Mujahid Digital Solusi Menghadapi Penjahat Digital


Dikutip dari hidayatullah.com

Di era seperti ini, para mujahid digital harus bisa mengungguli “penjahat digital”. Inilah  Catatan dari Kongres Mujahid Digital MUI

Oleh: Mahladi MurniADA pernyataan menarik dari Kombes Pol Alfis Suhaili, penyidik madya tindak pidana siber Bareskrim Polri, saat memaparkan materi pada Kongres Mujahid Digital Majelis Ulama Indonesia (MUI) di Jakarta, 15 September 2022. Katanya, “Kalau (Kongres Mujahid Digital) ini didengar oleh penjahat digital, bergetar mereka.”

Memang, Komisi Informasi dan Komunikasi (Infokom) MUI kelihatannya tidak main-main dengan gerakan membentuk mujahid digital ini. Upaya ini bahkan telah dimulai sejak akhir 2021 lewat sejumlah workshop di lima kota di Indonesia; Medan, Surabaya, Pontianak, Makassar, dan Papua.

Tak sekadar itu. Komisi Infokom MUI juga berencana membangun akademi digital, semacam lembaga pelatihan tempat anak-anak muda dididik untuk paham mengelola media multi platform. MUI juga akan menyelenggarakan secara rutin halaqoh Youtuber dan influencer sehingga, menurut Ketua Komisi Infokom, Mabroer MS, MUI menjadi rumah yang nyaman bagi para Youtuber dan influencer.

Lalu, pada 15 dan 16 September 2022, Komisi Infokom MUI menggelar Kongres Mujahid Digital sekaligus Rapat Konsolidasi Nasional yang dihadiri oleh pengurus Komisi Infokom MUI provinsi seluruh Indonesia serta utusan dari MUI wilayah Bogor, Bekasi, Tangerang, Depok, Cianjur, dan lima wilayah di DKI Jakarta. Selain itu, kongres diikuti juga oleh utusan dari sejumlah Komisi, Badan, dan Lembaga di MUI Pusat serta alumnus workshop yang sebelumnya telah digelar.

Kombes Pol Alfis Suhaili saat memberikan materi. Sumber foto: Fanda Muhyidin/MUI.or.id

Pembukaan kongres dilakukan di Istana Wakil Presiden oleh Wapres KH Ma’ruf Amin.  Kiai Ma’ruf sendiri mendukung upaya MUI mencetak para mujahid digital ini. “Teknologi digital serta mujahid digital yang capabel menjadi kebutuhan mendesak,” ungkap Kiai Ma’ruf saat membuka kongres. Terlebih dengan maraknya serangan siber beberapa waktu belakangan ini.

Kiai Ma’ruf juga menyoroti jumlah pengguna media sosial di Indonesia yang sangat banyak. Berdasarkan data yang dirilis asosiasi penyelenggara jasa internet Indonesia, hingga tahun 2022 tidak kurang dari 77 persen penduduk Indonesia sudah mengakses internet dan membuka media sosial.

Ketua Komisi Infokom MUI, Mabroer MS, saat ditanya tujuan MUI mencetak para mujahid digital ini menegaskan bahwa mereka ingin memenuhi dunia maya dengan konten-konten positif, menyejukkan, jauh dari fitnah dan adu domba. “Jika jumlah mujahid digital ini banyak maka kita bisa mengimbangi bahkan mengalahkan konten-konten negatif di dunia maya. MUI harus menjadi rujukan masyarakat,” ungkapnya.

Saat penutupan kongres, Mabroer berkata di hadapan para utusan Komisi Infokom MUI se-Indonesia bahwa membuat media bagi mereka adalah fardhu ain. Harapannya, jika kelak semua MUI di provinsi, kabupaten, dan kota telah memiliki media dengan berbagai platform maka MUI akan memiliki jaringan informasi yang luas dan besar. Apalagi bila didukung oleh para mujahid digital di semua propinsi.

Semua tergantung niat

Seorang peserta kongres, saat pemaparan materi oleh Ismail Fahmi, Wakil Ketua Komisi Infokom MUI, bertanya, “Mengapa konten-konten negatif seperti hoaks lebih diminati masyarakat dibanding konten-konten Islami?”

Ismail menjawab bahwa para pembuat hoaks umumnya memiliki motif ekonomi. “Ini persoalan hidup. Kalau tidak serius, mereka tidak akan dapat uang,” jelas Ismail. Karena keseriusan itulah, berbagai kreativitas mereka muncul, bahkan kebablasan. Apa pun akan mereka lakukan demi mendapat keuntungan yang banyak.

Awalnya, mereka menulis di banyak blog untuk mendapatkan adsense. Biasanya, mereka membuat berita sensasi dan bombastis, entah berupa hoaks, fitnah, atau pesanan untuk kepentingan politik. Dalam sebulan, kata Ismail, mereka bisa mendapat keuntungan Rp 10 juta hingga Rp 15 juta.

Pada masa Youtube naik daun, mereka pindah ke Youtube. Rupanya format video lebih disukai masyarakat dibanding artikel di blog. Mereka kembali menyebarkan konten fitnah, hoaks, dan konspirasi. Bagi mereka, yang penting mendapat view yang banyak. Keuntungan pun jauh lebih banyak dibanding blog. Dalam 8 bulan, kata Ismail lagi, mereka bisa mengumpulkan uang Rp 2 miliar.

Di sisi lain, algoritma media sosial memungkinkan berita yang kontroversial jauh lebih mudah muncul dalam timeline pengguna. Sebaliknya, berita klarifikasi yang biasa-biasa saja jarang dimunculkan oleh algoritma.

Lantas apakah perang melawan hoaks, fitnah, dan adu domba sulit dimenangkan? Ismail meyakinkan bahwa para mujahid digital bisa mengungguli para “penjahat digital” tersebut. “Semua tergantung pada niat,” jelas Ismail. Sebab, niat akan menentukan apakah seseorang akan sungguh-sungguh atau tidak. Jika sungguh-sungguh maka kreativitasnya akan muncul.   

“Persoalan teknis itu bisa dipelajari. Secara teknis tak ada bedanya antara kita dan mereka. Yang membedakan adalah kesungguhan,” kata Ismail.

Karena itulah, penggunaan istilah “mujahid” menjadi sangat tepat. Dr Abdul Kadir Jailani, pengurus Infokom MUI Propinsi Lampung, saat sidang Komisi Digital Kongres Mujahid Digital menyatakan bahwa kata “mujahid” mengandung makna “upaya yang sungguh-sungguh”.  Ada mujahadah di dalamnya.

Dengan upaya yang sungguh-sungguh ini, terlebih bila disertai dengan niat yang mulia, yakni mengembalikan kehidupan harmonis dan indah di dunia digital, serta membawa misi Islam wasathiyah, Islam yang rahmatan lil alamin, Islam yang berkemajuan, dan Islam yang membawa kedamaian, maka upaya para mujahid digital ini kelak akan berbuah hasil. Semoga saja! *

Penulis adalah anggota sidang redaksi Hidayatullah.com dan Wakil Sekretaris Komisi Infokom MUI Pusat

Rep: Admin Hidcom
Editor: Insan Kamil

Powered by Blogger.
close