Pangkal Tragedi: Belajar dari Musibah Kanjuruhan


Masyarakat Indonesia baru saja tertimpa musibah di stadion sepakbola Kanjuruhan seusai laga Arema Malang menghadapi Persebaya Surabaya, kita berduka atas kejadian ini

Oleh: Muhamad Ridwan

Dikutip dari laman Hidayatullah.com | KEMALANGAN, kesengsaraan, keresahan, kepiluan, keterombang-ambingan dan ketidakbermaknaan hidup . Itulah “tragedi”, bukan dalam konteks sastra, melainkan suatu pandangan dan pengalaman nyata orang-orang menolak agama dan berpaling dari Allah, tak beriman dan membangkang terhadap-Nya.

Demikian ungkap Prof. Syed Muhammad Naquib al-Attas yang menyandingkannya dengan istilah “syaqāwah” dalam al-Qur’an. Sebaliknya, orang beriman memandang hidup ini sebagai kebahagiaan.

Musibah bukanlah tragedi, melainkan ujian yang dibaliknya terdapat kebaikan-kebaikan, seperti kasih sayang dan kebijaksanaan Allah, hikmah, pahala, penggugur dosa, pengangkat derajat, dan sebagainya.

Masyarakat Indonesia baru saja tertimpa musibah, yakni insiden di stadion sepak bola Kanjuruhan seusai laga Arema Malang menghadapi Persebaya Surabaya. Kita berduka atas kejadian ini. Semoga para korban memperoleh ampunan dan keluarga yang ditinggalkan diberi kesabaran.

Di satu sisi, ini adalah ujian bagi orang beriman. Tetapi di sisi lain, kita perlu melihatnya juga sebagai “tragedi” dalam artian yang disebut di awal.

Media massa memang menyebutnya sebagai “Tragedi Kanjuruhan”, namun kata “tragedi” di sana sepertinya tidak sampai pada makna filosofis. Sebutan itu sepertinya sebatas bencana besar atau kejadian fatal yang menyedihkan.

Alasan memandangnya sebagai tragedi setara syaqāwah pertama bisa kita lihat dari ulah sebagian supporter.  Sementara aparat yang menembakkan gas airmata di dalam stadion memang keliru dan sepatutnya turut bertanggungjawab, tapi itu imbas dari huru-hara tersebut.

Tindakan demikian menunjukkan bahwa mereka telah mengangkat derajat sepakbola yang cuma permainan dan hiburan ke level serius karena sampai harus menimbulkan kerusuhan, kerusakan, bahkan meregangnya ratusan nyawa.

Al-Qur’an memperingatkan berkali-kali bahwa sesungguhnya kehidupan dunia ini hanyalah permainan dan senda gurau belaka (Surat Al-An’am 32, Surat Muhammad 36, Surat al-Ankabut 64). Mestinya, yang serius itu kalau menyangkut urusan akhirat, bukan soal permainan.

Dalam konteks ini meliputi menjaga kedamaian dan ketertiban, sabar menahan amarah, dan berlatih untuk berlapang dada dan sebagainya.

Pengagungan sepakbola oleh para pecintanya tidak terjadi dimana-mana. Suporter klub lain pun juga punya catatan kelam yang menelan korban jiwa.

Kekeliruan ilmu dan “pemujaan” kesenangan dunia itulah yang menjadi hulu tragedi. Bukan terbatas pada peristiwa Kanjuruhan saja, namun juga tragedi-tragedi lainnya.

Subjek tragis dalam insiden Kanjuruhan yang dibahas di sini cenderung merujuk kepada para biang onar karena menyebabkan ratusan nyawa melayang. Tetapi itu jika mereka berpaling dari tuntunan Allah, tidak segera ingat dan bertaubat kepada-Nya.

Adab dan ilmu yang benar

Maka, kejadian ini hakikatnya adalah ujian bagi orang Mukmin―sebagaimana yang telah disampaikan― tetapi bisa berubah jadi tragedi bila mereka tak kembali ke jalan Allah.

Kalau saja bijak dan beradab (lawan dari biadab), dalam urusan dunia –dalam hal ini permainan sepakbola—maka, seharusnya semua saling ridha dan berlapang dapa, apalagi ini cuma permainan belaka. Seandainya ingin protes dan pembenahan, mereka akan memakai cara yang baik dan benar, bukan anarkis dan malah membuat keadaan semakin kacau.

Tapi yang lebih penting adalah bijak dan beradab mensyaratkan ilmu yang benar. Iman pun bersumber dari ilmu, sedangkan ilmu hadir melalui adab juga.

Maka, penawar bagi sifat jāhiliyyah dan kekeliruan dalam meletakkan kedudukan sesuatu alias kebiadaban yang menyebabkan tragedi dan krisis iman ini adalah penanaman ilmu atau pendidikan yang benar.

Prof. Al-Attas menyebutnya ta’dīb. Beliau mengemukakan persoalan ilmu ini dalam tataran universal. Relevansinya dengan bahasan ini menjadi bukti akan universalitasnya; bahwa itulah pokok dari berbagai permasalahan yang kita hadapi sekarang.

Para intelek, pencari fakta, media massa, pemangku kebijakan dan pelaksana mesti melihat jauh ke dalam, tidak hanya menyalahkan maupun mendesak pembenahan aspek fisikal atau permukaan semata seperti keamanan stadion, sarana prasarana, peraturan-peraturan, SOP, penanganan kerusuhan, koordinasi pihak penyelenggara, koordinasi aparat keamanan, koordinasi suporter atau semacamnya. Bukan pula sekadar menemukan siapa yang patut dihukum lalu selesai begitu saja.

Semua itu penting, namun lebih penting lagi memperbaiki pangkalnya karena secanggih apapun aspek fisik yang disiapkan atau seberapapun pihak yang dihukum, tidak akan memutus tragedi dan kezhaliman kalau watak biadab dalam masyarakat masih mengakar. Tiap orang, khususnya  pemerintah, pembuat kebijakan, cendekiawan dan pendidik sangat bertanggung jawab akan hal ini. Masyarakat penoreh tragedi terburuk kedua sepakbola dunia ini lahir dari tangan mereka.

Tragedi Kanjuruhan, sebagaimana telah disinggung sebelumnya, adalah insiden atau satu di antara rentetan kemalangan berasal dari kekeliruan ilmu yang menghasilkan kebiadaban dan krisis iman.

Masih banyak kerusakan-kerusakan lain yang lebih besar lagi, misalnya bencana dalam agama. Kalau tidak memperbaiki per-adab-an ini melalui ilmu yang benar, maka kita bisa tertimpa kemalangan yang lebih berat lagi. Lagipula, tidakkah kita ingin sekadar menikmati sepakbola tanpa ke“Malang”an berikutnya?*

Penulis manajer program Institut Pemikiran Islam dan Pembangunan Insan (PIMPIN) Bandung. Email: sendmailtoridwan@gmail.com, IG: @muhamad.rdwn

Rep: Admin Hidcom

Powered by Blogger.
close