Uskup Belo, Peraih Hadiah Nobel Dituduh Melakukan Pelecehan Seksual Anak di Timor Leste
Dikutip dari laman Hidayatullah.com—Nama Uskup Carlos Filipe Ximenes Belo atau Uskup Belo tidak asing bagi masyarakat Indonesia. Uskup Katolik Roma di Timur Leste (dulu Timor Timur) yang iku mempengaruhi lepasnya bekas propinsi dari Indonesia itu kini dituduh melakukan pelecehan seksual terhadap beberapa remaja laki-laki.
Pria yang pernah memenangkan Hadiah Nobel Perdamaian tahun 1996 ini dituduh telah melakukan pelecehan seksual terhadap beberapa remaja laki-laki, menurut sebuah laporan yang diterbitkan Rabu di sebuah majalah berita Belanda.
Belo, 74, menjadi perhatian internasional pada 1990-an karena perannya yang blak-blakan dalam menentang peran Indonesia di Timor Timur, yang berlangsung dari tahun 1975 hingga 1999. Ia menggalang diplomasi internasional untuk lepas dari Indonesia, bekerjasama dengan José Ramos-Horta, yang akhirnya menjadi presiden Timor Timur.
Namun dalam laporan 28 September, beberapa pria mengklaim mereka dilecehkan secara seksual oleh uskup ketika mereka masih remaja. Tuduhan itu dilaporkan oleh De Groene Amsterdammer, Selasa(27/9/2022), sebuah majalah Belanda baru-baru ini.
Seorang tersangka korban mengatakan bahwa dia dilecehkan secara seksual oleh Belo ketika dia berusia 15 atau 16 tahun, dan bahwa uskup memberinya uang setelah melakukan pelecehan seksual kepadanya. Seorang pria lain mengaku diperkosa oleh Belo saat berusia sekitar 14 tahun.
Menyuap korban
Menurut De Groene Amsterdammer, Belo juga dikenal melakukan pelecehan seksual terhadap pria muda, dan para seminaris. Dalam beberapa kasus, majalah itu melaporkan, Belo memberi anak di bawah umur dari keluarga miskin uang setelah memaksa mereka melakukan hubungan seks, dengan maksud untuk membungkam perilaku bejatnya.
Salah satu korbannya adalah Paulo, yang saat ini berusia 42 tahun. Paulo mengaku pernah mengalami pelecehan seksual dari Uskup Belo pada tahun 1999. Setelah menghadiri misa pada Minggu pagi di Dili, Paulo yang saat itu masih remaja, sekitar 15-16 tahun, diminta untuk datang ke kediaman Uskup Belo dan mengalami pelecehan.
Ia juga mengaku mendapatkan sejumlah uang dari Uskup Belo untuk menutup mulut. “Saya pikir ini menjijikkan. Saya tidak akan pergi ke sana lagi,” ujar Paulo yang enggan memberi identitasnya.
Sejak saat itu, Paulo tidak memberi tahu pengalaman buruk yang ia alami. Namun apa yang dialami oleh Paulo juga dirasakan oleh Roberto, seorang pria yang saat ini berusia 45 tahun. Keduanya juga telah tinggal di luar negeri.
Tidak seperti Paulo, Roberto mengalami beberapa kali pelecehan seksual, berupa pemerkosaan, dari Uskup Belo. Itu terjadi di tengah sulitnya hidup di Timor Leste di bawah kekuasaan Indonesia, sehingga uang yang didapat Roberto dari Uskup Belo cukup menjanjikan.
Bahkan ketika Roberto pindah ke Dili, pelecehan seksual dan eksploitasi seksual pindah ke kediaman uskup di kota. Di sana Roberto mengaku melihat anak-anak yatim piatu tumbuh di kompleks dan anak laki-laki lain yang dipanggil seperti dia.
Menurut Roberto dan Paulo, Uskup Belo mengirim orang dengan mobil untuk membawa anak laki-laki yang diinginkannya ke kediamannya.
“Uskup menyalahgunakan posisi kekuasaannya atas anak laki-laki yang hidup dalam kemiskinan ekstrem. Dia tahu bahwa anak laki-laki tidak punya uang. Jadi ketika dia mengundang Anda, Anda datang dan memberi Anda sejumlah uang. Tapi sementara itu Anda adalah korban. Begitulah cara dia melakukannya,” ujar Paulo.
Paulo mengatakan, bungkamnya dirinya lantaran khawatir dan takut dapat berdampak buruk. Maklum, Gereja Katolik sangat dihormati masyarakat orang di Timor Leste.
“Jika tuduhan terhadap Belo dipublikasikan, maka akan menghebohkan negara dan merusak perjuangan kemerdekaan,” kata Roberto.
Sementara itu, berdasarkan penyelidikan dari De Groene, korban Belo jauh lebih banyak. Sejauh ini, De Groene telah berbicara dengan 20 orang yang mengetahui kasus ini, termasuk pejabat pemerintahan, politisi, pekerja LSM, hingga jemaat gereja.
Laman Pillarcatholic mengutip De Groene Amsterdammer melaporkan tuduhan pelecehan seksual terhadap uskup di bawah umur diketahui secara luas di kalangan komunitas Katolik di Timor Timur. Menurut media itu, mereka telah berbicara dengan “puluhan” orang yang menuduh mereka telah menjadi korban uskup, atau mengklaim bahwa mereka mengenal para korban secara pribadi.
Belo belum menanggapi permintaan wawancara terkait masalah ini.
Pengkritik pemerintah
Dikenal pemimpin gereja dari Ordo Salesian, Belo ditahbiskan pada tahun 1980. Setelah belajar di Roma dan Portugal, ia kembali ke Timor Timur pada tahun 1981, dan bekerja sebagai guru.
Pada tahun 1983, Paus Yohanes Paulus II mengangkatnya sebagai administrator apostolik Keuskupan Dili, yang saat itu merupakan satu-satunya keuskupan di Timor Timur. Ia ditahbiskan sebagai uskup pada tahun 1989, dan tetap menjadi administrator apostolik Dili.
Saat memimpin Gereja lokal, dia adalah seorang kritikus pemerintah Indonesia di Timor Timur, dan secara terbuka mengecam kasus kekerasan tahun 1991 terhadap lebih dari 200 demonstran pro-kemerdekaan di sebuah pemakaman Dili.
Dalam sebuah surat tahun 1989 yang diselundupkan ke luar negeri, Belo memohon intervensi dari Paus, Sekjen PBB, dan presiden Portugal, yang pernah memerintah Timor Timur sebagai koloni sampai kemerdekaan pada 1974.
Dalam surat itu bulan Februari 1989 kepada Presiden Portugal, Paus, dan Sekretaris Jenderal PBB, ia menyerukan referendum PBB mengenai masa depan Timor Timur dan meminta pertolongan dunia internasional untuk Timor Timur, yang ia sebut “sekarat sebagai manusia dan negara”. Belo juga aktif melakukan wawancara dengan media asing yang sebagian besar ‘menyerang’ pemerintah Indonesia kala itu.
Belo pensiun dari keuskupan Dili pada tahun 2002. Uskup itu baru berusia 54 tahun, dan negara itu baru saja memperoleh kemerdekaan, tetapi uskup mengatakan dia mengundurkan diri karena alasan kesehatan.
Dia pindah sebentar ke Portugal, mengambil posisi misionaris di Mozambik selama beberapa tahun, dan kemudian kembali lagi ke Portugal, di mana dia sekarang tinggal. Menurut laporan majalah itu, tuduhan terhadap Belo diketahui oleh Vatikan pada saat pengunduran dirinya.
Majalah itu juga melaporkan bahwa sejak 2002, Belo berada di bawah pembatasan perjalanan yang diperintahkan Vatikan dan tidak boleh kembali ke negara asalnya. Sementara hukuman pengasingan yang efektif jarang dikenakan oleh Vatikan, hukuman itu telah digunakan dalam kasus-kasus pelecehan seksual oleh seorang uskup.
Belo tidak menghadiri konsistori bulan Agustus di Roma, di mana penggantinya sebagai Uskup Agung Dili Uskup Agung VirgÃlio do Carmo da Silva diangkat menjadi kardinal.Vatikan belum mengomentari laporan tersebut.
Tuduhan terhadap Belo telah dibandingkan dengan skandal seputar mantan kardinal Theodore McCarrick, uskup agung di Newark dan Washington, DC, dan seorang tokoh terkemuka di panggung internasional, bahkan sering dipuji atas karyanya dalam isu-isu kemanusiaan global.
Pada tahun 2018, setelah tuduhan pelecehan seksual terhadap anak di bawah umur, McCarrick mengundurkan diri sebagai kardinal. Setelah berbulan-bulan terungkapnya tuduhan bahwa McCarrick secara seksual melecehkan pria muda yang rentan, termasuk para seminaris, selama beberapa dekade menunjukkan bahwa otoritas gereja –baik di Amerika Serikat maupun Vatikan— telah gagal untuk bertindak meskipun mereka sadar tindakan bejat itu.*
Rep: Ahmad
Post a Comment