Hukum Cadar dalam Pandangan Jumhur Ulama


Jumhur ulama membuktikan wajah wanita bukanlah aurat. Namun, ada sebagian para ulama yang berpendapat wajah wanita termasuk aurat sehingga hukum cadar menjadi wajib

Dikutip dari Hidayatullah.com | WAJIBNYA wanita muslimah memakai cadar atau niqab النقاب adalah pendapat sebagian para ulama. Sementara jumhur (mayoritas) ulama berpendapat wajah wanita tidak termasuk di dalam aurat.

Wanita yang memakai cadar berpegang dengan pendapat golongan ulama yang mewajibkannya. Ini adalah hak mereka.

Selagi mereka berkeyakinan pendapat yang menyatakan  wajib itu kuat, maka mereka wajib memakainya. Ini karena seseorang itu berpegang kepada apa yang dia yakini.

Seseorang individu tidak wajib mengikut mazhab masyarakat, tetapi hendaklah mengikuti apa yang dia fahami dan diyakini berdasarkan panduan para imam ahli sunnah wal jama`ah.

Saya mendukung pendapat jumhur ulama yang menganggap cadar bukanlah suatu kewajiban dan wajah wanita bukanlah aurat. Namun saya tidak berhasrat untuk memerangi wanita yang bercadar, selama saya melihat mereka mencoba melaksanakan tuntutan agama yang mereka yakini.

Ini adalah hak dan kebebasan yang wajar dan harus diakui. Bahkan di satu sudut ia lambang kesungguhan dalam beriltizam terhadap apa yang diyakini sebagai kewajiban.

Untuk apa kita menekan kelompok orang yang bercadar sedangkan dalam masa yang sama kita membiarkan wanita-wanita lain yang membuka tubuh dan aurat secara bebas sehingga memadam nilai diri sebagai wanita muslimah dan beriman.

Artikel ini ditulis untuk menjawab persoalan yang dikemukakan oleh sebagian wanita muslimah yang ingin mengetahui hukum dan kedudukan cadar di dalam perbahasan ulama. Adalah kurang tepat jika ada yang memakai cadar sekadar ikutan saja, mengikuti tren. Artikel ini ditulis untuk menerangkan bahwa pendapat yang mewajibkan cadar adalah lemah.

Seperti yang saya sebutkan, persoalan memakai cadar atau yang disebut sebagai niqab bagi wanita adalah persoalan khilafiyyah (perbedaan pendapat). Para ulama berbeda pendapat mengenainya.

Al-Imam al-Nawawi (meninggal 676H) di dalam kitabnya المجموع Al-Majmu’ berkata: “Sesungguhnya aurat wanita yang merdeka itu ialah seluruh badannya kecuali muka dan kedua tapak tangan. Inilah pendapat al-Imam al-Syafi`i, al-Imam Malik, al-Imam Abu Hanifah, al-Imam al-`Auza`i, al-Imam Abu Thaur dan lain-lain. Demikian juga dalam satu riwayat daripada pendapat Imam Ahmad (al-Nawawi, Al-Majmu’ Syarh al-Muhazzab, jld 3, 169, cetakan: Dar al-Fikr, Beirut).

Di zaman ini, antara ulama yang kuat menegaskan wajah wanita adalah aurat adalah al-Syeikh Bin Baz r.h. (mufti Saudi yang telah meninggal) dalam fatwa-fatwanya yang banyak, diikuti oleh kebanyakan para ulama di Saudi lain. Sebelum itu `Abu al-`Ala al-Maududi r.h dalam bukunya al-Hijab.

Sementara yang menyatakan wajah wanita bukan aurat adalah mayoritas ulama masa kini, di antaranya Dr. Yusuf al-Qaradawi dalam bukunya النقاب للمرأة Al-Niqab li al-Marah, Al-Syeikh Nashirudin al-Albani r.h. dalam جلباب المرأة المسلمة في الكتاب والسنة Jilbab al-Marah al-Muslimah fi al-Kitab wa al-Sunnah dan kitabnya yang akhir sebelum beliau meninggal sebagai jawaban dan tambahan kepada kitab tersebut  adalah الرد المفحم Al-Radd al-Mufhim.

Begitu juga Muhammad al-Ghazali r.h. dalam banyak tempat dalam buku-bukunya. Alasan-alasan yang dibawa oleh jumhur ulama yang menyatakan wajah wanita muslimah bukannya aurat adalah jelas dan nyata.

Di antaranya:

Firman Allah dalam Surah al-Nur ayat 31

وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَى جُيُوبِهِنَّ

dan janganlah menampakkan perhiasannya (auratnya), kecuali yang (biasa) terlihat. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kerudung ke dadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya (auratnya)…”

Berdasarkan ayat ini jumhur berhujah dengan dua perkara:

PertamaJumhur menafsirkan (maksudnya kecuali yang (biasa) terlihat daripadanya) adalah wajah dan tapak tangan. Ini sama seperti yang ditafsirkan oleh Ibn `Abbas, Umm al-Mukminin`Aisyah, `Abdullah bin `Umar, Anash bin Malik, Abu Hurairah, al-Miswar bin Makhramah dan lain-lain.

Lebih detil masalah ini  dapat melihat kitab-kitab tafsir, hadis dan fiqh ketika para ulama menghuraikan ayat ini. Al-Syeikh al-Albani r.h. mendetilkan perbincangan ayat tersebut dalam kitabnya Al-Radd al-Mufhim bagi membukti bahwa muka dan tapak tangan bukannya aurat bagi wanita muslimah dan beliau menbuat daftar riwayat yang membuktikan para sahabat berpegang kepada pendapat yang menyatakan muka dan tapak tangan bukanlah aurat.

Kedua: ayat di atas menyatakan: “Dan hendaklah mereka menutupkan kain kerudung ke dadanya”. Allah hanya memerintahkan agar ditutup juyub, jamak dari jaib ataupun kita terjemahkan sebagai bagian dada yang terkena disebabkan belahan leher baju. Artinya, wanita diperintahkan untuk memakai penutup kepala sehingga menutupi bagian dada yang terbuka akibat belahan baju.

Ayat ini tidak langsung menyebut agar mereka menutup wajah mereka. Kalaulah wajah itu adalah aurat, maka sudah pasti ayat ini akan turut memerintahkan agar mereka menutupnya juga.

Karena itu al-Imam Ibn Hazm al-Andalusi (meninggal 456H) menyebut dalam Al-Muhalla: “Ayat ini adalah dalil bahwa diharuskan membuka wajah, tidak mungkin sama sekali difahami selain dari itu.” (Ibn Hazm al-Andalusi,المحلى بالآثار Al-Muhalla bi al-Athar, jld.2, m.s. 247, cetakan: Dar al-Kutub al-`Ilmiyyah, Beirut).

Di samping perlu diberikan perhatian bahwa ayat ini adalah dalil yang menunjukkan kewajiban menutup kepala, tengkuk dan dada. Ini jelas di dalam ayat di atas.

Oleh karena itu membuka kepala, leher dan dada yang dilakukan oleh sebagian wanita muslimah bertentangan dengan petunjuk Al-Qur’an. Adapun apa yang ditakwilkan oleh sebagian penulis masa kini bahwa bagian-bagian tersebut tidak termasuk di dalam aurat wanita muslimah adalah penyelewengan dalam penfsiran ayat.

Ketika menafsirkan ayat ini al-Imam al-Tabari (meninggal 310H) berkata: “Hendaklah mereka (wanita) melabuhkan tudung mereka ke atas belahan baju mereka, supaya menutup rambut, tengkuk dan anting mereka”. (Al-Tabari,جامع البيان عن تأويل آي القرآن Jami’ al-Bayan `an Takwil ai al-Quran, jld. 5, m.s. 544, cetakan: Dar al-Qalam, Damaskus).

Firman Allah dalam Surah al-Ahzab, ayat 52

لَا يَحِلُّ لَكَ النِّسَاءُ مِنْ بَعْدُ وَلَا أَنْ تَبَدَّلَ بِهِنَّ مِنْ أَزْوَاجٍ وَلَوْ أَعْجَبَكَ حُسْنُهُنَّ إِلَّا مَا مَلَكَتْ يَمِينُكَ وَكَانَ اللَّهُ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ رَقِيبًا

 “Tidak halal bagimu (Muhammad) menikahi perempuan-perempuan (lain) setelah itu, dan tidak boleh (pula) mengganti mereka dengan istri-istri (yang lain), meskipun kecantikannya menarik hatimu kecuali perempuan-perempuan (hamba sahaya) yang engkau miliki. Dan Allah Maha Mengawasi segala sesuatu.”

Ayat ini ditujukan kepada Nabi ﷺ. Ayat ini jelas bahwa para muslimat ketika zaman baginda Nabi ﷺ tidak menutup wajah mereka, jika tidak bagaimana mungkin kecantikan mereka boleh menarik perhatian baginda Nabi ﷺ. Ini tidak mungkin melainkan wajah mereka terbuka dan dapat dilihat.

Di samping itu ayat ini menjadi dalil bahwa tidak menjadi kesalahan seseorang lelaki ingin menikahi seorang wanita karena kecantikannya. Ini adalah salah satu fitrah yang wujud dalam jiwa seseorang lelaki, kecantikan adalah salah satu faktor yang mempengaruhi jiwa.

Sehingga wanita-wanita ahli surga yang dijanjikan kepada golongan sholihin juga disifatkan al-Quran kecantikan mereka agar hati kita tertawan. Juga dalil diharuskannya seorang lelaki melihat wanita yang ingin dinikahi.

Kata Imam al-Qurtubi: “Pada ayat ini adalah dalil diharuskan seseorang lelaki melihat seseorang wanita yang ingin dikahwininya”. (al-Qurtubi,الجامع لأحكام القرآن Al-Jami’ li Ahkam al-Quran, jld. 14, m.s. 321, cetakan: Dar al-Fikr, Beirut)

Sebuah hadis dari Abu Kabsyah al-Anmari, ia berkata:

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ r جَالِسًا فِي أَصْحَابِهِ فَدَخَلَ ثُمَّ خَرَجَ وَقَدِ اغْتَسَلَ فَقُلْنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ قَدْ كَانَ شَيْءٌ قَالَ أَجَلْ مَرَّتْ بِي فُلَانَةُ فَوَقَعَ فِي قَلْبِي شَهْوَةُ النِّسَاءِ فَأَتَيْتُ بَعْضَ أَزْوَاجِي فَأَصَبْتُهَا فَكَذَلِكَ فَافْعَلُوا فَإِنَّهُ مِنْ أَمَاثِلِ أَعْمَالِكُمْ إِتْيَانُ الْحَلَالِ *

“Suatu ketika Rasulullah ﷺ duduk bersama sahabat-sahabat baginda. Tiba-tiba baginda masuk (ke dalam rumah baginda), kemudian keluar dalam keadaan baginda sudah mandi. Kami pun bertanya: “Wahai Rasulullah! Apakah berlaku sesuatu?”. Jawab baginda: “Ya! Telah melintasi di hadapanku fulanah (perempuan tertentu yang dikenali), maka timbul dalam hatiku syahwat terhadap wanita, lantas aku pun mendatangi salah seorang dari isteriku dan menyetubuhinya. Demikianlah yang mesti kamu lakukan, karena di antara amalan kamu yang baik adalah mendatangi yang halal.” (Riwayat Ahmad dan al-Tabarani di dalam الأوسط al-Ausad. Al-Albani dalam سلسلة الأحاديث الصحيحة Silsilah al-Ahadis al-Sahihah, pada hadis yang ke- 235, berkata: sanad hadis ini hasan, bahkan lebih tinggi dari hasan).

Dalam hadis ini walaupun perawi hadis tidak menyebut nama wanita berkenaan, tetapi perkataan fulanah dalam bahasa Arab bermaksud wanita tertentu yang dikenali. Ini menunjukkan Rasulullah ﷺ mengenalinya.

Sebagai Rasul yang bersifat dengan keinsanan maka timbulnya perasaan dalam hati baginda sebagaimana ianya timbul dalam jiwa seorang insan lelaki yang normal. Maka untuk melepasi perasaan tersebut baginda mendatangi seorang daripada isteri-isteri baginda, yaitu Zainab seperti yang dinyatakan dalam riwayat yang lain.

Juga hadits ini adalah tuntunan Nabi ﷺ dalam pelaksanaannya kepada para sahabat dan umat agar dapat melewati syahwat yang timbul dengan cara yang halal. Sekiranya wajah wanita berkenaan tidak kelihatan, mana mungkin baginda mengenalinya dan timbul pula perasaan syahwat baginda.

Perlu diingat, kita jangan salah faham terhadap Nabi ﷺ di dalam hadis ini. Hadis ini sebenarnya melambangkan kesempurnaan baginda sebagai rasul yang diutus Allah.

Baginda tidak bersifat seperti malaikat sehingga tidak ada perasaan terhadap wanita. Baginda adalah insan yang diwahyukan.

Sifat kemanusiaan adalah penting agar manusia dapat mencontoh akhlak baginda. Sekiranya baginda malaikat, tentu manusia akan berkata “bagaimana kami ingin mencontohi malaikat yang tidak bernafsu?”.

Allah mengutuskan seorang nabi dari kalangan manusia yang mempunyai ciri-ciri manusia, di antaranya; bernafsu kepada wanita. Ini membolehkan baginda memimpin manusia bagaimana mengalirkan nafsu ke jalan yang halal dan diridhai Allah.

Karena itu dakwaan sebagian golongan untuk menghapuskan nafsu atau syahwat dalam jiwa manusia adalah klaim omong kosong. Islam tidak menghapuskan perasaan syahwat dan nafsu yang ada di dalam jiwa manusia, sebaliknya Islam membimbing ke jalan yang halal.

Oleh itu di dalam riwayat-riwayat yang lain disebutkan:

إِذَا أَحَدُكُمْ أَعْجَبَتْهُ الْمَرْأَةُ فَوَقَعَتْ فِى قَلْبِهِ فَلْيَعْمِدْ إِلَى امْرَأَتِهِ فَلْيُوَاقِعْهَا فَإِنَّ ذَلِكَ يَرُدُّ مَا فِى نَفْسِهِ

“Jika salah seorang di antara kalian tertarik dengan seorang wanita hingga wanita itu masuk ke dalam hatinya, hendaklah ia pulang kepada istrinya dan bergaullah dengannya. Karena hal itu akan membentengi apa yang ada dalam jiwanya.” (HR. Muslim)

Hadis senada juga diriwayatkan Abu Daud, al-Tirmizi, al-Baihaqi, Ahmad.

Jika kita teliti hadis ini, kita akan bertanya, “bagaimana mungkin kecantikan wanita zaman tersebut boleh menarik perhatian lelaki jika mereka semua menutup wajah atau bercadar? Ini menunjukkan mereka tidak menutup wajah mereka.

Dalam hadis yang lain yang diriwayatkan Al-Bukhari, Muslim dan lain-lain: Daripada Ibn `Abbas r.a., berkata:

عَنْ عَبْدِاللَّهِ بْنِ عَبَّاسٍ رَضِي اللَّه عَنْهمَا قَالَ كَانَ الْفَضْلُ رَدِيفَ النَّبِيِّ r فَجَاءَتِ امْرَأَةٌ مِنْ خَثْعَمَ فَجَعَلَ الْفَضْلُ يَنْظُرُ إِلَيْهَا وَتَنْظُرُ إِلَيْهِ فَجَعَلَ النَّبِيُّ r يَصْرِفُ وَجْهَ الْفَضْلِ إِلَى الشِّقِّ الْآخَرِ

Al-Fadhal (bin `Abbas) pernah menjadi radif Rasulullah ﷺ (menaiki unta yang sama di belakang Rasulullah). Datang seorang wanita dari khath`am. Lalu al-Fadhal memandangnya dan dia pun memandang al-Fadhal. Maka Nabi pun mengalihkan wajah al-Fadhal ke arah lain.

Dalam riwayat al-Nashai dinyatakan: Lantas al-Fadhal bin `Abbas memandangnya. Dia adalah seorang perempuan yang cantik Maka Nabi pun memalingkan wajah al-Fadhal ke arah lain.

Riwayat-riwayat ini menunjukkan wanita pada zaman Nabi ﷺ tidak menutup wajah mereka. Sementara Nabi ﷺ pula hanya memalingkan wajah al-Fadhal tanpa menyuruh wanita berkenaan menutup wajah. Sekalipun dia sangat cantik.

Ini menunjukkan pendapat yang menyatakan wanita yang berwajah cantik wajib menutup muka juga adalah tidak kukuh. Kata Ibnu Hazm: “Sekiranya wajah wanita itu bertutup tentunya ibnu `Abbas tidak mengetahui wanita itu cantik atau jelek.” (Ibn Hazm, Al-Muhalla, jld 2, m.s. 248).

Jika dibaca kesuluruhan hadis di atas, kita akan tahu, peristiwa itu berlaku pada haji wada’. Sedangkan ayat hijab dalam al-Quran turun sebelum itu lagi, yakni pada tahun 5 hijrah. Maka dakwaan yang menyatakan perintah menutup wajah datang selepas itu, adalah tidak tepat.

Inilah sebagian daripada dalil-dalil yang banyak yang dikemukakan oleh jumhur ulama guna membuktikan wajah wanita bukan aurat. Berpegang kepada pendapat jumhur dalam hal ini adalah lebih jelas dari segi nash atau dalilnya, juga lebih memudahkan seseorang muslimah di dalam dunia saat ini.

Islam itu mudah dan pelaksanaan seperti yang ternyata pada nash-nash al-Quran dan al-Sunnah. Dalil-dalil ulama jumhur lebih kuat dalam hal ini.

Hendaklah para pengajar agama mengajar masyarakat dalil-dalil yang lebih kuat, terutama jika itu memudahkan masyarakat untuk mengamalkannya. Ternyata pendapat bahwa hukum cadar merupakan kewajiban tidak begitu kuat dalil-dalilnya.

Mengamalkan yang tepat dan sederhana itu adalah jaminan terhadap kesinambungan umat untuk terus beriltizam dengan agama. Mengamalkan yang susah dan lemah itu, akan menjadikan ianya akan terlucut pada suatu hari nanti.*/Dr Mohd Asri Zainul AbidinMufti Kerajaan Perlis. Bahan diambil dari laman drmaza, alih bahasa redaksi hidayatulah.com

Rep: Admin Hidcom

Powered by Blogger.
close