Talaqqi dan Tradisi Warisan Keilmuwan Al-Azhar


Dengan metode talaqqi dan sanad, Al-Quran dan Sunah Nabawiyah terjaga dari distorsi kaum kafir dan munafik

Dikutip dari Hidayatullah.com | IDE pemikiran untuk menulis ini muncul ketika mengikuti talaqqi  qawa’idh fiqhiyah dengan Dr. ‘Athiyah Abd al-Maujud menggunakan kitab Al-Asybah wa AnNazhair di Madhyafah. Dipermulaan kitab ini didahului dengan biografi penulis yaitu Imam Jalaluddin As-Suyuti  (baca: imam pembesar dalam Mazhab Syafi’i).

Imam Suyuti dikenal menguasai berbagai disiplin ilmu yang diserap lansung dari pakar keilmuwan tersebut. Yang mengagumkan, keilmuwan yang sangat kuat, kokoh dan memukau hasil bentukkan talaqqi  warisan ulama yang melintasi berbagai zaman dan peradaban, hingga sampai detik ini.

Talaqqi  dan urgensinya

Sebelum melangkah lebih jauh, ada baiknya kita mengetahui mafhum talaqqi  dan apa hukum talaqqi  bagi penuntut ilmu. Talaqqi merupakan konsep belajar (baca: ta’allum) dengan para ulama atau ahlul ‘ilm secara langsung (baca: tatap muka). 

Adapun hukumnya bagi penuntut ilmu adalah wajib. Dalam Al-Quran ditegaskan:

فَسۡـــَٔلُوۡۤا اَهۡلَ الذِّكۡرِ اِنۡ كُنۡتُمۡ لَا تَعۡلَمُوۡنَۙ

“…maka bertanyalah Ahl Az-Zikr jika kamu tidak mengetahui.” (QS: An-Nahl: 43)

Rosulullah bersabda :

“Orang berilmu (‘alim) dan penuntut ilmu (muta’allim) itu sama dari sudut kebaikan.”(HR Imam Abu Umar An-Namri Al-Qurtubi dengan sanadnya dalam kitab Jami’e Bayan Al-Ilm wa Fahdlihi: 1/69-71).

اغْدُ عَالِمًا أَوْ مُتَعَلِّمًا أَوْ مُسْتَمِعًا أَوْ مُحِبًّا، وَلَا تَكُنِ الْخَامِسَةَ فَتَهْلِكَ

“Jadilah orang yang berilmu (‘alim), atau orang yang belajar (muta’alim), atau pendengar setia kepada ilmu (sami’), atau orang mencintai dan menikmati ilmu, dan jangan jadi yang kelima, maka kamu akan binasa.” (dalam Syu’abul Imam Iman Baihaqi no.1815, Imam Al-Haitsami menilai para perawi hadis ini tsiqah).

Jadi apapun ilmu yang di pelajari maka wajib memiliki guru yang ahli dalam ilmu tersebut, terlebih ilmu agama. Karena ditakutkan akan terjadi kesalahpahaman dalam memahami buku karangan seorang ulama, apalagi buku karangan ulama terdahulu (baca: turats), sehingga berkata dengan hawa nafsu, sesat dan menyesatkan.

Bahkan bisa menjadi fitnah bagi si pengarang buku disebabkan salah tafsir si pembaca. Seperti aroma yang tercium  dalam keblingeran memahami islam dan teks-teks Al-Quran dan Sunnah ala kaum SePILIS  (baca: Sekularis, pluralis, dan liberalis) yang menjilat hasil pemahaman orientalis yang tidak mempelajari islam dengan metode talaqqi .

Dan inilah yang sedang menjangkiti sebagian institusi-institusi pendidikan Islam di Indonesia.

Metode talaqqi merupakan metode yang sangat penting dalam proses transfer ilmu agama. Karena Islam tidak disampaikan secara sembarangan dan asal-asalan.

Al-Quran turun berangsur-angsur, bertahap, tidak langsung turun dalam bentuk Mushaf. Bahkan Nabi Muhammad ﷺ pun talaqqi pada malaikat Jibril pada fase kenabian.

Tradisi isnad dan ijazah dalam Talaqqi

Salah satu ciri dalam metode pengajaran talaqqi  adalah sanad. Pada asalnya, istilah sanad atau isnad hanya digunakan dalam bidang ilmu hadis (Mustolah Hadis) yang merujuk kepada hubungan antara perawi dengan perawi sebelumnya pada setiap tingkatan yang berakhir kepada Rasulullah ﷺ pada matan hadisnya.

Namun, jika kita merujuk kepada lafadz sanad itu sendiri dari segi bahasa, maka penggunaannya sangat luas. Dalam Lisan Al-Arab misalnya disebutkan:

Isnad dari sudut bahasa terambil dari fi’il “asnada” (yaitu menyandarkan) seperti dalam perkataan mereka: Saya sandarkan perkataan ini kepada si fulan. Artinya, menyandarkan sandaran, yang mana ia diangkatkan kepada yang berkata. Maka menyandarkan perkataan berarti mengangkatkan perkataan (mengembalikan perkataan kepada orang yang berkata dengan perkataan tersebut).”

Jadi, metode isnad tidak terbatas pada bidang ilmu hadis. Karena tradisi pewarisan atau transfer keilmuwan Islam dengan metode sanad telah berkembang ke berbagai bidang keilmuwan.

Dan yang paling kentara adalah sanad talaqqi dalam aqidah dan mazhab fikih yang sampai saat ini dilestarikan oleh ulama dan universitas Al-Azhar Asy-Syarif. Hal inilah mengapa Universitas Al-Azhar menjadi sumber ilmu keislaman selama berabad-abad.

Hal ini tidak lain karena manhaj yang digunakan adalah manhaj shahih talaqqi  yang memiliki sanad yang jelas dan sangat sistematis. Sehingga sarjana yang menetas dari Al-Azhar umumny atidak hanya ahli akademis semata tapi juga ‘alim.

Sanad ini sangat penting, dan merupakan salah satu kebanggaan Islam dan umat. Karena sanad inilah Al-Quran dan Sunah Nabawiyah terjaga dari distorsi kaum kafir dan munafik.

Karena sanad ini pula warisan nabi tak dapat diputar balikkan. Ibnul Mubarak berkata: ”Sanad merupakan bagian dari agama, kalaulah bukan karena sanad, maka pasti akan bisa berkata siapa saja yang mau dengan apa saja yang diinginkannya.” (Diriwayatkan Imam Muslim dalam Muqoddimah kitab Shahihnya 1/47 no:32).

Dikatakan juga: “permisalan orang yang ingin mengetahui perkara agamanya tanpa sanad, seperti orang yang menaiki suthuh (baca: atap atau bagian atas) sebuah rumah tanpa tangga.”

Selain sanad, ciri dalam manhaj pengajaran talaqqi  adalah ijazah. Ijazah ada yang secara tertulis dan ada yang hanya dengan lisan.

Memberikan ijazah sangat penting. Hal ini karena menimbang agar tak terjadinya penipuan dan dusta dalam penyandaran seseorang.

Apalagi untuk zaman sekarang yang penuh kedustaan, ijazah secara tertulis wajib hukumnya.

Tradisi ijazah ini pernah dipraktekkan oleh Nabi ﷺ ketika memberikan ijazah (baca: secara lisan) kepada beberapa Sahabat ra. dalam keahlian tertentu. Seperti keahlian sahabat di bidang Al-Qur’an. Rasulullah ﷺ pernah bersabda :

خُذُوا القُرْآنَ مِنْ أَرْبَعَةٍ مِنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مَسْعُودٍ، وَسَالِمٍ، وَمُعَاذِ بْنِ جَبَلٍ، وَأُبَيِّ بْنِ كَعْبٍ

“Ambillah bacaan Al-Quran dari empat orang: Abdullah bin Mas’ud, Salim, Mu’adz bin Jabal, dan Ubay bin Ka’ab.” (HR. Bukhari dalam shahihnya no. 4999 dari sahabat Abdullah bin ‘Amr radhiyallahu ‘anhu).

Keunggulan Talaqqi

Berikut beberapa keunggulan jika aktif talaqqi :

  • Bertemu dengan para ulama yang rabbani dan mendapatkan kesempatan menghadiri riyaadhul jannah (baca: taman-taman surga) dan berkahnya.
  • Menguasai bahasa arab lebih baik dan mengetahui maksud istilah-istilah yang biasa digunakan oleh para ulama zaman dahulu dan sekarang, sehingganya tidak salah dalam memahami ilmu syariat.
  • Terbangunnya sebuah malakah ilmiah (intellectual quotient) yang baik.
  • Memperpendek waktu dalam belajar.
  • Membantu dalam pendidikan formal di kampus.*/Muhammad Rakhmat Alam, alumni Al-Azhar Mesir (Masisironline, 2010)

Rep: Admin Hidcom

Powered by Blogger.
close