Hukum Menjenguk Orang Non-Muslim yang Sakit menurut Syeikh Al-Qaradhawi


Menurut Syeikh Al-Qaradhawi, jika orang non-Muslim itu tetangga orang Muslim, maka  ia  mempunyai  dua  hak: hak Islam dan hak tetangga, lebih-lebih jika ia merupakan kerabat

Dilansir dari Hidayatullah.com | DIJADIKANYA menjenguk  orang  sebagai  hak  seorang   muslim terhadap   muslim   lainnya,   sebagaimana   disebutkan  dalam hadits-hadits  itu,  tidak  berarti  bahwa  orang  sakit  yang non-muslim  tidak  boleh  dijenguk. Sebab menjenguk orang sakit itu,  apa  pun  jenisnya,  warna  kulitnya,   agamanya,   atau negaranya,  adalah  amal  kemanusiaan  yang oleh Islam dinilai sebagai ibadah dan qurbah (pendekatan diri kepada Allah).

Oleh sebab itu, tidak mengherankan jika  Nabi  ﷺ menjenguk anak  Yahudi  yang  biasa melayani beliau ketika beliau sakit. Maka Nabi ﷺ menjenguknya dan  menawarkan  Islam  kepadanya, lalu  anak  itu  memandang  ayahnya, lantas si ayah berisyarat agar dia mengikuti Abul Qasim  (Nabi  Muhammad  ﷺ.;  Penj.), lalu  dia  masuk  Islam sebelum meninggal dunia, kemudian Nabi ﷺ. bersabda: “Segala puji kepunyaan Allah yang telah menyelamatkannya dari neraka melalui aku.” (HR Bukhari)

Dari Anas bin Malik Radhiyallahu ‘Anhu, beliau berkata:

كَانَ غُلَامٌ يَهُودِيٌّ يَخْدُمُ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – فَمَرِضَ فَأَتَاهُ النَّبِيُّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – يَعُودُهُ، فَقَعَدَ عِنْدَ رَأْسِهِ، فَقَالَ لَهُ: ” أَسْلِمْ “. فَنَظَرَ إِلَى أَبِيهِ وَهُوَ عِنْدَهُ، فَقَالَ: أَطِعْ أَبَا الْقَاسِمِ ; فَأَسْلَمَ. فَخَرَجَ النَّبِيُّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – وَهُوَ يَقُولُ ” الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي أَنْقَذَهُ مِنَ النَّارِ

Arti lengkapnya; “Ada seorang anak kecil dari anak-anak orang Yahudi, dia dahulu sering melayani Nabi Shallallahu Alaihi Salam. Pada suatu ketika anak tersebut menderita sakit, maka Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam datang menjenguk anak tersebut. Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam duduk di sisi kepalanya lalu bersabda: ‘Masuklah engkau ke dalam Islam’. Maka sang anak melirik/melihat kepada ayahnya yang ketika itu ada di dekatnya, maka sang ayah mengatakan kepada anaknya: ‘Taatlah kepada Abul Qasim,’ maka anak itu kemudian memeluk Islam. Maka setelah itu keluarlah Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam sambil berkata: ‘Segala puji hanya milik Allah yang telah menyelamatkan anak itu dari api neraka.’” (HR. Bukhari).

Hal ini menjadi  semakin  kuat  apabila  orang  non-muslim  itu mempunyai  hak  terhadap  orang  muslim  seperti hak tetangga, kawan, kerabat, semenda, atau lainnya. Hadits-hadits yang telah disebutkan  hanya  untuk  memperkokoh hak  orang muslim (bukan membatasi) karena adanya hak-hak yang diwajibkan  oleh  ikatan  keagamaan. 

Apabila  si  muslim  itu tetangganya,  maka  ia  mempunyai  dua  hak: hak Islam dan hak tetangga. Sedangkan jika yang bersangkutan masih kerabat, maka dia mempunyai tiga hak, yaitu hak Islam, hak tetangga, dan hak kerabat. Begitulah seterusnya.

Imam Bukhari membuat satu bab tersendiri  mengenai  “Menjenguk Orang  Musyrik”  dan  dalam  bab itu disebutkannya hadits Anas mengenai anak Yahudi yang dijenguk oleh Nabi ﷺ dan kemudian diajaknya  masuk Islam, lalu dia masuk Islam, sebagaimana saya nukilkan tadi.

Beliau juga menyebutkan  hadits  Sa'id  bin  al-Musayyab  dari ayahnya,  bahwa  ketika  Abu Thalib akan meninggal dunia, Nabi ﷺ datang kepadanya. (Al-Bukhari dalam Fathul-Bari, hadits nomor 5657) 

Diriwayatkan juga dalam Fathul-Bari dari Ibnu  Baththal  bahwa menjenguk  orang  non-muslim  itu  disyariatkan  apabila  dapat diharapkan dia akan masuk Islam, tetapi jika tidak ada harapan untuk itu maka tidak disyariatkan. Al-Hafizh  berkata,  “Tampaknya  hal itu berbeda-beda hukumnya sesuai dengan tujuannya. Kadang-kadang menjenguknya juga untuk kemaslahatan lain.”

Al-Mawardi  berkata,  “Menjenguk  orang dzimmi (non-muslim yang tunduk pada pemerintahan Islam) itu boleh,  dan  nilai  qurbah (pendekatan  diri  kepada  Allah)  itu  tergantung  pada jenis penghormatan  yang  diberikan,  karena  tetangga  atau  karena kerabat.” (dalam Fathul-Bari, juz 10, hlm. 119).*/dari buku Fatwa-Fatwa Kontemporer Dr. Yusuf QardhawiGema Insani Press (GIP)

Rep: Ahmad

Powered by Blogger.
close