dan sekaligus orientasi cinta yang benar. Saat seseorang meletakkan cintanya pada poros duniawi, misalnya, kemungkinan besar ia akan lelah. Misalnya seseorang menjadikan kendaraan sebagai poros cinta, mungkin tak lama ia bosan. Kendaraan berganti baru setiap saat, namun sebentar saja ia jemu. Jika tidak demikian, mungkin ia terus akan berpacu untuk memiliki kendaraan baru, tak mau kalah dengan orang lain.
Jika seseorang memoroskan cintanya pada uang, sama, mungkin ia akan lelah. Karena sekian upaya dilakukan, jumlah yang diharapkan tak tergapai. Belum lagi lelah yang dirasakan dalam menggapai uang. Belum lagi kompetisi dalam berbanyak-banyak uang. Jika pun ia menjadi juara, mungkin ia akan kehilangan sesuatu yang penting dalam hidupnya. Mungkin keluarganya menjadi jauh, atau keluarganya menjadi materialistis. Bisa juga kesehatannya merapuh. Bisa juga hubungan sosialnya merenggang.
Poros lainnya yang juga berpotensi bahaya adalah diri sendiri. Seseorang menjadikan dirinya sedemikian layak untuk dikagumi seluruh dunia. Ia tak merasa bahwa dirinya penuh kekurangan. Ia selalu ingin agar orang lain kagum dan memujanya. Dan ia bisa kelelahan dalam upaya itu. Kelelahan itu bahkan bisa terasa sangat dalam.
Bisa juga seseorang memoroskan cintanya kepada orang yang dicintanya. Kemanjaan diberikan, apapun dipersembahkan. Bahkan aturan Allah subhanahu wa ta’ala bisa dilanggar. Mungkin ada yang dilupakan bahwa manusia memiliki batas. Ada batas waktu yang membatasi kebersamaan. Ada batas akal yang bisa membuat tidak saling paham. Ada batas sabar yang bisa melahirkan bosan. Ada batas ketahanan terhadap godaan yang bisa memalingkan.
Allah subhanahu wa ta’ala, Dialah Maha Kuasa. Sehingga layaklah Dia jika menjadi poros cinta. Segala tergerak karena-Nya dan sekaligus menuju-Nya. Dia akan menghibur saat seorang pecinta letih. Dia akan mendengar saat pecinta berdoa. Dia akan menyiapkan balasan atas segala kebaikan cinta.
Memporoskan cinta kepada-Nya berarti mengharapkan balasan hanya dari-Nya. Balasan material hanyalah bagian dari kabar gembira. Lebih dari itu, ada cinta-Nya yang indah, damai, menggugah dan menggerakkan. Sebuah cinta yang sungguh didamba setiap manusia. Wallahu a’lam.
Fu’ad Fahrudin, Sekjen DPW Hidayatullah DIY-Jatengbagsel
Post a Comment