Anggota DPR Ini Meminta Kasus Musibah Santri di Ponpes Gontor Tidak Dipolitisasi
Anggota Komisi VIII DPR RI Bukhori Yusuf menyampaikan belasungkawa terhadap wafatnya salah satu santri Ponpes Modern Gontor Ponorogo (PMDG) yang diduga wafat akibat penganiayaan oleh pengurus organisasi di pesantren tersebut. Ia berharap kasus yang menimpa PMDG tidak dipolitisasi dan bisa menjadikan institusi pesantren mampu menunjukan sikap terbaik paling bijak untuk menghadirkan maslahat
Bukhori juga menyampaikan dukungannya kepada Ponpes Modern Gontor Ponorogo atas sikap tegasnya dan kesediaannya bersikap kooperatif demi penegakan hokum. Hal ini menjadikannya sebagai sarana untuk melakukan evaluasi terhadap efektivitas pengelolaan santri.
“Sikap bijak pimpinan PMDG yang meminta maaf dan mengunjungi keluarga korban, disertai dengan sikap kooperatif PMDG yang bersedia bekerjasama dengan aparat penegak hukum dalam mengusut kasus kekerasan ini patut diapresiasi,” ujarnya. “Atas itikad baik tersebut, maka kami juga meminta agar kasus tersebut tidak didramatisir, apalagi dipolitisasi supaya nila setitik ini tidak merusak susu sebelanga PMDG yang sudah berumur hampir satu abad,” katanya.
Anggota Komisi Agama DPR ini menambahkan, sekalipun kasus meninggalnya pelajar, mahasiswa, maupun santri bukan hanya terjadi di PMDG, pihaknya meminta semua pihak tetap berlaku adil, bersikap secara proporsional. Ia mengharap semua pihak menghormati proses hukum yang sedang berjalan serta tidak memunculkan opini liar sehingga memperkeruh suasana dan menjadi fitnah yang berakibat pada tidak terselesaikannya masalah.
Saat disinggung insiden kekerasan yang terjadi di lingkungan pondok, Bukhori menilai PMDG memiliki sejarah yang sukses dalam penegakan disiplin santri. Aturan di Pondok Modern Gontor sangat mengharamkan kekerasan fisik sehingga siapapun yang melakukannya akan dikenai sanksi hingga pengusiran dari pondok, katanya.
“Jika ada satu-dua kasus kekerasan yang terjadi di lingkungan pondok pesantren maupun lembaga pendidikan lainnya, dorongan untuk melakukan koreksi dan introspeksi patut disampaikan agar lembaga tersebut bisa segera berbenah untuk meningkatkan kelas dan kualitas. Namun demikian, membesar-besarkan kasus tersebut untuk tujuan politisasi atau mendiskreditkan ponpes, tentu tidak bisa dibenarkan. Selain karena tidak adil, juga tidak proporsional dan tidak akan membantu mengatasi masalah,” tegasnya.
Bukhori khawatir penggalangan opini yang tendensius dan sikap tidak proporsional akan menuntun pada laku zalim dan stigmatisasi terhadap ponpes sebagai lembaga pendidikan keagamaan Islam. Bahkan hal ini bias membuka ruang masuknya narasi islamophobia.
“Laku tidak proporsional dan tendensius bisa menjadi politisasi terhadap kasus ini. Selain tidak membantu menyelesaikan masalah, hal tersebut juga dapat menciptakan stigma dan fitnah terhadap ponpes sebagai lembaga pendidikan keagamaan Islam,” ucapnya.
Alumni Pondok Pesantren Tsamaratul Hidayah Jepara ini menegaskan, perilaku kekerasan bukanlah nilai atau budaya yang ditolerir dan ditumbuhkan di pondok pesantren, termasuk di PMDG. Sebaliknya, proses belajar dan berkegiatan di pondok pesantren dilakukan sesuai dengan nilai-nilai Islam yang ada dalam kitab-kitab yang diajarkan di ponpes, juga kasih sayang dari keteladanan para Kiai serta pengasuh ponpes.
“Budaya dasar di ponpes adalah ukhuwah (persaudaraan) dan bukan kekerasan. Buktinya, budaya tersebut berhasil mendidik para santri sehingga terhindar dari kekerasan dan kenakalan di kalangan remaja semisal tawuran, pengeroyokan, maupun perundungan. Pun, jika sampai terjadi kekerasan, jelas itu pelanggaran terhadap disiplin dan tradisi ponpes. Sementara, kekerasan yang terjadi di PMDG hampir bisa dipastikan itu adalah kecelakaan dan musibah yang tidak diinginkan apalagi ditolerir oleh Pesantren Gontor, sekalipun tetap harus dikritisi dan dikoreksi agar tak terulang dan demi kebaikan ponpes, para santri dan kiai,” tuturnya.
Ketua DPP PKS ini menyatakan, terlepas dari insiden “kecelakaan” yang menimpa Ponpes Gontor belakangan ini, Bukhori menilai Ponpes Gontor telah memiliki kiprah yang panjang seiring dengan perjalanan bangsa yang perlu diketahui publik.
“Secara historis, PMDG turut berpartisipasi dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia. Rekam jejak ini pula yang membuat Gontor memiliki reputasi yang baik dalam mengelola puluhan ribu santri dan jejaring alumninya yang tersebar di seluruh Indonesia. Di level kepemimpinan tingkat nasional, banyak para alumni Gontor yang dipercaya untuk duduk di sejumlah posisi strategis diantaranya sebagai Ketua PBNU, PP Muhammadiyah, Ketua MUI, Ketua MPR, Menteri Agama, Duta Besar, serta rektor. Tidak hanya itu, Gontor juga melebarkan sayap kontribusinya melalui pendirian ponpes-ponpes baru yang diinisiasi oleh para alumninya yang terafiliasi dengan institusi Gontor,” jelasnya.
Untuk itu, Bukhori meminta publik tidak abai dengan jasa ponpes yang nyata dan terasa manfaatnya bagi masyarakat selama ini hanya karena satu dua kasus yang membelit institusi tersebut.
Lebih lanjut, Anggota DPR asal Jepara ini menegaskan, DPR tidak berpangku tangan terhadap sejumlah insiden yang terjadi di lingkungan pendidikan keagamaan. Salah satunya adalah dengan membentuk Panitia Kerja (Panja) pengawasan pendidikan keagamaan di Komisi VIII DPR, dimana dirinya sendiri merupakan salah satu pihak pengusulnya.
Panja ini dibentuk bukan untuk menghukum, apalagi mencurigai ponpes dan lembaga pendidikan Islam lainnya. Namun untuk mendorong peningkatan kualitas pendidikan keagamaan dan hadirnya keadilan anggaran bagi ponpes serta lembaga pendidikan keagamaan Islam lainnya.
Peran DPR melalui Panja ini adalah menjembatani aspirasi dari penyelenggara pendidikan keagamaan sekaligus mengadvokasi mereka agar memperoleh keadilan anggaran dari pemerintah. “DPR juga berperan dalam membina para penyelenggara pendidikan keagamaan melalui fungsi advokasi, pengawasan, serta koreksi guna membantu menciptakan ekosistem pendidikan yang aman dan nyaman bagi peserta didik,” terangnya.
Merespons wacana pencabutan izin PMDG, Bukhori mengatakan pihaknya tidak setuju dengan munculnya ancaman pencabutan izin ponpes PMDG Kementerian Agama. Dia meyakini pondok pesantren sekelas PMDG yang lebih tua usianya dari Republik Indonesia, tidak mentoleransi dan mengajarkan kekerasan.
“Apalagi Gontor telah memiliki regulasi atau aturan yang ketat terkait larangan tindak kekerasan. Namun, apabila dengan berjalannya waktu regulasi atau aturan tersebut menjadi kurang efektif atau kurang relevan, bisa dibantu dengan mengevaluasi dan memberikan masukan yang lebih baik dan solutif. Kewajiban itu yang seharusnya dilakukan lebih dahulu oleh Kemenag, bukan malah dengan mewacanakan ancaman pencabutan izin. Sebab Gontor sudah sangat banyak jasanya bagi umat, bangsa dan negara,” tegasnya.*
Rep: Ahmad, Editor: Insan Kamil
Sumber www.hidayatullah.com
Post a Comment