Ijazah Palsu dan Gagalnya Ketauladanan


Jika kasus ijazah palsu ini benar, maka, pembiaran benih kebohongan ini akan menjadi budaya yang dinggap biasa dan diberlakukan pada praktek-praktek lainnya

Oleh: Abdullah Abubakar Batarfie

Dikutip dari Hidayatullah.com | FENOMENA penggunaan “ijazah palsu” bukan sesuatu yang baru di tanah air, bahkan tidak sedikit dari pelakunya yang terjerat oleh hukum. Motif penggunaannya pun berbeda-beda sesuai kepentingan individu bersangkutan yang berasal dari berbagai kalangan.

Di antaranya tokoh masyarakat yang selama ini berkiprah pada bidang keagamaan, pendidikan maupun dalam organisasi sosial kemasyarakatan lainnya.

Biasanya terbongkarnya kebohongan penggunaan ijazah palsu ditemukan, manakala salah seorang politisi saat akan memasuki tahapan verifikasi berkas untuk suatu tujuan. Misalnya dalam konteks pilkada maupun Pileg.

Tahapan verifikasi berkas inilah yang bakal menjadi momen paling menakutkan yang lambat tapi pasti, akan menghabisi karirnya. Namun demikian, gelar sarjana dari ijazah palsu tersebut ada juga yang tetap dipaksakan disandangnya demi nama baik dan popularitasnya, semisal Insinyur (Ir), Sarjana Tekhnik (S.T), dan gelar-gelar lainnya. 

Kasus serupa juga saat ini tengah menjadi isu hangat di tanah air, pasalnya Presiden Joko Widodo (Jokowi) dilaporkan ke Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat terkait adanya dugaan penggunaan ijazah palsu saat mengikuti pemilihan presiden (Pilpres) tahun 2019. Meski gugatan itu belum tentu terbukti benar, dan bahkan oleh sebagian orang gugatan yang dianggap mengada-ngada, tapi kasus pemakai ijazah palsu itu memang nyata ada.

Selain bermasalah secara hukum dan menjadi ganjalan karir seseorang sebagai sebuah persyaratan yang tidak dapat terpenuhi, secara moral kasus seseorang yang menggunakan ijazah palsu dengan cara membeli atau menggunakan cara apapun, menunjukan pelakunya telah melakukan suatu perbuatan yang tidak terpuji, cacat moral dengan menciderai nilai-nilai dan ajaran yang berakhlaqul karimah. Terlebih bila orang tersebut berada dibawah naungan sebuah organisasi kemasyarakatan Islam.

Ketidak jujuran akademik inilah yang apabila ada dalam diri setiap orang, unsur penipuan atau kebohongan publik tersebut sudah dapat dijadikan dasar agar orang itu sudah sepantasnya untuk tidak dipercayai oleh masyarakat. Syukur-syukur ada kesadaran dalam diri pelakunya untuk enggan menduduki jabatan apapun, terutama dalam menahkodai umat.

Orang seperti ini karena perbuatannya telah gagal menunjukan kepribadiannya sebagai suri tauladan dengan menjadi publik figur.Kasus serupa bila pemalsuan ijazah palsu itu semisal dilakukan oleh seseorang yang mengurusi kegiatan bidang pendidikan.

Ini tentu akan lebih memalukan lagi, bahkan dipandang dapat berbahaya bagi kelangsungan dunia kependidikan yang sedang digelutinya. Bagaimana tidak, ijazah palsu tersebut dapat disuburkan benihnya untuk mendongkrak prestasi palsu, dengan menghalalkan segala cara guna mendulang pujian dari khalayak.

Semoga saja adanya kebohongan publik melalui cara-cara yang tidak halal, adanya kepemilikan ijazah palsu yang disandang oleh para pegiat pendidikan. Terlebih lagi ia merupakan seseorang yang lolos dalam pemilihan kepala daerah, bahkan Presiden sekalipun.

Itu semua kita harapkan tidak akan terjadi lagi karena bertentangan dengan moral sebuah bangsa dan ajaran agama. “Lebih baik jujur tidak berijazah daripada berijazah tetapi tidak jujur”. 

Benih kebohongan akan menjadi budaya yang dinggap biasa dan diberlakukan pada praktek-praktek lainnya, karena bohong dianggap seuatu yang lumrah demi meraih ambisi, ego dan kekuasaan. Maka orang seperti ini dapat dikategorikan sebagai figur mardud.*

Ketua Pusat Dokumentasi & Kajian Al-Irsyad Bogor

Rep: Admin Hidcom, Editor: Insan Kamil

Powered by Blogger.
close