Ratu Elizabeth Keturunan Nabi?


Jika
tetap dipaksakan bahwa Ratu Elizabeth memiliki hubungan darah atau ada keturunan Nabi Muhammad, maka hubungan itu pada dasarnya tidak memiliki makna

Oleh: Dr: Alwi Alatas

PADA hari Kamis 8 September 2022, Ratu Elizabeth II meninggal dunia (“Queen Elizabeth,” 2022). Kematian ratu yang bertahta selama 70 tahun ini rupanya membuat isu tentang silsilah nasabnya yang dikatakan bersambung kepada Nabi Muhammad kembali viral (“Ini garis silsilah,” 2022).

Isu yang juga pernah viral di tahun 2018 itu pertama kali dikemukakan pada tahun 1980-an oleh Harold Brooks-Baker yang menerbitkan panduan silsilah kerajaan. Brooks-Baker, bagaimanapun, merupakan “figur kontroversial yang dikenal suka membuat pernyataan-pernyataan meragukan yang sering dibantah oleh kerajaan Inggris” (Maza, 2018).

Tulisan ringkas kali ini hendak membincangkan klaim tersebut, apakah ia dapat dibenarkan atau tidak.

Secara ringkas silsilah itu memperlihatkan garis keturunan Elizabeth II yang bersambung dengan keluarga kerajaan Castile di Spanyol. Salah satu Raja Castile menikah dengan – atau menjadikan sebagai selir – Zaida yang diklaim sebagai puteri al-Mu’tamid ibn Abbad, Raja Seville di Andalusia pada penghujung abad ke-11.

Nasab al-Mu’tamid disebutkan bersambung kepada Naim al-Lakhmi yang beribukan Zahra binti Husain bin Hasan; yang terakhir ini merupakan putera dari Ali dan Fatimah binti Rasulillah saw.

Ibn Khallikan (1868, III/183) tidak menyinggung nama ibu Naim al-Lakhmi. Namun dari jalur ayah, ia merupakan keturunan al-Nu’man ibn al-Mundzir, raja terakhir al-Hirah.

Klaim bahwa Ratu Elizabeth adalah keturunan Nabi Muhammad memiliki beberapa masalah mendasar jika dilihat dari sudut pandang Islam dan sejarah.

Pertama, jalur keturunan Elizabeth dikatakan bersambung kepada Nabi Muhammad ﷺ  melalui sejumlah lelaki dan juga perempuan. Jalur yang menyebut nama-nama Muslim disambungkan lewat perempuan setidaknya dua kali. Yang pertama dari Zahra binti Husain dan yang kedua dari Zaida.

Keturunan Nabi Muhammad ﷺ memang bersambung melalui puterinya Fatimah radhiallahu anha. Namun selepas Fatimah, seluruh keturunan beliau dicatat melalui jalur anak lelaki, sebagaimana nasab di dalam Islam memang diambil melalui jalur lelaki dan bukan perempuan.

Penisbatan melalui Fatimah merupakan kekhususan karena Rasulullah ﷺ  tidak memiliki anak lelaki yang hidup hingga dewasa dan memiliki keturunan. Karena itu, keturunan beliau bersambung melalui al-Hasan dan al-Husain yang merupakan putera-putera Fatimah.

Hal ini disebutkan di dalam sebuah hadith riwayat Abu Dawud dengan isnad hasan. Di dalam hadits itu Rasulullah bersabda, “Al-Mahdi adalah dari keturunanku (min ‘itratī) dari putera Fatimah” (Abu Dawud, 2008, IV/508; hadits no. 4284).

Singkatnya, penisbatan nasab Elizabeth kepada Nabi mengambil sistem yang sepenuhnya berbeda dengan pencatatan nasab di dalam agama Islam. Jalur keturunan itu tidak hanya terhubung melalui laki-laki saja, tetapi juga melalui sejumlah perempuan.

Kedua, status Zaida sebagai anak al-Mu’tamid diperselisihkan dan diragukan oleh sejarawan modern. Klaim ini berasal dari sumber Kristen dan tidak ada sama sekali di dalam catatan sejarawan Muslim.

Bernhard dan Ellen M. Wishaw yang menerbitkan karya sejarahnya tentang Spanyol pertama kali pada tahun 1912 menguatkan pandangan bahwa Zaida adalah puteri al-Mu‘tamid. Kedua penulis ini merujuk dan mendiskusikan secara kritis Cronica General yang merupakan salah satu sumber awal dalam kaitan sejarah ini.

Menurut kedua penulis ini, Zaida diambil oleh Alfonso VI sebagai istri dan bukan sebagai selir. Ia memiliki satu anak lelaki bernama Sancho dari pernikahan ini – satu-satunya anak lelaki Alfonso VI – yang gugur di Pertempuran Ucles pada tahun 1108 (Bernhard & Wishaw, 2022, 255-257).  

Namun, sebagaimana ditulis di awal penjelasannya, “kisah-kisah yang diberikan dalam Cronica general sangat membingungkan dalam kronologinya dan sulit untuk didamaikan dengan peristiwa-peristiwa kehidupan Motamid [al-Mu‘tamid] seperti yang diceritakan oleh para sejarawan Arab” (Bernhard & Wishaw, 2022, 253).

Pernikahan Alfonso VI dengan Zaida sebagai puteri al-Mu‘tamid “tidak disebutkan oleh penulis Arab manapun”. Pernikahan itu diperkirakan terjadi pada tahun 1097, jauh selepas jatuhnya al-Mu‘tamid dari kekuasaannya pada tahun 1091.

Zaida dikatakan masuk Kristen pada waktu pernikahannya dan berganti nama menjadi Isabel, sementara Alfonso memiliki istri lain yang juga bernama Isabel, sehingga menambah kebingungan bagi mereka yang mengikuti narasi ini (Bernhard & Wishaw, 2022, 254-255). Pada akhirnya, yang dilakukan oleh kedua penulis ini adalah membuat terkaan (conjecture) yang paling masuk akal terhadap sejumlah kontradiksi yang ada.

Beberapa sejarawan Barat lainnya menolak anggapan yang menyatakan bahwa Zaida adalah puteri al-Mu‘tamid.  Bernard Reilly (1993, 98) menyebut Zaida sebagai (mantan) menantu al-Mu‘tamid.

Simon Barton (2015, 127) juga berpandangan bahwa Zaida adalah menantu al-Mu‘tamid, istri dari al-Fath al-Ma’mūn. Ia diungsikan ke daerah lain saat suaminya menghadapi kepungan pasukan Almoravid (al-Murābiṭūn) pada tahun 1091. Zaida menjadi istri Alfonso VI beberapa waktu setelah kematian suaminya.

Pada tahun 1091 (484H) itu, al-Fatḥ al-Ma’mūn memimpin kota Cordova yang dikepung oleh pasukan Yusuf ibn Tashfin, sementara saudaranya Yazīd al-Rāḍī menghadapi kepungan Almoravid di kota Rhonda (al-Marrākushī, 1983, IV/144).

Keduanya kalah dan kemudian dieksekusi. Selain mereka berdua, al-Mu‘tamid memiliki dua putera lainnya, yaitu Ubayd Allah al-Rashīd dan al-Mu’tamin.

Ibn Khallikan (1868, III/188-195) tidak menyebutkan ada berapa jumlah puteri al-Mu‘tamid dan siapa nama-nama mereka. Namun, sama sekali tidak ada indikasi bahwa ada puteri raja terakhir Bani Abbad ini yang menjadi istri Alfonso.

Al-Mu‘tamid dipenjara seumur hidup di Aghamat, Maroko. Puteri-puterinya digambarkan hidup susah sebagai pemintal.

Pada satu kesempatan di hari raya mereka menjenguk sang ayah di penjara. Al-Mu‘tamid yang terkenal pandai bersyair menatap puteri-puterinya itu dan bersenandung sedih:

Di masa lalu perayaan membuatmu bersukacita; tapi sekarang, seorang tahanan di Aghamat, sebuah perayaan menimpamu.

Engkau melihat putri-putrimu lapar dan compang-camping, memintal demi upah dan tanpa uang sepeser pun.

Mereka pergi untuk memberi hormat kepadamu, dengan mata tertunduk dan patah hati; mereka berjalan tanpa alas kaki di lumpur, seolah-olah mereka tidak pernah menginjak (lantai yang dipenuhi) wewangian dan kapur barus.

Bukan pipi (milik mereka) tetapi permukaannya mengeluh kekeringan (kesengsaraan), dan tidak pernah disiram melainkan dengan isak tangis (dan air mata).

Keberuntungan pernah patuh pada perintahmu; sekarang telah mengurangimu hingga tunduk pada perintah orang lain.

Dia yang, setelah engkau, hidup bersukacita dalam pameran kekuasaan, hidup dalam khayalan mimpi belaka.

Nama dan karakteristik Zaida sepenuhnya absen dari narasi dan puisi tersebut.

Ketiga, kalaupun tetap hendak dipaksakan bahwa Ratu Elizabeth memiliki hubungan darah dengan Nabi Muhammad, maka hubungan itu pada dasarnya tidak memiliki makna. Lebih dari separuh nama-nama di dalam jalur keturunan itu bukan Muslim dan bukan merupakan pengikut Nabi Muhammad ﷺ, sehingga kalau memang ada hubungan darah pun maka tetap tidak memberi manfaat dan tidak dapat dianggap sebagai bagian dari keluarga beliau, Nabi ﷺ.

Ini seperti keadaan putera Nabi Nuh alaihis salam yang menolak ikut naik ke bahtera ayahnya, sehingga Allah berfirman, “Hai Nuh, sesungguhnya dia bukanlah termasuk keluargamu (yang dijanjikan akan diselamatkan).” (QS 11: 46).

Imam al-Qurthubi (2006, tt., IX/107) menyebutkan di dalam tafsirnya tentang ayat ini bahwa menurut jumhur ulama anak itu “bukan termasuk golongan agamamu.” Sementara al-Thabari (2007, XVI/68-69), walaupun mengutip juga pendapat yang menyatakan anak itu bukan anak Nabi Nuh secara nasab, tetapi ia cenderung pada pendapat yang menyatakan bahwa ia benar-benar putera Nabi Nuh tetapi tidak masuk golongan yang selamat disebabkan pelanggaran agama dan kekafirannya.

Di dalam satu hadits Riwayat Imam Ahmad bin Hanbal juga disebutkan bahwa Nabi Muhammad ﷺ menganggap seseorang keluar dari golongannya jika orang itu menjadi penyebab terjadinya fitnah, walaupun nasabnya bersambung kepada beliau.

Di dalam hadits itu Nabi menyebut tentang fitnah al-sarrā’ yang muncul “dari bawah kedua kaki seorang lelaki dari ahli bait-ku (min taḥti qadamay rajulin min ahli baytī), ia mengaku sebagai bagian dariku, padahal ia bukan bagian dariku (yaz‘umu annahu minni, wa laysa minni) …. (Ibn Ḥanbal, X/309; hadis no. 6168).

Di bawah ini kutipan lengkap hadis yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad ibn Hanbal dalam Musnadnya dan Imam Abu Dawud dalam Sunannya;

عَنْ عُمَيْرِ بْنِ هَانِئٍ الْعَنْسِيِّ ، قَالَ : سَمِعْتُ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عُمَرَ ، يَقُولُ : كُنَّا قُعُودًا عِنْدَ رَسُولِ اللَّهِ ، فَذَكَرَ الْفِتَنَ فَأَكْثَرَ فِي ذِكْرِهَا حَتَّى ذَكَرَ فِتْنَةَ الْأَحْلَاسِ ، فَقَالَ قَائِلٌ : يَا رَسُولَ اللَّهِ وَمَا فِتْنَةُ الْأَحْلَاسِ ؟ قَالَ : ” هِيَ هَرَبٌ وَحَرْبٌ ، ثُمَّ فِتْنَةُ السَّرَّاءِ ، دَخَنُهَا مِنْ تَحْتِ قَدَمَيْ رَجُلٍ مِنْ أَهْلِ بَيْتِي يَزْعُمُ أَنَّهُ مِنِّي ، وَلَيْسَ مِنِّي ، وَإِنَّمَا أَوْلِيَائِي الْمُتَّقُونَ ، ثُمَّ يَصْطَلِحُ النَّاسُ عَلَى رَجُلٍ كَوَرِكٍ عَلَى ضِلَعٍ ، ثُمَّ فِتْنَةُ الدُّهَيْمَاءِ ، لَا تَدَعُ أَحَدًا مِنْ هَذِهِ الْأُمَّةِ إِلَّا لَطَمَتْهُ لَطْمَةً ، فَإِذَا قِيلَ : انْقَضَتْ ، تَمَادَتْ يُصْبِحُ الرَّجُلُ فِيهَا مُؤْمِنًا ، وَيُمْسِي كَافِرًا ، حَتَّى يَصِيرَ النَّاسُ إِلَى فُسْطَاطَيْنِ ، فُسْطَاطِ إِيمَانٍ لَا نِفَاقَ فِيهِ ، وَفُسْطَاطِ نِفَاقٍ لَا إِيمَانَ فِيهِ ، فَإِذَا كَانَ ذَاكُمْ فَانْتَظِرُوا الدَّجَّالَ ، مِنْ يَوْمِهِ ، أَوْ مِنْ غَدِهِ ”

Dari ‘Umair ibn Hani Al ‘Ansiy. Ia berkata: Aku mendengar ‘Abdullah ibn ‘Umar berkata: “Pada suatu hari kami sedang duduk bersama Rasulullah ﷺ. Beliau memberikan peringatan tentang fitnah-fitnah (ujian besar di akhir zaman) yang banyak bermunculan, sampai beliau menyebutkan Fitnah Ahlas. Seseorang bertanya : “Wahai Rasulallah, apa yang dimaksud fitnah Ahlas? Beliau menjawab :  “Yaitu; fitnah pelarian dan peperangan. Kemudian Fitnah Sarra’ (karena banyak bermegah-megahan hingga lupa dan jatuh dalam prilaku maksiat), yang asapnya dari bawah kaki seseorang dari Ahli Bait-ku; ia mengaku bagian dariku, padahal bukan dariku. Karena sesungguhnya orang-orang yang aku kasihi hanyalah orang-orang yang bertaqwa. Kemudian manusia bersepakat pada seseorang seperti bertemunya pinggul di tulang rusuk, kemudian Fitnah Duhaima’ yang tidak membiarkan ada seseorang dari umat ini kecuali dihantamnya.

Jika dikatakan: ‘Ia telah selesai’, maka ia justru berlanjut, di dalamnya seorang pria pada pagi hari beriman, tetapi pada sore hari men­jadi kafir, sehingga manusia terbagi menjadi dua kemah, kemah keimanan yang tidak mengandung kemunafikan dan kemah kemunafikan yang tidak mengandung keimanan. Jika itu sudah terjadi, maka tunggulah kedatangan Dajjal pada hari itu atau besoknya.”

Sebuah artikel mengutip pendapat Syaikh Ali bin Muhammad al-Qari yang menerangkan tentang hadits di atas bahwa orang itu dari sisi nasab bersambung kepada Nabi Muhammad, tetapi pada hakikatnya ia bukan bagian dari keluarga Nabi disebabkan peranannya di dalam fitnah.

Demikian pula dikutip pendapat Ibn Athaillah al-Sakandari yang menerangkan bahwa Salman al-Farisi disebut oleh Nabi sebagai bagian dari Ahlul Bait, walaupun ia seorang Persia, disebabkan ia mengikuti jejak Nabi. Begitu pula sebaliknya, “walaupun keluarga Rasul, jika tidak patuh ajaran Nabi, ia bisa terputus mata rantai kekeluargaan dengan Rasulullah ﷺ. (Ahmad Mundzir, 2018).

Ini bagi mereka yang nasabnya jelas bersambung dengan Nabi Muhammad ﷺ. Bagaimana lagi dengan orang yang silsilahnya dipertanyakan?*/Kuala Lumpur, 13 Safar 1444/10 September 2022

Penulis adalah staf pengajar di Departemen Sejarah dan Peradaban, International Islamic University Malaysia (IIUM)

Daftar Pustaka

Rep: Admin www.hidayatullah.com

Powered by Blogger.
close