Antara Cinta Allah dan Cinta Ibu
Diwajibkan manusia (berbuat) baikan kepada dua orang tua, ibu-bapaknya. Dan dilarang manusia mempersekutukan AllahSUATU hari Nabi Muhammad ﷺ dan para sahabat bertemu di Masjid Nabawi, Madinah. Pertemuan itu sendiri beliau maksudkan untuk membahas pelbagai hal.
Di antara yang hadir kala itu adalah Anas bin Maiik, seorang sahabat beliau dengan nama lengkap Abu Hamzah Anas bin Malik bin Al-Nadhar bin Damdan bin Zaid bin Haram bin Jundab bin Amir bin Ghanam bin Adiy bin Al-Najjar Al-Khazraj Al-Madani. Dia lahir di Madinah sepuluh tahun sebelum hijrah atau sekitar 612 M selepas Rasulullah ﷺ berhijrah ke Kota Suci itu.
Anas yang masih remaja diserahkan ibundanya kepada beliau untuk menjadi maula. Selain ikut serta dalam Perang Badar dan beberapa peperangan lainnya ia tetap melayani Rasulullah ﷺ sampai beliau wafat.
Ketika ‘Ali bin Abu Thalib naik ke pentas kekuasaan sebagai khalifah pada Jumat, 25 Dzulhijah 35 H/24 Juni 656 M dia termasuk pendukung menantu Rasulullah ﷺ ini, dalam menghadapi Mu’awiyah bin Abu Sufyan. Selanjutnya pada 65 H/684 M, Anas bin Malik diangkat menjadi imam shalat di Bashrah, bertindak atas nama ‘Abdullah bin Al-Zubair yang kala itu juga menjadi rival penguasa dari Dinasti Umawiyyah.
Tak aneh bila dia kemudian, karena sikapnya yang antidinasti itu, ditahan Al-Hajjaj bin Yusuf Al-Tsaqafi Gubernur Iraq kala itu. Tapi, Abdul Malik bin Marwan, penguasa ke-5 Dinasti Umawiyyah di Damaskus Suriah kemudian membebaskannya dengan penuh penghormatan kepad tokoh yang meriwayatkan banyak hadis ini, terutama banyak didapatkan dalam karya Imam Ahmad bin Hanbal, Al-Musnad.
Kesempatan pertemuan di Masjid Nabawi itu dijadikan Rasulullah ﷺ untuk memperkuat keikhlasan kaum Muslim, yang kala itu semakin banyak jumlahnya, Islam dan memperkukuh keterikatan mereka dengan prinsip-prinsip dan ajaran-ajaran Islam. Dan yang lebih penting, Baginda terus menanamkan kecintaan mereka kepada beliau-selain kepada Allah Swt.
Beliau sangat menyadari, kecintaan tersebut sangat penting. Sebab, dengan kecintaan kepada Allah semata, mereka akan belajar dari beliau, meneladani beliau, dan mematuhi perintah beliau.
Selain itu, mereka akan seiring langkah dan seia-sekata dalam menghadapi lawan yang kala itu sangat bernafsu untuk melibas masyarakat Muslim yang mulai berkembang pesat. Di samping tu, Rasulullah ﷺ memahami, manusia biasanya mencintai orang yang berbuat baik kepadanya.
Karena itu cintanya kepada Allah mesti lebih besar daripada cintanya kepada dirinya sendiri, kepada kedua orang tuanya, kepada pasangannya, anak-anaknya, sukunya keluarganya, tanah airnya, atau segala sesuatu yang ada dalam kehidupan ini.
Dari Anas bin Malik Radhiyallahu anhu , dari Nabi ﷺ bersabda,
ثَلَاثٌ مَنْ كُنَّ فِيْهِ وَجَدَ بِهِنَّ حَلَاوَةَ الْإِيْمَانِ، مَنْ كَانَ اللهُ وَرَسُوْلُهُ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِمَّا سِوَاهُمَا وَأَنْ يُـحِبَّ الْمَرْءَ لَا يُحِبُّهُ إِلَّا لِلهِ، وَأَنْ يَكْرَهَ أَنْ يَعُوْدَ فِـي الْكُفْرِ بَعْدَ أَنْ أَنْقَذَهُ اللهُ مِنْهُ، كَمَا يَكْرَهُ أَنْ يُقْذَفَ فِـي النَّارِ.
“Ada tiga perkara yang apabila perkara tersebut ada pada seseorang, maka ia akan mendapatkan manisnya iman, yaitu (1) barangsiapa yang Allâh dan Rasûl-Nya lebih ia cintai dari selain keduanya, (2) apabila ia mencintai seseorang, ia hanya mencintainya karena Allâh. (3) Ia benci untuk kembali kepada kekufuran setelah Allâh menyelamatkannya sebagaimana ia benci untuk dilemparkan ke dalam Neraka.” (HR: Bukhari & Muslim)
Cinta pada Allah dan cinta pada ibu
Adalah sahabat dari Suku Khazraj, kelompok Anshar. Nama lengkapnya, Abu Tsabit Sa;d bin ‘Ubadah bin Dulaim bin Haritsah bin Abu Khaziman bin Tsa’labah bin Tharif Al-Khazraji, putra seorang dermawan putra seorang dermawan pada masa jahiliah ini termasuk kelompok Anshar yang mengikuti Sumpah Setia (Bai’ah Aqabah kedua).
Karena terkenal pemberani, sahabat yang merupakan perenang dan pemanah piawai ini mendapat kepercayaan dari Rasulullah ﷺ untuk memegang panji-panji pasukan kaum Muslim dalam Penaklukan Makkah pada 8 H/630 M.
Selepas Rasulullah ﷺ wafat, sahabat yang banyak mendermakan harta kekayaannya bagi kepentingan kaum Muhajirin yang terlebih dahulu tiba di Madinah ini termasuk orang yang terlambat menyatakan sumpah setia kepada Abu Bakar Al-Shiddiq. Dia, dalam pertemuan di Tsaqifah Bani Sa’idah, adalah calon khalifah dari kelompok Anshar.
Setelah menyatakan sumpah sumpah setia kepada Abu Bakar, dia kemudian pindah dari Madinah dan menetap di Syam sampai berpulang ke hadirat Allah Swt di Hawran pada 15 H/636 M pada masa pemerintahan ‘Umar bin Al- Khaththab.
Kebingungan yang menyedot seluruh pikiran dan perhatiaan sahabat yang dari suku Bani Sa’idah saat itu tidak lain adalah persoalan hubungan antara dirinya dan ibundanya. Sang ibunda, begitu tahu putranya memeluk Islam, bersumpah tidak akan berbicara selamanya kepada sang putra, di samping tidak akan makan dan minum.
Ucapan sang ibunda kepada Sa’d sebelum itu, “Wahai putraku! Bukankah engkau pernah mengatakan kepadaku bahwa Tuhanmu telah berpesan kepadamu agar engkau berbuat baik kepada kedua orang tuamu. Lagi pula, aku ini adalah ibumu. Karena itu, tinggalkanlah Islam!”
Mendengar permintaan sang ibunda yang demikian, keimanan sahabat yang ketika sebelum memeluk Islam setiap tahun mempersembahkan sepuluh unta kepada Manat (nama salah satu Tuhan pada masa jahiliyah) itu tetap tak tergoyahkan.
Kecintaannya kepada Allah Swt dan Rasul-Nya jauh lebih dalam daripada kecintaannya kepada ibundanya. Merasa usahanya secara halus untuk memengaruhi putranya gagal, sang ibunda kemudian mogok makan dan minum.
Ketika memasuki hari ketiga aksi mogok makanya, sang ibunda pun pingsan. Setelah siuman dari pingsan, putranya yang bernama Umarah, memanggil Sa’d.
Sahabat yang satu itu pun segera menemui sang ibunda. Namun ketika sang ibunda memintanya kembali untuk keluar dari Islam, Sa’d bin Ubadah pun tetap mengemukakan sikapnya yang tetap berpegang teguh dengan keimanannya dan kecintaannya kepada Allah Swt dan Rasul-Nya.
Maka tak lama kemudian, Allah mewahyukan ayat-ayat Al-Quran berikut,
وَوَصَّيْنَا ٱلْإِنسَٰنَ بِوَٰلِدَيْهِ حُسْنًا ۖ وَإِن جَٰهَدَاكَ لِتُشْرِكَ بِى مَا لَيْسَ لَكَ بِهِۦ عِلْمٌ فَلَا تُطِعْهُمَآ ۚ إِلَىَّ مَرْجِعُكُمْ فَأُنَبِّئُكُم بِمَا كُنتُمْ تَعْمَلُونَ
Artinya: “Dan Kami wajibkan manusia (berbuat) kebaikan kepada dua orang ibu-bapaknya. Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan Aku dengan sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya. Hanya kepada-Ku-lah kembalimu, lalu Aku kabarkan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan.” (QS: Al-Ankabut : 8)
وَاِنۡ جَاهَدٰكَ عَلٰٓى اَنۡ تُشۡرِكَ بِىۡ مَا لَيۡسَ لَكَ بِهٖ عِلۡمٌ ۙ فَلَا تُطِعۡهُمَا وَصَاحِبۡهُمَا فِى الدُّنۡيَا مَعۡرُوۡفًاۖ وَّاتَّبِعۡ سَبِيۡلَ مَنۡ اَنَابَ اِلَىَّ ۚ ثُمَّ اِلَىَّ مَرۡجِعُكُمۡ فَاُنَبِّئُكُمۡ بِمَا كُنۡتُمۡ تَعۡمَلُوۡنَ
“Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan Aku dengan sesuatu yang engkau tidak mempunyai ilmu tentang itu, maka janganlah engkau menaati keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik, dan ikutilah jalan orang yang kembali kepada-Ku. Kemudian hanya kepada-Ku tempat kembalimu, maka akan Aku beritahukan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan.” (QS: Luqman : 15).*
Rep: dan sumber admin hidayatullah.com
Post a Comment