Pengorbanan


Oleh :
Mohammad Fauzil Adhim Setiap orang siap berkorban untuk sesuatu yang ia merasa sangat penting dan berharga. Semakin tinggi nilainya, semakin besar kesediaan orang berkorban. Bahkan ia merasa senang, puas dan bangga dengan pengorbanan yang ia lakukan, meskipun boleh jadi pengorbanannya justru untuk hal-hal yang pada hakekatnya sia-sia dan tidak membawa kebaikan sedikit pun. ⁣
Ada beberapa tingkatan orang berkorban. Pertama, merasakan betapa berharganya berkorban dan ingin sekali agar orang lain juga memperoleh kebaikan dari berkorban. Kedua, mendapatkan kepuasan batin dari berkorban dan ia melakukan dengan penuh tekad. Ketiga, merasa sebagai sesuatu yang baik dan senang terhadapnya, tetapi belum dapat melakukannya tanpa orang lain. Kalau ada temannya, ia bersemangat. Kalau tidak ada temannya, ingin tetapi tidak sampai kepada tindakan. ⁣
Enggan berkorban juga bertingkat-tingkat. Pertama, berkorban semata karena keharusan, semisal karena peraturan. Kedua, pengorbanan minimal, yakni jika memang memungkinkan untuk mencari celah, maka ia berkorban yang sesedikit mungkin di bawah peraturan. Ketiga, menghindari berkorban. Bukan lagi minimal. Keempat, menolak berkorban. Kelima, mengajak orang lain untuk tidak berkorban. ⁣
Itu sebabnya ketika diminta berbicara tentang “Mempersiapkan Ananda Masuk Pondok Pesantren” beberapa waktu lalu, saya memilih untuk lebih fokus membahas tentang menyiapkan anak dari aspek orientasi. Jika anak telah memiliki orientasi yang kuat untuk masuk pesantren, menganggapnya sangat berharga dan layak diperjuangkan, maka kesediaan untuk berpayah-payah dan memperjuangkan itu akan ada. ⁣
Kesediaan berkorban maupun yang sebaliknya berlaku untuk apa saja, bahkan termasuk urusan organisasi maupun untuk urusan yang sangat sepele dan remeh-temeh. Seseorang yang sangat ingin tampil wah dengan berfoto selfie, ia rela menempuh perjalanan yang jauh, menapaki jalur yang sulit dan berbahaya, semata untuk bisa selfie tanpa pahala. ⁣
Ketika seseorang sangat mencintai ilmu dan amat haus membaca, ia rela jalan kaki jauh hanya agar bisa beli buku. Sebaliknya, dibayar mahal untuk baca buku pun ia enggan jika baca buku ia rasa sebagai beban yang tidak menyenangkan.

Mohammad Fauzil Adhim, Penulis Buku-buku Parenting
Powered by Blogger.
close