Agama

Agama berasal dari Bahasa Sansekerta yang diserap ke Indonesia, namun tidak berarti konsep agama sama dengan konsep Diin dalam Islam


Oleh : Haryono Madari

KATA agama berasal dari bahasa Sansekerta yang diserap ke dalam bahasa Indonesia yang dimaknai sebagai sebuah syariat hidup yang mengikat seseorang dan dilindungi oleh konstitusi negara.

Diksi agama dalam bahasa Sansekerta terdiri dari dua kata: A dan Gama. A berarti tidak dan Gama berarti kacau. Jadi agama berarti tidak kacau atau tertatur. Dengan demikian agama adalah aturan yang mengatur manusia agar kehidupanya menjadi teratur dan tidak kacau.

Dalam KBBI, diksi agama/aga·ma/ n dimaknai sebagai: ajaran, sistem yang mengatur tata keimanan (kepercayaan) dan peribadatan kepada Tuhan Yang Mahakuasa serta tata kaidah yang berhubungan dengan pergaulan manusia dan manusia serta lingkungannya: — Islam; — Kristen; — Buddha; — samawi agama yang bersumberkan wahyu Tuhan, seperti agama Islam dan Kristen.

Kata agama bisa juga berarti tradisi. Sedangkan kata lain untuk menyatakan konsep ini adalah religi yang berasal dari bahasa Latin, dan berasal dari kata kerja re-ligare yang berarti mengikat kembali. Maksudnya dengan memiliki religi, seseorang mengikat dirinya kepada Tuhan.

Dalam penggunaan bahasa Indonesia kata agama dimaknai sebagai  syariat hidup yang mengikat seseorang dan dilindungi oleh konstitusi negara. Dan umat Islam di Indonesia memakai kata agama untuk menggantikan kata Diin. Tetapi apakah dua kata itu sepadan saling menggantikan ataukah dipaksa untuk sepadan.

Untuk menjawabnya kita harus memahami arti dan makna sebenarnya dari kata agama.

A + Gama

Muhammad Ridwan Effendi (2021:16) dalam bukunya Teologi Islam Potret Sejarah dan Perkembangan Pemikiran Mazhab mengatakan bahwa dalam bahasa Sansekerta, agama memiliki akar kata yakni yang berarti tidak dan Gam yang berarti pergi atau berjalan. Jadi kata agama bermakna suatu keadaan yang tidak pergi atau tidak berjalan, tetap, lestari, kekal dan abadi.

Ada juga yang mengatakan bahwa A berarti tidak Gama berarti kacau. Jadi agama adalah sesuatu yang tidak kacau atau tidak chaos.

Sementara ada pendapat bahwa kata agama secara etimologis dalam bahasa Sansekerta berasal dari kata Gam (pergi). Kemudian diberi awalan dan akhiran A (tidak) sehingga maknanya berubah menjadi ‘jalan’. Dalam bahasa Sansekerta kata Gam ini juga diartikan sebagai tenteram.

Penting untuk kita pahami bahwa Sanksekerta adalah Lingua Frankca yang dipakai oleh orang-orang kuno di wilayah di sebelah timur dari benua ‘Arab, atau lebih tepatnya di Asia Selatan. Bahasa ini sebetulnya merupakan cabang Indo-Arya dari rumpun bahasa Indo-Eropa.

Pada jaman tersebut mayoritas orang orangnya adalah para penyembah berhala atau para dewa. Konsep ‘agama’ yang kita ummat Islam pahami, masih ‘belum muncul’, asing dan sama sekali tidak dapat mereka pahami. Karena agama pada saat itu adalah sebuah kepercayaan kepada para dewa atau para dewa yang sama sekali tidak ada syariat atau aturan yang mengikat mereka. Kalaupun ada, syariat itu dibuat oleh pemuka agama atau dukun yang berkuasa saat itu.

Konsep ‘penguasa tunggal’ betul-betul tidak masuk dalam akal pikiran mereka. Karena bagi orang-orang pada jaman tersebut dunia ini tidak mungkin dikuasai oleh ‘satu orang’ saja. Itulah sebabnya mereka menyembah banyak berhala atau banyak dewa.

Dan ketika mereka menyembah berhala atau dewa-dewa itu mereka mengartikannya sebagai sebuah kondisi stagnan atau tidak bergerak atau berpindah. Bisa jadi itu karena ketika menyembah berhala atau dewa posisi mereka duduk menyembah tanpa gerakan untuk waktu yang lama.  Bagaikan patung.

Indonesia yang juga termasuk wilayah yang menggunakan bahasa Sanksekerta, pada saat itu adalah juga penyembah berhala atau dewa. Sehingga terminologi agama mengacu pada kebiasaan orang-orang Indonesia kuno yang duduk menyembah diam tak bergerak dalam waktu lama, kepada berhala atau dewa.

Bila kita mengacu pada situasi dan kondisi masyarakat saat itu maka secara tegas kita harus menyatakan bahwa terminologi agama adalah: sebuah kepercayaan kepada berhala atau dewa. Karena pada saat itu konsep ‘diin’ atau ‘agama’ belum dikenal sama sekali. Itu artinya terminologi agama adalah sama dengan terminologi kepercayaan, keyakinan.

Jika kemudian konsep agama mengalami perkembangan itu tidak berarti konsep agama menjadi sama dengan konsep Diin dalam Islam.   Makna agama sebagai ‘sesuatu yang tidak kacau’ atau ‘sesuatu yang tidak pergi’ inilah yang menempatkan terminologi agama sebagai seperangkat peraturan atau ajaran yang dapat mengikat setiap pemeluknya.

Agama kemudian menjadi sistem yang mengatur kepercayaan serta peribadatan kepada Tuhan (atau sejenisnya) serta tata kaidah yang berhubungan dengan budaya dan pandangan dunia yang menghubungkan manusia dengan tatanan kehidupan.

Sementara agama susah untuk didefinisikan, sebuah model standar dari agama, digunakan dalam perkuliahan religious studies, diajukan oleh Clifford Geertz, yang dengan sederhana menyebutnya sebagai sebuah “sistem kultural” (Clifford Geertz, Religion as a Cultural System, 1973). Sebuah kritikan untuk model Geertz oleh Talal Asad mengategorikan agama sebagai “sebuah kategori antropologikal.” (Talal Asad, The Construction of Religion as an Anthropological Category, 1982.)

Namun, menurut ahli sosiologi Émile Durkheim, agama berbeda dari keyakinan pribadi karena merupakan “sesuatu yang nyata sosial”. Émile Durkheim juga mengatakan bahwa agama adalah suatu sistem yang terpadu yang terdiri atas kepercayaan dan praktik yang berhubungan dengan hal yang suci.

Menurut filolog Max Müller, akar kata bahasa Inggris “religion”, yang dalam bahasa Latin religio, awalnya digunakan untuk yang berarti hanya “takut akan Tuhan atau dewa-dewa, merenungkan hati-hati tentang hal-hal ilahi, kesalehan” [kemudian selanjutnya Cicero menurunkan menjadi berarti ‘ketekunan’]. Max Müller menandai banyak budaya lain di seluruh dunia, termasuk Mesir, Persia, dan India, sebagai bagian yang memiliki struktur kekuasaan yang sama pada saat ini dalam sejarah. Apa yang disebut agama kuno hari ini, mereka akan hanya disebut sebagai “hukum”.

Banyak bahasa memiliki kata-kata yang dapat diterjemahkan sebagai “agama”, tetapi mereka mungkin menggunakannya dalam cara yang sangat berbeda, dan beberapa tidak memiliki kata untuk mengungkapkan agama sama sekali. Sebagai contoh, dharma kata Sanskerta, kadang-kadang diterjemahkan sebagai “agama”, juga berarti hukum.

Di seluruh Asia Selatan klasik, studi hukum terdiri dari konsep-konsep seperti penebusan dosa melalui kesalehan dan upacara serta tradisi praktis. Jepang pada awalnya memiliki serikat serupa antara “hukum kekaisaran” dan universal atau “hukum Buddha”, tetapi ini kemudian menjadi sumber independen dari kekuasaan.

Sejatinya tidak ada kata yang setara dan tepat dari terminologi diin dalam ajaran Islam ke dalam bahasa apapun. Pun juga bila disetarakan dengan terminologi agama.

Meskipun saat ini hukum di Indonesia memasukkan Islam sebagai salah satu dari enam agama yang diakui resmi oleh negara. [Islam, Katolik, Protestan, Hindu, Budhisme, dan Khonghuchu]. Sedangkan semua sistem keyakinan yang tidak atau belum diakui secara resmi disebut ‘religi’.*/Haryono MadariKebudayaan, Mentalitet dan Pembangunan”, Koentjaraningrat, Gramedia

Rep: Admin Hidcom
Sumber : www.hidayatullah.com

Powered by Blogger.
close