Sekali Lagi, Masalah Jilbab sudah Selesai
Hukum jilbab bagi jumhur ulama sudah selesai, pendapat-pendapat yang nyeleneh dari sebagian pemikir liberal, sepatutnya tidak dijadikan alasan membenarkan khilafiah soal jilbab
oleh: Dr. Adian Husaini
JIKA ada yang masih mengungkit-ungkit soal jilbab, bahwa jilbab itu tidak wajib untuk wanita muslimah, maka sampaikanlah, bahwa soal jilbab ini sudah selesai.
Yang tidak mau, silakan! Yang benar dan salah begitu gamblang. Masing-masing akan bertanggung jawab atas pemikiran dan perbuatannya kepada Allah SWT.
Majalah Media Dakwah edisi Mei 2006 menampilkan laporan tentang diskusi buku jilbab Prof. Dr. Quraish Shihab yang berjudul: “Jilbab Pakaian Wanita Muslimah: Pandangan Ulama Masa Lalu dan Cendekiawan Kontemporer.” Diskusi itu terjadi pada 28 Maret 2006 di Aula Wisma Nusantara, Kairo, Mesir yang diselenggarakan Forum Studi Al-Quran (Fordian) dan Senat Mahasiswa Fakultas Syariah Islamiyah (SEMA FSI) Universitas al-Azhar Kairo.
Prof. Quraish Shihab menulis dalam bukunya tersebut: “Ayat-ayat al-Quran yang berbicara tentang pakain wanita mengandung aneka interpretasi, sedangkan hadits-hadits yang merupakan rujukan utama dan yang dikemukakan oleh berbagai pihak, tidak meyakinkan pihak lain, baik karena dinilai lemah oleh kelompok yang menolaknya atau diberi interpretasi yang berbeda. Perbedaan pendapat para ulama masa lampau tentang batas-batas yang ditoleransi untuk terlihat dari wanita membuktikan bahwa mereka tidak sepakat tentang nilai kesahihan riwayat-riwayat yang berkaitan dengan batas-batas aurat wanita dan ini sekaligus menunjukkan bahwa ketetapan hukum tentang batas yang ditoleransi dari aurat atau badan wanita bersifat zhanniy yakni dugaan. Seandainya ada hukum yang pasti bersumber dari al-Quran dan Sunnah Rasul saw, tentu mereka tidak akan berbeda dan tidak pula akan menggunakan nalar mereka dalam menentukan luas dan sempitnya batas-batas itu.” (hlm. 165-167).
Ketika itu, pendapat Quraish Shihab itu dikaji dan dikritisi oleh tiga pembahas buku tersebut, yakni: Dr. Muchlis M.Hanafi, MA. (Doktor Tafsir dan Ilmu al-Quran, lulusan al-Azhar Kairo), A. Zain An-Najah, MA. (Mahasiswa Program Doktoral bidang Fikih, al-Azhar – kini sudah menjadi doktor pakar syariah), dan Aep Saepulloh (Mahasiswa Program Magister, Jurusan Ushul Fikih, al-Azhar). Acara dimoderatori oleh Romli Syarqowi (Mahasiswa Program Magister, Jurusan Tafsir, al-Azhar).
“Kewajiban berjilbab dengan ketentuan tertentu, didasari atas dalil dan qarinah (petunjuk) yang sangat kuat, jika tidak ingin mengatakan qhathi’ (yakin),” kata Muchlis Hanafi.
Aep Saepulloh, mahasiswa asal Ciamis yang juga penasihat Perwakilan PERSIS Mesir mengungkapkan tujuh catatan kritis untuk Quraish Shihab. Diantaranya, kesimpulan Quraish Shihab seolah-olah tidak ada kata sepakat tentang batasan aurat wanita, dikarenakan perbedaan pendapat diantara para ulama dalam hal ini.
Padahal, yang dijadikan rujukan utama oleh Quraish Shihab dalam masalah ‘perbedaan’ ini adalah pemikir sekular Mesir yang bernama Muhammad Said al-‘Asymawi. Bahkan ia satu-satunya yang dirujuk oleh Quraish Shihab dalam bukunya.
Buku Quraish Shihab bisa dikatakan didominasi oleh gagasan Asymawi yang ditulis dalam bukunya Haqiqatul Hijab wa Hujjiyatul Hadits.
Kritik Aep ini sangat penting, sebab Asymawi bukanlah pakar yang otoritatif dalam bidang syariat Islam, yang sepatutnya tidak disejajarkan oleh Quraish Shihab dengan para ulama-ulama besar yang otoritatif di bidangnya. Asymawi pun juga dikenal sebagai tokoh pluralisme agama yang mengakui kebenaran relatif tiap-tiap agama. (Lihat, Muhammad Sa’id al-Ashmawy, “Islam, Judaism, Christianity: One Religion, One Vision, Many Paths” dalam Against Islamic Extremism, (Gainesville: University Press of Florida, 1998), hlm. 56-57).
Muchlis Hanafi mengkritik pendapat Asymawi yang mengatakan bahwa memakai jilbab tidak wajib, karena ayat-ayat yang berkaitan dengan masalah kewajiban jilbab sangat terkait dengan konteks tertentu (ada asbabun nuzul-nya), dan konteks ini hendaknya harus menjadi pertimbangan utama sebuah keputusan hukum.
Aep Saepulloh, dalam catatan akhirnya, menginginkan agar Quraish Shihab tidak menerbitkan buku sebatas mendeskripsikan pendapat sebagian “ulama” yang kurang otoritatif pada bidangnya, seperti Syahrur, Asymawi, Nawal Sa’dawi atau yang lainnya yang memang tidak memiliki basik fikih yang memadai. Sedangkan Zain an-Najah sangat menyayangkan sikap Quraish yang tawaquf .
“Kehati-hatian memang sangat diperlukan namun kebimbangan yang berkepanjangan kurang tepat apalagi jika qadiyah yang sudah dibahas oleh para ulama yang diakui otoritas keilmuannya (mu’tabar),” tuturnya.
Menyimak kritik-kritik yang komprehensif para ulama muda terhadap buku Quraish Shihab tersebut, maka dapat disimpulkan, bahwa sejatinya, batas-batas aurat wanita muslimah telah disepakati oleh para ulama. Bahwa, seluruh tubuh wanita adalah aurat, kecuali muka dan telapak tangan. Perbedaan terjadi dalam rinciannya, misalnya, soal cadar.
Pendapat-pendapat yang nyeleneh dari sebagian pemikir liberal, sepatutnya tidak dijadikan alasan untuk membenarkan adanya khilafiah dalam soal jilbab ini. Jika mau cari “yang asal beda”, maka jangankan soal jilbab, saat ini pun sudah ada doktor di Perguruan Tinggi Islam yang disertasinya secara tegas menghalalkan zina.
Dan ia diluluskan. Karena ada yang berpendapat bahwa zina adalah halal, maka jangan sampai ada yang mengatakan, bahwa zina adalah soal khilafiah!
Jadi, sekali lagi, soal jilbab ini sudah selesai. Logikanya, kita tentu lebih percaya kepada ribuan ulama yang memiliki penafsiran yang sama soal batas-batas aurat bagi wanita dan penutupnya yang kini populer dengan istilah “jilbab” ini. Jika ada “tafsir baru” tentang jilbab maka bisa dikaji dan diuji kekuatan dalilnya.
Karena itu, kini kita serahkan kepada msing-masing pihak untuk berpikir serius dan ikhlas. Yang belum mau atau belum mampu menutup aurat, mohonlah ampun kepada Allah, dan jangan merasa bangga, karena punya pendapat yang nyeleneh dari pendapat para ulama yang alim dan shaleh.
Kepada yang sudah berjilbab, kita serukan: “Wahai muslimah yang sudah berjilbab, tunjukkanlah keteladanan dalam pemikiran, keimanan, ibadah, dan akhlak mulia!”
Dengan itu, insyaAllah, akan semakin banyak wanita yang bangga berjilbab. Sebab, jilbab akan menjadi simbol keilmuan, keimanan, dan akhlak mulia. Wallahu A’lam bish-shawab. (Depok, 18 Januari 2020).*
Penulis pengasuh Pondok Pesantren Attaqwa-Depok
Rep: Admin Hidcom
Sumber : www.hidayatullah.com
Post a Comment