Nasihat salafush shalih sesungguhnya merupakan cerminan bagaimana mereka mentransformasikan nilai keimanan dalam kehidupan. Jarak yang pendek, perjumpaannya dengan Rasulullah SAW beserta sahabat-sahatnya, yang berlanjut pada generasi tabi'in, tabiut tabi'in dan seterusnya, setidaknya memiliki otoritas dalam memaknai hidup dan kehidupan, sebagaimana yang diteladankan oleh generasi pendahulu dalam peradaban Islam.
Sehingga, jika saat ini terjadi bias/deviasi dan kebimbangan bahkan kebingunan terhadap sebuah peristiwa dan juga permasalahan termasuk terhadap amal sholih sekalipun, maka tugas kita adalah bertanya kepada yang memiliki otoritas keilmuan (ulama), untuk merujuk kepada sumber-sumber klasik dan otentik tersebut di atas.
Konsekwensinya, di era saat ini, dengan berbagai kemudahan, berkah teknologi dan melimpahnya bahan literasi, maka bisa juga secara mandiri mencari jawaban dengan mengupulkan berbagai rujukan yang selaras dengan apa yang kita hadapi dan pertanyakan, dan pada saat yang bersamaan, melakukan verifikasi kepada yang ahli dan kompeten dibidangnya.
Dalam konteks persaudaraan, Fudhail bin ‘Iyadh rohimahullah berkata, “Saya tidak menganggap seseorang sebagai saudara ketika dia hanya berbuat baik dalam keadaan ridho saja..tetapi saya akan menganggapnya sebagai saudara ketika dia tetap berbuat baik walaupun dalam keadaan marah..” [ Hilyatul Auliya – 8/96 ].
Atsar dari Fudhail bin 'Iyadh ini, merupakan guidelines dan petunjuk bagaimana kita bersaudara, bersahabat, berteman dan berhubungan dengan siapapun. Dan hal tersebut, bisa kita jadikan pegangan dan panduan hidup.
Wallahu a'lam
Asih Subagya, Pengurus DPP Hidayatullah
Post a Comment