Ummatan Wasathan: Adil dan Pilihan Terbaik


SEBAGAI Sebagai bagian dari ummatan wasathan (umat pertengahan yang adil dan pilihan terbaik), kita tidak ekstrem dalam menyikapi dan menempatkan sesuatu, baik menyepelekan ataupun berlebih-lebihan. Kita juga adalah wasit atau penengah bagi dua kubu yang bertikai.

Bukan hanya bagi umat lain, tetapi juga bagi saudara sesama Muslim. Wasit adalah orang yang harus adil, tidak memicu pertikaian dan mendamaikan yang bermusuhan.

Di kalangan umat Muslim terdapat perbedaan-perbedaan pemikiran dalam masalah kalam, fikih dan cabang-cabangnya yang mana seringkali menimbulkan pertikaian dan perpecahan. Kekeliruan dalam meletakkan permasalahan menyebabkan seseorang jadi berlebih-lebihan atau menyepelekan dalam menyikapi sesuatu sehingga mengakibatkan kezaliman: hanya karena berseberangan dalam bidang-bidang tersebut, seseorang mudah men-tahdzir, memboikot, bahkan mengafirkan saudaranya.

Di sisi lain, ada pula yang bersikap tidak kritis dan tidak berhati-hati terhadap suatu pemikiran sehingga menelannya secara bulat-bulat.

Bila menyikapi perbedaan-perbedaan tersebut dengan tepat, berarti kita telah berbuat adil, dan itulah tugas dari “ummatan wasathan“. Agar bisa adil terhadap saudara Muslimnya, maka penting sekali untuk mengetahui struktur atau tingkatan-tingkatan dalam pemikiran Islam serta cara menyikapinya.

Peneliti Institute for the Study of Islamic Thought and Civilizations (INSISTS) Dr. Ugi Suharto pernah menjelaskan tentang struktur pemikiran Islam dalam “Special Lecture” yang diselenggarakan Institut Pemikiran Islam dan Pembangunan Insan (PIMPIN) di Bandung.  Menurutnya, tingkatan pemikiran Islam yang paling tinggi adalah worldview (pandangan hidup) yang mencakup akidah yang pokok; selanjutnya, tingkatan kedua adalah akidah level kedua (tingkat kalam), selanjutnya ada fikih (‘amaliyah ibadah), dan terakhir adalah cabang dari fikih semisal politik, ekonomi, dan lainnya.

Associate Professor di University College of Bahrain (UCB) ini menyatakan bahwa pada tingkatan yang paling atas tiada perbedaan diantara umat Muslim, misalnya pandangan mengenai keesaan Allah, kerasulan Sayyidina Muhammad ï·º, kebenaran Al-Qur’an, dan sebagainya. Seluruh umat Muslim bersatu pada level pemikiran yang paling tinggi ini.

Tetapi, semakin bawah tingkatan, maka akan semakin banyak perbedaan pandangan. Tingkatan dibawah worldview perlu disikapi dengan toleransi, lapang dada, tidak kaku serta tidak bersikap keras karena sudah tabiatnya pasti berbeda.

Dosen yang pernah mengajar di International Institute of Islamic Thought and Civilization-International Islamic University Malaysia (ISTAC-IIUM) ini menegaskan bahwa kita harus berhenti saling mengafirkan dan bertengkar dalam masalah kalam karena urusan ini telah selesai ratusan tahun lalu, jangan dimunculkan kembali. Antara Asy’ariyyah maupun Atsariyyah boleh merujuk kepada kitab al-Farqu baina al-Firaq karya Imam Abdul Qahir al-Baghdadi atau kitab Lawami’ al-Anwar al-Bahiyyah karya Syaikh Abul Aun al-Safarini.

Mereka tidak memvonis kufur satu sama lain. Hal inilah yang dilakukan oleh para ulama terdahulu, mereka memahami bahwa masalah ini memang termasuk akidah, tetapi bukan yang paling pokok.

Kalam-kalam rusak dari golongan Mu’tazilah, Khawarij, Murji’ah, Syi’ah (yang tidak berkeyakinan bahwa Al-Qur’an telah di-tahrif) dan lainnya yang berbeda dalam masalah akidah level kedua ini juga tidaklah dikafirkan, melainkan digolongkan sebagai ahlul bid’ah. Sebab bid’ah sebenarnya berawal dari perkara akidah ini, bukan pada fikih.

Imam al-Bukhari pun dalam kitab shahih-nya masih mengambil riwayat dari orang-orang Mu’tazilah selama mereka tidak aktif dalam mendakwahkan kesesatannya. Menurutnya, kita juga jangan terus-menerus berselisih, berdebat, dan bersikap terlalu keras dalam urusan fikih.

Kita telah melihat dimana sejak ratusan tahun lalu bagaimana orang-orang bertikai dan berpecah belah karena masalah ini. Persoalan boleh tidaknya isbal, musik, pelafalan niat, qunut shubuh, dan lainnya adalah ikhtilaf dalam fikih, bukan merupakan persoalan tingkat tertinggi. Fikih ini menempati urutan ketiga dalam struktur pemikiran Islam.

Begitu pun pada cabangnya, contohnya dalam masalah politik. Perbedaan pandangan dan analisis politik jangan terlalu dimasukkan ke dalam hati sehingga kita dibuatnya kecewa.

***

Dr Ugi memberikan nasehat agar kita belajar dari sejarah antara Sayyidina Ali karramallahu wajhah yang sampai berperang dengan Muawiyah radhiyallahu ‘anhu hanya karena berbeda pandangan politik, kita juga telah melihat pertumpahan darah dalam pergantian kekuasaan dari dinasti Umayyah kepada dinasti Abbasiyyah.

“Kalau saja memandang Muslim lain dengan worldview, niscaya kita akan memandang dengan pandangan rahmah (kasih sayang),” kata penulis buku “Pemikiran Islam Liberal: Pembahasan Isu-isu Sentral” dan “Keuangan Publik Islam: Reinterpretasi Zakat dan Pajak” ini.

Apabila mampu seperti itu, maka kita tidak akan memicu pertikaian dan permusuhan di level-level yang sepele dan memang sudah tabiatnya banyak perbedaan asumsi di kalangan ulama. Kita akan adil dan beradab yang berarti menempatkan masalah sesuai dengan tingkatannya, tidak menyepelekan juga tidak membesar-besarkan.

Semua perbedaan disikapi secara seimbang dan tepat: bilamana menjumpai perbedaan-perbedaan pada level bawah maka tidak mengangkatnya keatas, melainkan kembali kepada worldview yang menyatukan umat; persoalan-persoalan kalam maupun fikih tidak dibesar-besarkan dan menjadikannya seolah-olah perkara akidah yang pokok (worldview) sehingga yang berbeda divonis sesat atau kafir; perkara yang wajib diperlakukan sebagai wajib, dan yang sunnah diperlakukan sebagai sunnah, sesuai kedudukannya masing-masing.

Sebaliknya, sikap kita terhadap paham-paham atau isu-isu yang datangnya berasal dari Barat seperti free thinkinghuman rights, LGBT, sosialisme, gender equality, neo-liberalisme, dan sebagainya mestilah diangkat dan dilihat dari sudut fikih hingga worldview-nya. Hal ini karena produk ilmu dan pemikiran yang berasal dari mereka itu bukan berasal dari worldview Islam, melainkan dari worldview Barat yang humanis, sekular, liberal yang longgar terhadap agama dan memaknai moderat sebagai dekonstruksi agama.

Pandangan tersebut jelas bertentangan dengan worldview Islam dan mesti ditanggapi dengan kritis. Ummatan wasathan tidaklah ekstrem seperti Barat, tetapi juga tidak ekstrem pada sisi lainnya, yakni ghuluw atau berlebihan dan terlampau keras dalam beragama dan membesar-besarkan permasalahan-permasalahan yang sepele.

Ummatan wasathan senantiasa menyikapi serta meletakkan segala sesuatu pada tempat, derajat dan martabatnya yang sesuai sehingga terciptalah keadilan. Oleh karena itulah Allah Swt. menyebutnya sebagai khairu ummah (3: 110) alias umat pilihan yang terbaik, kata Imam Fakhruddin ar-Razi, ibarat bagian tengah dari sebuah kalung yang berupa hiasan dari batu mulia.*/ Muhamad Ridwan,  Alumni PAAP Unpad, Alumni Ma’had Al-Imarat Bandung,

Rep: Admin Hidcom
Sumber : www.hidayatullah.com

Powered by Blogger.
close