Anda Bicara Tentang Apa?


Oleh : Asih Subagyo

Teko hanya mengeluarkan isi Teko. Demikian bunyi salah satu pepatah. Teko atau cerek, adalah tempat yang biasanya diisi air. Bisa dalam bentuk kopi, the, air putih, sirup dan lain sebagainya. Sehingga, ketika teko diisi kopi, tidak mungkin pada saat yang sama kita mengharapkan keluar dari teko itu air putih. Karena teko hanya mengeluarkan apa isinya. Kecuali kopinya sudah dikeluarkan, teko dicuci, kemudian isinya diganti dengan air putih. Ternyata, butuh waktu dan proses.

Demikian juga dengan aktifitas kita. Apa yang kita bicarakan, kita tulis, kita lakukan apapun itu bentuknya, sesungguhnya menunjukkan seperti apa isi kepala kita. Dan isi kepala kita itu, juga berasal apa saja yang mengisi kepala kita. Bisa jadi dari bacaan, apa yang kita dengar dan dilihat, serta pengalaman hidup. Maka ada pepatah Inggris, You’re what you read. Kamu sesungguhnya sebagaimana apa yang kamu baca.

Tetapi memang manusia berbeda dengan analogi teko di atas. Allah SWT menganugerahkan kepada manusia untuk menggunakan hati beserta akal pikirannya. Sebab manusia diciptakan sebaik-baik penciptaan, sebagaimana dalam Surat At-Tin ayat 4.  Dalam Zubdtut Tafsir min Fathil Qodir, Syaikh Dr. Muhammad Sulaiman Al Asyqar, mudarris tafsir Universitas Islam Madinah menafsirkannya dengan penjelasan yang indah. Allah menciptakannya dengan tubuh yang tegak, sehingga dapat memakan makanannnya dengan tangan; dan Allah menciptakannya dengan kemampuan memahami, berbicara, mengatur, dan berbuat bijak, sehingga memungkinkannya menjadi khalifah di muka bumi sebagaimana yang Allah kehendak.i

Dengan demikian maka, yang keluar dengan berbagai bentuk itu tidak mentah-mentah apa yang hanya masuk dikepala. Akan tetapi sudah melalui proses mandiri berupa analisa, tesa, sintesa, antitesa dan sejenisnya hasil dari olah pikir, olah kata dan olah rasa. Meskipun tetap saja bisa dirasakan, dilihat, dibaca dan didengar itu, dipengaruhi sifat dasar manusia, sebagamana teko di atas. Sebab semua tergantung sejuhmana manusianya sendiri itu mampu mengptimalkan qolbu dan kepala (akalnya). Karena untuk mengelola itu sendiri butuh kecakapan yang tidak dipelajari disekolah formal, akan tetapi setelah sekian lama melaui kuliah kehidupan.

Sehingga kita tidak jarang menjumpai secara akademik seseorang memiliki derajat keilmuan dan keulamaan, tetapi yang keluar ternyata tidak merepresentasikan dengan gelar akademis serta derajat keulamaannya. Demikian juga kita bisa dapati banyak orang yang tidak memiliki gelar akademis dan derajat keilmuan tertentu, akan tetapi kita menemukan mutiara-mutiara hikmak yang dahisailkan. Demikian juga banyak orang yang tidak mempunyai kapasitas dan kapabitilitas keilmuan, dan selalu menyesatkan. Oleh karenanya tetapi secara umum, sebenarnya seseorang yang memiiki derajat akademis dan keulama’an yang tinggi, akan selalu memberikan pencerahan dan perbaikan setiap apa yang dibicarakan, ditulis maupun diperbuat.

Ada parameter sederhana yang bisa mengukur seseorang, dengan derajat keilmuan apapun juga, sesungguhnya dia termasuk golongan mana. Dan ini dapat dilihat dari apa yang keluar dari kesehariannya. Setidaknya dalam 3 katagori, yaitu : pertama orang besar berbicara tentang ide. Artinya orang yang mampu mengelola hati dan akalnya, kan menghasilkan gagasan, narasi dan ide-ide besar. Sehingga tidak cukup waktunya untuk terus berfikir dan menghasilkan karya-karya besar. Bukan berarti apatis dan apriori dengan keadaan yang ada, tetapi selalu menciptakan optimisme untuk kebaikan masa depan. Type orang seperti ini adalah risk taker, berani mengambil resiko, akan tetapi tetap dalam kerangka calculate risk taker, mampu mengukur serta memitigasi resiko setiap ide, gagasan dan implementasinya.

Kedua orang biasa berbicara tentang kejadian. Artinya ini tipologi responsif. Dia hanya mampu untuk berbicara dan merespon setiap kejadian. Sangat pandai mengomentari setiap kejadian. Biasanya lebih benyak berkutat pada membicarakan masalah yang terjadi. Bukan mencari akar permasalahan, apalagi untuk mencari solusi. Orang seperti ini biasanya termasuk golongan safety player, hanya ingin mencari keuntungan dan keselamtan diri.

Ketiga, orang kecil berbicara tentang orang lain. Selain responsif, maka juga hobinya mencari kambing hitam. Dalam hidupnya sibuk membicarakan orang lain. Tidak pernah melakukan intrspeksi terhadap diri sendiri. Secara detail berusaha mengorek-orek aib, kekurangan dan kesalahan orang lain. Baik dilkukn secara sendiri atau dengan kelompoknya. Bagi orang  seperti ini, seringkali berlaku dalil, senang melihat orang susah dan susah melihat orang senang.

Pertanya kemudian adalah, apakah yang selama ini keluar dari “teko” kita?, dan dengan jujur meski kita jawab pula, ada dikelompok orang seperti apa kita ini?

Wallahu a’lam

Asih Subagyo, Pengurus DPP Hidayatullah

Powered by Blogger.
close