Syariah dan Public Reason
Peran public reason sebagai sarana konsensus sangat bermasalah, sebab tujuan yang ingin dicapai bersama masih kabur
Oleh: Dr. Hamid Fahmy Zarkasyi
Dikutip dari situs Hidayatullah.com | SUATU hari Prof. Abdullahi Ahmed An-Na’im menjajakan sebuah wacana tentang hubungan antara Islam, negara, dan masyarakat, di seluruh Indonesia. Wacana hasil riset proyek The Asia Foundation ini telah dibukukan dan diterbitkan Mizan dengan judul “Islam dan Negara Sekular: Menegosiasikan Masa Depan Syariah”.
Dari judulnya terselip kesan ingin menegosiasikan pengusung ide negara sekuler dan pembela penerapan syariah. Atau boleh jadi juga ingin memasarkan ide negara sekuler dan meredam aspirasi negara Islam.
Baginya tidak ada negara Islam, yang ada adalah negara sekuler. Tapi syariah bisa menjadi nilai-nilai bagi kebijakan publik.
Ide dasarnya nampak sederhana, syariah dapat menjadi undang-undang negara dan public policy asalkan melalui public reason. Untuk itu ia mengadopsi konsep public reason filosof Amerika John Rawl dan memahami syariah dengan framework historisisme dan relativisme.
Namun konsep dasarnya tentang syariah dan public reason pada dataran teori dan praktis masih memendam banyak persoalan.
Public reason
Public reason adalah terma yang digunakan John Rawl yang merujuk kepada nalar seluruh warganegara dalam masyarakat yang plural. Dalam konteks agama konsep public reason yang diadopsi al-Naim dari Rawl dapat disarikan begini: agama bisa menjadi asas moral, tapi jika dibawa ke publik ia harus dapat dinalar oleh akal dan dapat dipahami penganut agama lain atau orang ateis sekalipun. Agama harus dimodifikasi kedalam bahasa politik dan bukan teologi. (Lihat: al-Naim Islam dan Negara Sekuler, hal. 15; Rawl, Political Liberalism, hal 441-442).
Jika Rawl melarang doktrin agama menjadi public policy, al-Naim membolehkannya. Tapi keduanya sepakat bahwa public reason akan menyulap doktrin agama menjadi konsensus publik. Setelah melalui public reason doktrin agama tidak nampak lagi. Perkawinan gay, lesbian, prostisusi, merokok, minuman keras dsb. misalnya bisa dilarang bukan karena agama, tapi karena public reason.
Tapi persoalannya, dapatkan masyarakat secara umum mempunyai komitmen yang sama terhadap proses public reason. David A Reidy dan beberapa pakar lainnya menafikan, “Unfortunately, this commitment appears unjustifiable upon critical examination”, tulisnya. Sebab alasan David warga negara, pejabat dan tokoh masyarakat tidak mudah mencapai konsensus dalam menyelesaikan masalah yang mendasar dalam politik melalui public reason.
Ini diamini oleh Micah Schwartzman, profesor Hukum di Universitas Virginia Amerika. Public reason, menjadi turun bobotnya dari konsensus, menjadi sekedar penyamaan framework nilai dan prinsip.
Tapi memang menurut Eric MacGilvray, Assitent Professor Ilmu Politik, Universitas Wisconsin, Madison peran public reason sebagai sarana konsensus bermasalah. Sebab tujuan yang ingin dicapai bersama masih kabur. Karena itu public reason perlu disusun ulang dengan menetapkan tujuan.
Karena kaburnya tujuan konsensus itu maka baik Rawl maupun al-Naim menjadi bias. Bagaimana jika public reason bertentangan dengan non-public reason. Apakah hakim, pejabat atau lembaga politik dibolehkan memihak atau mengakomodir non-public reason. Bagi Rawl jika non-public reason bertentangan dengan konstitusi dan “keadilan” (dalam arti politik liberal) ia harus digilas. Bagi al-Naim public reason adalah alat negosiasi agar jangan ada institusionalisasi agama di negara.
Bias teori ini semakin jelas. Jika suatu suatu doktrin agama tertentu disepakati public reason untuk menjadi kebijakan publik, maka, keduanya sepakat, negara harus segera mencegahnya.
Public reason diperlukan untuk menekan agama, moral dan ideologi lain agar tidak mengancam negara. Jadi meski negara itu sekuler ternyata juga tidak netral.
Konsep syariah
Syariah bagi al-Naim adalah hasil pemahaman manusia terhadap al-Qur’an dan Sunnah. Pemahaman manusia, baginya tidak ada yang divine dan benar secara absolut serta mengikat. Dalam doktrin ini semua relatif yang absolut hanya Tuhan.
Al-Naim nampaknya terjebak dengan doktrin relativisme posmo. Secara ontologis dikotomi asolut-relatif itu memang benar, tapi secara epistemologis tentu tidak. Wujud Nabi adalah relatif tapi pemahaman Nabi (Sunnah) ada yang relatif dan absolute.
Demikian juga pemahaman ulama. Sebab syariah Islam merupakan campuran wahyu dan pemahaman manusia. Tidak semuanya absolut dan tidak semuanya relatif.
Ada hal-hal yang permanen (tsawabit) dan ada yang berubah secara relatif (mutaghayyirat).
Karena doktrin relativis itu maka al-Naim menganggap syariah adalah produk ijtihad belaka yang relatif. Karena itu syarat ijtihad bikinan ulama masa lalu itu kini tidak berlaku lagi. Ijtihad tidak terbatas pada segelintir orang yang memiliki syarat khusus, tapi bebas bagi masyarakat luas.
Jika al-Naim menganggap syariah adalah produk ijtihad dan bersifat relatif maka negosiasi syariah dan public reason menghadapi dua kesulitan penting.
Pertama, ijtihad yang terbuka umum itu tidak berdasarkan pada otoritas keilmuan. Karena itu proses ijtihad menjadi arbitrer dan akan menghasilkan berbagai macam versi syariah dan semuanya relatif.
Kedua, ketika syariah akan dilempar ke public reason, para hakim, penguasa dan politisi tentu akan kesulitan memahami wajah syariah yang berbeda-beda itu. Jika menentukan point of agreement untuk public reason saja sulit, apalagi menyepakati syariat yang berbeda-beda itu.
Akhir kalam, jika syariah adalah relatif, tergantung pada tempat dan waktu, mestinya syariah hasil ijtihad ulama Indonesia, tidak perlu diproses oleh public reason. Karena ia dicipta oleh nalar publik Indonesia. Jika kita konsisten ijtihad “ulama” Amerika tidak perlu pula ditrapkan ke Indonesia, karena ia adalah produk nalar Muslim Amerika. Ma’lisy yaa Professor al-Naim!
Penulis Rektor Universitas Darussalam (UNIDA) Gontor, Direktur INSISTS – Jakarta. Artikel pernah dimuat di Majalah GATRA No. 39 Tahun XIII. 9-15 Agustus 2007
Rep: Admin Hidcom
Post a Comment