Masihkah Umat Islam jadi Pendorong Mobil Mogok?


Politisi yang mendapatkan amanah kepemimpinan dari aktivitas politiknya, lalu meraup suara umat Islam, tidak seharusnya menggunakan suara umat  untuk kepentingan sesaat, agar umat tidak lagi menjadi pendorong mobil mogok

Oleh: Mahmud Budi Setiawan

Dikutip dari Hidayatullah.com | TAHUN-TAHUN politik masih akan terhelat pada 2024, tapi suhu dan kontestasinya sudah memanas sejak saat ini. Bisa dilihat di berbagai media massa dan media sosial, betapa kampanye-kampanye sudah menjamur.

Survei-survei terkait calon presiden juga sudah banyak mengemuka. Umat Islam yang menjadi mayoritas di Indonesia –di sepanjang sejara RI– selalu menjadi sasaran empuknya.

Dalam konteks seperti ini, yang menjadi pertanyaan mendasar: Apakah Islam dan suara umat Islam –yang begitu seksi di mata para politisi dan partai– ini hanya dijadikan sebagai pendorong mobil mobok sebagaimana yang telah lalu? Didatangi hanya ketika butuh, setelah hajat selesai, umat ditinggal.

Atau, atribut dan pernak-pernik syiar Islam digunakan hanya saat kampanye? Tiba-tiba para politisi menjadi islami mendadak : Berjilbab, berkopyah-bersarung, menyitir ayat di sana-sini, memberi sumbangan ke pondok dan lain sebagainya?

Untuk menjawab hal ini, akan penulis awalai dengan adagium sejarah yang berbunyi “Sejarah kembali terulang.” Ya. Memang sejarah acap kali berulang. Terkadang, yang berubah hanya pelaku (lakon) dan tempanya saja. Adapun subtansinya sama: Pada umumnya, umat Islam hanya didekati ketika butuh untuk mendulang suara; jika suara dan jabatan sudah diraih mereka tak dipedulikan lagi.

Mari membaca kembali pada lembaran sejarah umat Islam di Indonesia. Pada saat era Nasional Agama Komunis (Nasakom) berkuasa (sekitar 1964-1965), ada khatib yang merupakan anggota Kotrat, berkhutbah di masjid IAIN Ciputat Jakarta yang isinya mendukung Nasakom yang dicetuskan Bung Karno.

Untuk mendukung ide itu, khatib tak ragu-ragu menyitir ayat Al-Qur’an berikut:

وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللَّهِ جَمِيعًا وَلَا تَفَرَّقُوا ۚ

“Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai.” (QS. Ali Imran [3]: 103).

Untuk mengkampanyekan Nasakom, khatib ini berani menyatakan bahwa yang dimaksud dengan “bi hablillah jami’an wa la tafarraqu” adalah NASAKOM.

Apa yang ditafsirkan oleh sang khatib, ibarat peribahasa, “Jauh panggang dari api”. Pasca shalat Jum’at, tafsiran itu menimbulkan keramaian. Ada yang bilang bahwa cara menafsirkan gaya demikian adalah masuk kategori “tafsir bir-ra’yi” (tafsir dengan rasio) yang tercela. Namun, apa daya. Karea saat itu yang berkuasa adalah era Demokrasi Terpimpin, perbincangan masalah ini tak berlangsung lama. Sebab, banyak yang takut dicap “kontra revolusi” yang bisa berujung terali besi.

Apa yang terjadi pada masa akhir-akhir Orde Lama ini sebagai gambaran jelas bahwa dalil agama pernah dijadikan alat untuk indoktrinasi politik dan golingan politik. Padahal, itu tidak benar, dan yang lebih miris, diungkapkan di forum sakral seperti khutbah Jum’at.

Pada masa Orde Baru, tepatnya pada pemilu 1971, para pemimpin partai juga banyak menggunakan dalil Al-Qur`an dan Hadits untuk kampanye piolitik. Tujuannya jelas, ini dilakukan untuk meraup suara sebanyak-banyaknya.

Partai NU memakai ayat surat Fathir ayat 28, yang maknanya: “Yang takut kepada Allah dari kalangan hamba-hambaNya adalah ULAMA.”

Demikian juga PERTI. Dalam kampanyenya, juga menggunakan ayat Al-Qur`an, yang artinya: “Hanya yang memakmurkan masjid-masjid Allah ialah orang-orang yang beriman kepada Allah dan Hari kemudian, serta tetap mendirikan shalat, menunaikan zakat dan tidak takut (kepada siapapun) selain kepada Allah, maka merekalah orang-orang yang diharapkan termasuk golongan orang-orang yang mendapat petunjuk.” (QS. At-Taubah [9]: 18).

Adapun PARMUSI menggunakan ayat, yang artinya : “Sesungguhnya aku menghadapkan diriku kepada Rabb yang menciptakan langit dan bumi, dengan cenderung kepada agama yang benar, dan aku bukanlah termasuk orang-orang yang mempersekutukan Tuhan.” (QS. Al-An’am [6]: 79).

Kalau PSII, mengkampanyekan “syahadat” sebagai bahan untuk menari masa. Mengapa demikian, karena kalimat “syahadat” terdapat dalam lambang partainya.

Partai-partai lain seperti MURBA, IPKI, PNI dan GOLKAR pun juga menggunakan dalil agama dalam kampanye mereka. Bahkan, yang membenci GOLKAR juga menggunakan ayat berikut: “janganlah kamu dekati pohon ini, yang menyebabkan kamu termasuk orang-orang yang zalim.” (QS. Al-Baqarah [2]: 35).  Contoh-contoh gambar kampanye yang menggunakan dalil agama terlampir. Ada juga yang menggunakan hadits, “Sebaik-baik perkara adalah pertengahannya,” untuk mendukung GOLKAR. Sebab, letak gambar Golkar pada waktu itu adalah di tengah-tengah. Selain itu, ada juga yang mendukung gambar Ka’bah dengan menyitir firman Allah dalam surah Al-Baqarah ayat 144 serta surah Quraiys dan masih banyak kasus lainnya. Fakta-fakta ini bersumber dari Majalah Panji Masyarakat No/ 219 (XVIII/1977).

Iklan kampanye Partai Golkar tahun 1977

Dalam titik ini, melalui data sejarah diketahui bahwa Islam dan umatnya acapkali digunakan untuk mendulang suara partai. Ironisnya, juga dilakukan oleh partai-partai yang menisbatkan diri pada kultur Islam. Apa ketika mereka menjadi pejabat atau sukses memenuhi target politiknya, aspirasi umat Islam akan diperhatikan? Nyayanya, umat Islam hanya menjadi pendorong mobil mogok.

Pada momen kampanye 1977, diberitakan bahwa Menteri Penerangan Mashuri, dalam salah satu kampanyenya untuk GOLKAR, beliau menyebutkan bahwa gambar pohon beringin yang digunakan oleh Golkar adalah mengingatkan pada perang Hudaibiyah.

Dikisahkan, saat Nabi dan para sahabatnya berlindung di pohon beringin, segarlah kembali pasukan Islam. Oleh karena itu dikaitkan bahwa, siapa yang ingin mendapat manfaat besar, maka harus bernaung pada pohon beringin alias GOLKAR. Berita ini pun akhirnya dibantah oleh sang Menteri Penerangan. Bahkan kala itu, tersiar gambar lambang Golkar yang berisi kaligrafi Arab berisi aya-ayat Al-Qur`an.

Bagaimana dengan, masa-masa selanjutnya? Hampir tidak jauh beda. Umat Islam diperlakukan seperti pendorong mobil mogok; habis manis sepah dibung; dirangkul saat butuh, dipukul ketika sudah selesai hajatnya. 

Untuk lebih detailnya membaca fakta ini, bisa langsung ditelaah dalam Majalah SABILI edisi khusus berjudul “Kawan atau Lawan” (Juli 2004). Di situ dikemukan banyak fakta yang menunjukkan bahwa Islam dan umatnya hanya dijadikan kawan ketika dibutuhkan, tapi kalau sudah tak dibutuhkan, maka akan dijadikan lawan.

“Tidaklah seorang pemimpin memimpin masyarakat muslimin, lantas dia meninggal dalam keadaan menipu mereka, melainkan Allah mengharamkan surga baginya.” (HR. Bukhari)

Dari pengalaman sejarah yang cukup memilukan ini, menjadi pembelajaran luar biasa bagi umat Islam agar tidak gampang dimanfaatkan oleh politisi yang menggunakan dalil agama, money politic, atribut keagamaan dan lain sebagainya. Kita tetap boleh menyalurkan aspirasi politik, tapi mesti yang sehat dan tak mengabaikan kepentingan umat Islam.

Ini bukan saja ditujukan partai-partai di luar Islam. Politisi Islam pun demikian: supaya ingatlah pesan Nabi Muhammad ﷺ ini;

مَا مِنْ وَالٍ يَلِي رَعِيَّةً مِنْ الْمُسْلِمِينَ فَيَمُوتُ و َهُوَ غَاشٌّ لَهُمْ إِلَّا حَرَّمَ اللَّهُ عَلَيْهِ الْجَنَّةَ

“Tidaklah seorang penguasa diserahi urusan kaum Muslim, kemudian ia mati, sedangkan ia menelantarkan urusan mereka, kecuali Allah mengharamkan surga untuk dirinya.” (HR al-Bukhari dan Muslim).

Para politisi yang mendapatkan amanah kepemimpinan dari aktivitas politiknya, lalu meraup suara umat Islam, tapi tidak menggunakan suara umat  untuk kepentingan sesaat, dengan bahasa lain, tidak menyalahgunakan amanah umat, untuk kepentingan sendiri.

Terakhir Allah berfirman;

وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللَّهِ جَمِيعًا وَلَا تَفَرَّقُوا ۚ وَاذْكُرُوا نِعْمَتَ اللَّهِ عَلَيْكُمْ إِذْ كُنْتُمْ أَعْدَاءً فَأَلَّفَ بَيْنَ قُلُوبِكُمْ فَأَصْبَحْتُمْ بِنِعْمَتِهِ إِخْوَانًا وَكُنْتُمْ عَلَىٰ شَفَا حُفْرَةٍ مِنَ النَّارِ فَأَنْقَذَكُمْ مِنْهَا ۗ كَذَٰلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ لَكُمْ آيَاتِهِ لَعَلَّكُمْ تَهْتَدُونَ

“Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh-musuhan, maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah, orang-orang yang bersaudara; dan kamu telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu dari padanya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk.” (QS: Surat Ali Imran: 103).*

Penulis kolumnis, alumni Universitas Al-Azhar, Kairo

Rep: Admin Hidcom

Powered by Blogger.
close