Wakil Ketua MPR Tolak Ponpes Gontor Dibubarkan: Itu Pikiran Terburu-buru


Wakil Ketua MPR Ahmad Basarah menolak pembubaran pondok pesantren Gontor di Jawa Timur. Isu pembubaran itu mecuat buntut dari insiden meningalnya santri di ponpes tersebut.

“Kekerasan pada santri yang berujung pada kematian tentu sangat kita sayangkan. Tapi, mengusulkan agar Gontor sebagai institusi pendidikan Islam berbasis asrama dibubarkan atau izin operasionalnya dicabut, hemat saya itu pikiran terburu-buru. Apakah jika di Akademi Kepolisian, Akademi Militer, atau asrama lain terjadi kekerasan fisik lalu semua institusi pendidikan itu dibubarkan atau izin operasionalnya dicabut?” kata Ahmad Basarah dalam keterangannya, Rabu (14/9/2022).

Ahmad Basarah mengatakan tragedi yang terjadi di Ponpes Gontor harus dihadapi dengan pikiran dingin dan proporsional untuk melihat kasus yang terjadi. Sebab tragedi tersebut terjadi akibat emosi para santri berdarah muda, bukan atas dasar instruksi para guru dan pimpinan Gontor.

“Kasus kekerasan sesama pelajar tidak hanya terjadi di Gontor, tapi juga banyak terjadi di asrama dan sekolah lainnya,” jelasnya.

Ia menerangkan ada tiga alasan mengapa kasus tersebut harus disikapi dengan bijak. Pertama, Gontor adalah pesantren modern yang mendidik dan mengajarkan pikiran-pikiran terbuka kepada para santrinya lewat materi ajar, misalnya kitab ‘Bidayatul Mujtahid’ karangan Ibnu Rusyd dan kitab ‘Al-Adyan’.

“Kitab Bidayatul Mujtahid karangan Ibnu Rusyd ini tidak hanya mengajarkan satu mazhab, tapi semua mazhab. Itu artinya sejak remaja, calon alumni Gontor dibiasakan dengan perbedaan pendapat, keterbukaan pikiran, tidak fanatik pada satu mazhab, dan sikap toleransi. Dengan kitab Al-Adyan, Gontor mengajarkan agama-agama yang ada di tanah air pada para santrinya. Ini cocok sekali dengan falsafah Pancasila dan kondisi kebangsaan kita yang bhineka tunggal ika,” jelasnya.

Kedua, Gontor selama ini telah melahirkan banyak tokoh moderat yang pro politik kebangsaan, misalnya KH Hasyim Muzadi, Prof. Nurcholish Madjid, dan lain-lain.

“Saya tidak yakin jika budaya kekerasan dilakukan sistematis oleh pimpinan Gontor akan lahir tokoh-tokoh besar dan moderat seperti mereka,” jelasnya.

Ketiga, Ahmad Basarah memberi apresiasi yang tinggi pada empat motto Gontor yakni berbudi tinggi, berbadan sehat, berpengetahuan luas, dan berpikiran bebas. Motto ini banyak diulas dalam karya akademis mulai dari skripsi sampai disertasi. Jika banyak sekolah dan institusi pendidikan di Indonesia meniru motto Gontor, hasilnya akan positif.

“Lewat motto itu Gontor mengarahkan para santrinya untuk bersikap rasional tapi berakhlak mulia. Ini kita butuhkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara kita. Jika banyak warga Indonesia hanya berpikiran bebas saja tapi tidak berpengetahuan luas apalagi tidak berbudi tinggi, mereka tidak mudah diajak berbangsa dan bernegara secara sehat dan rasional, malah jadi beban negara,” jelasnya.

Meskipun menolak pembubaran Ponpes Gontor, ia menerangkan kasus kekerasan yang merenggut nyawa tersebut dibawa ke meja pengadilan. Dengan begitu maka semua bukti dan dugaan bisa diperdebatkan secara rasional.

“Gontor terbiasa mengajarkan para santrinya berpikiran rasional dan terbuka. Karena itu saya yakin, para pimpinan dan alumninya percaya bahwa lembaga pengadilan adalah pilihan paling rasional untuk membuktikan, apakah Gontor sebagai institusi telah bersalah, atau kasus kematian ini hanyalah akibat keteledoran anak muda saja,” tutupnya.

Rep: Fida A.
Sumber : www.hidayatullah.com

Powered by Blogger.
close