Gadis Kecil di Atas Kereta
Naik kereta Jogja – Bandung kali ini tak sama seperti masa-masa dulu. Bukan kali ini saja sebenarnya. Suasana hening, tidak berisik dengan orang berbincang atau bercanda dengan sesama mereka, meskipun sesekali diselai dengan suara serak-serak parau yang parah, seperti sedang menirukan lagu yang didengarkan melalui gigi biru. Keras menghentak membuat saya tersentak. Seorang ibu setengah baya, sepertinya lebih tua dibandingkan saya (padahal saya pun sudah beranjak tua) sepertinya tak sadar ia membuat kejutan bagi orang-orang sekitarnya….
Tetapi suara mengejutkan itu memang tidak mengganggu sama sekali bagi mereka yang juga sedang sibuk mendengarkan piranti gigi biru di kedua telinganya, meskipun gigi biru itu berwarna hitam atau putih.
Berhenti di sebuah stasiun, seorang ibu naik beserta beberapa orang anak bersamanya. Beda-beda usia. Anak gadisnya yang masih kecil, kira-kira kelas 1 atau 2 SD duduk di sebelah saya. Sebentar canggung, kemudian segera tenggelam dengan benda kecil di genggamannya. Asyik bermain game.
Saya sejenak memperhatikan gadis kecil ini. Beberapa kali saya sengaja melihat ke arah smartphone yang ia pegang. Rupanya ia segera merasa. Ia kemudian melihat ke arah saya. Sejenak memperhatikan apa saya lakukan, kemudian ia menutup HP-nya, meletakkan di sampingnya dalam keadaan ia pegang dengan layer menghadap ke kursi. Ini menandakan bahwa anak ini tidak sampai –semoga bukan belum sampai—ke taraf kecanduan.
Ia kemudian berjalan menuju ibunya yang sedang khusyuk membaca Al-Qur’an, meminta makanan dan kemudian ia kembali ke kursi di sebelah saya dengan sekantong macaroni goreng.
Tak bertahan lama. Sesudah sekitar 30 menit tidak memainkan HP yang sepertinya sudah menjadi miliknya, gadis mungil itu pun segera membuka perangkat cerdas yang apabila kita tidak tepat memakainya justru menggerogoti kecerdasan kita itu. Ia pun segera membuka Instagram, menonton reel dan memberikan like di antara berbagai reel yang tidak sedikit di antaranya memilukan jika dikaitkan dengan upaya mendidik anak.
Ibunya masih tilawah. Alhamdulillah. Dan anaknya sudah tenggelam dengan social media.
Jangan-jangan di antara yang like unggahan saya adalah anak-anak sesuai gadis mungil itu. Usia 7 atau 8 tahun.
Jadi teringat dengan istri saya semata wayang. Sebelum berangkat, istri saya berpesan agar menuliskan beberapa hal penting berkait dengan literasi digital. Sesaat sesudah kereta berangkat, saya segera menulis. Tanpa akses internet di laptop, ternyata menulis tentang literasi digital lebih lancar dibandingkan ketika ada kesempatan berselancar di dunia maya.
Mohammad Fauzil Adhim, Penulis di ProuMedia
Mohammad Fauzil Adhim, Penulis di ProuMedia
Post a Comment